Loading AI tools
Nama gelar Dari Wikipedia, ensiklopedia bebas
Gelar kebangsawanan Jawa adalah gelar di depan nama satu orang karena orang tersebut adalah keturunan raja atau panembahan atau pangeran atau bupati atau sunan atau wali di daerah Jawa Tengah atau Jawa Timur, atau yang diberikan di depan nama satu orang karena orang tersebut menjabat suatu jabatan dalam pemerintahan Kerajaan Surakarta atau Kerajaan Yogyakarta atau Kadipaten Mangkunagaran atau Kadipaten Pakualaman atau pemerintah kolonial Hindia Belanda, atau yang diberikan di depan nama satu orang karena orang tersebut dipandang berjasa kepada Kerajaan Surakarta atau Kerajaan Yogyakarta atau Kadipaten Mangkunagaran atau Kadipaten Pakualaman atau pemerintah kolonial Hindia Belanda.
Gelar kebangsawanan Jawa ini beririsan dengan gelar kebangsawanan Cirebon, gelar kebangsawanan Sunda, dan gelar kebangsawanan Madura, sehingga sepintas lalu terlihat sama walaupun terdapat perbedaan penerapan. Contoh persamaan di antara ketiganya adalah pemakaian gelar dasar Raden yang biasanya disingkat menjadi R. di Jawa Tengah dan Jawa Timur atau disingkat menjadi Rd. di Jawa Barat yang terjadi akibat pengaruh budaya Mataram Islam selama masa pemerintahan Sultan Agung dan Sunan Amangkurat I. Contoh perbedaannya adalah pewarisan gelar kebangsawanan di Kerajaan Mataram Islam umumnya bisa melalui garis keturunan laki-laki dan garis keturunan perempuan atau disebut juga sistem bilateral, sedangkan pewarisan gelar kebangsawanan di Kerajaan Cirebon, Karesidenan Priangan, dan Pulau Madura umumnya hanya melalui garis keturunan laki-laki atau disebut juga sistem patrilineal.
Dalam kerangka gelar kebangsawanan Jawa maka yang dimaksud raja di Pulau Jawa dan Pulau Madura yaitu Raja Mataram Hindu, Raja Majapahit, Raja Demak, Raja Pajang, Raja Mataram Islam, Raja Surakarta, Raja Yogyakarta, Raja Bangkalan, dan Raja Sumenep. Dalam kerangka yang sama pula maka yang dimaksud pangeran di Pulau Jawa dan Pulau Madura yaitu Pangeran Adipati Mangkunagara, Pangeran Adipati Pakualam, Panembahan Madura Barat (Bangkalan, Sampang dan Pamekasan) dan Panembahan Sumenep.
Seiring perjalanan sejarah, Kerajaan Mataram Islam yang satu terpecah menjadi empat negara yaitu Kerajaan Surakarta, Kerajaan Yogyakarta, Kadipaten Mangkunagaran, dan Kadipaten Pakualaman. Surakarta dan Yogyakarta disebut kerajaan karena dipimpin oleh seorang raja. Dalam Bahasa Inggris, kerajaan adalah kingdom dan raja adalah king. Sedangkan Mangkunagaran dan Pakualaman disebut kadipaten karena dipimpin oleh seorang adipati. Dalam Bahasa Inggris, kadipaten adalah dukedom atau duchy dan adipati adalah duke. Ada pula yang berpendapat bahwa Mangkunagaran dan Pakualaman disebut kepangeranan karena dipimpin oleh seorang pangeran. Dalam Bahasa Inggris, kepangeranan adalah princedom atau principality dan pangeran adalah prince. Karena Mangkunagara dan Pakualam adalah nama orang, maka bentukan kata sifat daripadanya adalah dengan menambah akhiran -an sehingga menjadi Mangkunagaran dan Pakualaman.
Wilayah empat negara pecahan Kerajaan Mataram Islam itu disebut vorstenlanden, dari Bahasa Belanda yang berarti tanah pangeran. Sedangkan wilayah Pulau Jawa di luar vorstenlanden disebut gouvernement, dari Bahasa Belanda yang berarti pemerintah.
Pada dasarnya ada dua jenis bangsawan dalam tradisi Jawa, yaitu bangsawan keluarga raja dan bangsawan pejabat pemerintah. Konsep bahwa bangsawan adalah keluarga raja tercermin dari istilah dalam Bahasa Jawa untuk menyebut bangsawan yaitu priyayi yang berasal dari kata ‘para yayi’ yang berarti ‘para adik’ dimana adik yang dimaksud adalah adik raja, sehingga kata priyayi berarti para adik raja. Konsep ini meliputi pula kata Kyai yang berasal dari kata ‘ki yayi’ yang berarti ‘adik laki-laki’ yaitu adik laki-laki raja dan kata Nyai yang berasal dari kata ‘ni yayi’ yang berarti ‘adik perempuan’ yaitu adik perempuan raja. Bandingkan dengan kata ‘kaki’, ‘nini’, dan ‘rayi’ dalam Bahasa Sunda yang berarti kakek, nenek, dan adik. Sementara itu para pejabat pemerintah yang bekerja untuk kepentingan raja dan kerajaan juga diberi status sama dengan keluarga raja, dengan konsep bahwa melayani raja sebuah kerajaan adalah melayani kepala keluarga sebuah keluarga besar. Di kemudian hari ada juga orang yang bukan keluarga raja dan bukan pejabat pemerintah tetapi karena dianggap berjasa besar kepada raja atau negara atau masyarakat, maka diberi status bangsawan yang juga disamakan dengan keluarga raja.
Maka secara umum ada tiga jenis gelar kebangsawanan Jawa berdasarkan latar belakang diperolehnya:
Walaupun demikian banyak terdapat gelar yang merupakan irisan antara jenis gelar yang satu dengan jenis gelar yang lain. Contohnya adalah gelar Kanjeng Gusti Pangeran Harya yang merupakan irisan antara gelar keturunan, gelar jabatan, dan gelar kehormatan. Sebagai gelar keturunan, gelar tersebut hanya bisa diberikan kepada seorang putra raja; sebagai gelar jabatan, gelar tersebut adalah gelar jabatan lurah pangeran yaitu kepala para pangeran; dan sebagai gelar kehormatan, gelar tersebut hanya diberikan setelah penerima gelar mencapai usia yang dianggap dewasa.
Perlu diperhatikan bahwa kata ‘gelar’ dalam Bahasa Jawa bisa pula berarti ‘nama’ dalam Bahasa Indonesia, sedangkan kata ‘gelar’ dalam Bahasa Indonesia sepadan dengan ‘sesebutan’ dalam Bahasa Jawa. Selain kata ‘sesebutan’ kadang juga digunakan kata ‘pangkat’ dalam Bahasa Jawa yang maknanya beririsan dengan kata ‘pangkat’ dalam Bahasa Indonesia. Sebagai contoh adalah Kanjeng Gusti Pangeran Harya Mangkubumi; dalam Bahasa Jawa, Kanjeng Gusti Pangeran Harya adalah sesebutan atau pangkat dan Mangkubumi adalah gelar; sedangkan dalam Bahasa Indonesia, Kanjeng Gusti Pangeran Harya adalah gelar dan Mangkubumi adalah nama. Selain memiliki peraturan mengenai gelar, Kerajaan Mataram Islam dan semua negara pecahannya juga memiliki peraturan mengenai nama untuk keluarga dekat penguasa dan nama untuk pejabat umum. Sebagai contoh adalah bupati nayaka jero dan bupati anon-anon jero harus memakai nama berakhiran ‘ningrat’ sedangkan bupati nayaka jaba dan bupati anon-anon jaba harus memakai nama berakhiran ‘nagara’.
Para penguasa Kerajaan Mataram Islam beberapa kali berganti gelar sebelum terjadi perpecahan kerajaan. Raja pertama (Senapati) memakai gelar panembahan, raja kedua (Hanyakrawati) memakai gelar susuhunan, raja keempat (Hanyakrakusuma) awalnya memakai gelar susuhunan tetapi kemudian berganti menjadi sultan, raja kelima (Amangkurat I) sampai perpecahan terjadi (Pakubuwana III) memakai gelar susuhunan. Pembagian Kerajaan Mataram Islam menjadi Kerajaan Surakarta dan Kerajaan Yogyakarta mewariskan pula pembagian gelar raja-rajanya. Raja Surakarta memakai gelar susuhunan atau disingkat menjadi sunan sedangkan Raja Yogyakarta memakai gelar sultan. Oleh karena itu maka Kerajaan Surakarta disebut juga Kasunanan Surakarta dan Kerajaan Yogyakarta disebut juga Kasultanan Yogyakarta. Kata ganti orang ketiga tunggal untuk menyebut Sunan Surakarta adalah “Sahandap Dalem” yang dalam Bahasa Melayu berarti “ke bawah duli”, sedangkan kata ganti orang ketiga tunggal untuk menyebut Sultan Yogyakarta adalah “Ngarsa Dalem” yang dalam Bahasa Melayu berarti “ke hadapan duli”. Perbedaan kata ganti orang ketiga tersebut tercermin dalam cara hormat tradisional ketika menghadap raja. Cara hormat tradisional ketika menghadap Sunan Surakarta adalah dengan mencium kaki sunan, sedangkan cara hormat tradisional ketika menghadap Sultan Yogyakarta adalah dengan mencium lutut sultan.
Walaupun secara tradisional raja mewarisi nama dan atau gelar yang sama dengan pendahulunya, tetapi raja juga berwenang mengubah nama dan atau gelar yang dipakainya sendiri. Sunan Pakubuwana X menambahkan gelar “ingkang Wicaksana” setelah kata “ingkang Sinuhun” dalam gelar tradisional raja untuk memperingati kenaikan pangkatnya dalam KNIL dari Jenderal Mayor menjadi Letnan Jenderal pada tanggal 30 Agustus 1923. Beberapa tahun kemudian Sunan Pakubuwana X menambahkan gelar “ingkang Minulya” setelah kata “ingkang Sinuhun” dalam gelar tradisional raja untuk memperingati penganugerahan tanda kehormatan Orde van de Nederlandse Leeuw tingkat Ridder Grootkruis pada tanggal 21 Januari 1932 dan kenaikan sapaan dari Zijne Prinselijke Hoogheid menjadi Zijne Vorstelijke Hoogheid dari Kerajaan Belanda kepadanya. Sementara itu di Kerajaan Yogyakarta pada tanggal 30 April 2015 Sultan Hamengkubuwana X mengumumkan sabda raja mengenai perubahan nama dan gelar raja yang berbeda dari nama dan gelar tradisional raja.
Penguasa Mangkunagaran dan penguasa Pakualaman adalah pangeran adipati yang secara teknis dua tingkat di bawah raja atau satu tingkat di bawah putra mahkota kerajaan. Karena dua penguasa tersebut adalah pangeran adipati, maka secara singkat masing-masing bisa disebut dengan gelar pangeran atau adipati. Kata ganti orang ketiga tunggal untuk menyebut Adipati Mangkunagaran atau Adipati Pakualaman adalah “Sri Paduka”.
Gelar dan nama lengkap para penguasa tersebut tanpa menyebut urutan adalah:
Raja perempuan atau rani terakhir di Pulau Jawa adalah Suhita, Maharani Majapahit (1429 - 1447) yang mewarisi takhta Majapahit dari ayahnya yaitu Wikramawarddhana dan dia pun memerintah bersama dengan suaminya yaitu Bhra Hyang Parameswara Ratnapangkaja. Sejak kematian Suhita tidak ada lagi perempuan di Pulau Jawa yang mewarisi takhta kerajaan dari orangtuanya.
Tradisi Jawa mengakui legalitas poligini dimana satu laki-laki bisa memiliki lebih dari satu istri pada waktu yang bersamaan dengan jumlah istri tidak dibatasi berapa orang. Pada zaman dahulu praktik poligini ini umum dilakukan oleh para penguasa regional (raja dan pangeran), penguasa lokal (wadana dan kaliwon), ataupun keturunannya. Di antara banyak istri para penguasa tersebut, ada satu sampai empat orang yang mendapat kedudukan istimewa sebagai istri utama yang berhak untuk mendampingi suami pada upacara kenegaraan dan anak laki-laki yang lahir daripadanya berhak menjadi pewaris jabatan suami. Istri atau istri-istri utama ini disebut garwa prameswari atau garwa padmi atau garwa ngajeng, atau dalam Bahasa Indonesia disebut istri permaisuri. Seorang istri permaisuri umumnya harus berasal dari keluarga bangsawan tinggi atau keturunan penguasa pada masa-masa sebelumnya, walaupun bisa juga berasal dari keluarga bangsawan rendah atau bahkan keturunan rakyat biasa. Sedangkan istri atau istri-istri lain lebih bertanggungjawab dalam hal internal kehidupan pribadi suami. Istri atau istri-istri lain ini disebut garwa ampeyan atau garwa ampil atau garwa wingking atau garwa paminggir atau garwa pangrembe atau garwa panumping, atau dalam Bahasa Indonesia disebut istri selir. Seorang istri selir umumnya berasal dari keluarga bangsawan rendah atau keturunan rakyat biasa. Karena kebiasaan poligini semakin hilang di antara keluarga raja, keluarga adipati, dan masyarakat Jawa secara umum maka di masa depan gelar-gelar yang berhubungan dengan istri selir atau keturunannya akan punah.
Tradisi Jawa mengenal istilah-istilah untuk menyebut keturunan hingga beberapa generasi ke bawah. Dalam praktiknya istilah ini juga diterapkan untuk menyebut nenek moyang hingga beberapa generasi ke atas dengan hitungan yang sama. Dalam dokumen resmi maupun tidak resmi, kata “grad” yang adalah serapan dari Bahasa Belanda juga digunakan dalam Bahasa Jawa untuk menyebut keturunan. Konsep keturunan ini perlu dipahami dalam kaitan dengan gelar keturunan.
Istilah untuk keturunan dalam tradisi Jawa yaitu:
Catatan: Kata putra dalam Bahasa Jawa Krama bisa bermakna ganda tergantung konteks kalimat, arti pertama adalah anak dan arti kedua adalah anak laki-laki. Jika kata putra digunakan dalam arti anak, maka anak laki-laki disebut putra kakung dan anak perempuan disebut putra pawestri. Jika kata putra digunakan dalam arti anak laki-laki maka anak perempuan disebut putri. Makna kedua ini yang kemudian diserap ke dalam Bahasa Indonesia.
Catatan: Ki adalah singkatan dari Kyai dan Nyi adalah singkatan dari Nyai. Bentuk singkatan yang bersumber dari bahasa lisan ini juga dijumpai pada beberapa gelar lain seperti gelar Raden Ngabehi yang dalam bahasa lisan biasa disingkat menjadi Den Behi. Namun demikian di kemudian hari pemakaiannya menimbulkan kesan bahwa Ki dan Kyai adalah dua gelar berbeda sebagaimana kesan bahwa Nyi dan Nyai adalah dua gelar berbeda. Oleh karena itu biasanya dalam bahasa lisan sehari-hari gelar Ki dan gelar Kyai ataupun gelar Nyi dan gelar Nyai jarang saling dipertukarkan.
Perbedaan cara menulis dan cara membaca antara Bahasa Jawa dalam Aksara Jawa dengan Bahasa Jawa dalam Aksara Latin mengakibatkan variasi cara menulis gelar atau jabatan. Berkembangnya bahasa tulisan dan bahasa lisan juga mengakibatkan perubahan cara menulis dan cara membaca suatu kata. Contohnya adalah kata gelar Ronggo yang dalam ejaan lama Aksara Jawa ditulis Rongga sekarang ditulis Rangga. Bandingkan dengan nama Margondo yang dalam ejaan lama Aksara Jawa ditulis Margonda.
Akibat semakin panjangnya gelar maka dalam Aksara Jawa dan Aksara Latin muncul singkatan untuk setiap kata gelar, tetapi tidak semua gelar mempunyai singkatan. Karena pendeknya maka kata gelar Ki dan Nyi jarang disingkat. Artikel ini menggunakan singkatan gelar yang umum digunakan (e.g. B. singkatan dari kata Bandara) kecuali jika menimbulkan lebih dari satu makna (e.g. P. singkatan dari kata Panembahan atau Panewu atau Pangeran atau Panghulu atau Panji atau Putri). Penulisan singkatan dalam artikel ini mengikuti tradisi Ejaan van Ophuijsen dan Ejaan Soewandi yang memperlakukan gelar sama dengan nama sehingga singkatan adalah huruf besar huruf pertama diikuti tanda baca titik atau huruf besar huruf pertama diikuti huruf kecil sebagai pembeda diikuti tanda baca titik.
Tradisi Jawa biasa menyebut nama seseorang dengan didahului awalan atau sebutan yang disesuaikan dengan status sosial (e.g. pada zaman dahulu Kyai Anu, Nyai Anu, Ki Anu, Nyi Anu) atau hubungan kekerabatan dalam keluarga (e.g. pada zaman sekarang Pakdhe Anu, Budhe Anu, Mas Anu, Bak Anu). Bersamaan dengan kebiasaan ini berkembang pula gelar kebangsawanan yang selalu diletakkan di depan nama, dari yang sederhana hanya satu kata (e.g. Harya / Haryo / Arya / Aryo) hingga akhirnya menjadi rumit mencapai maksimal enam kata (i.e. Kanjeng Raden Mas Riya Harya Panji). Karena kebiasaan ini pula, maka ada juga padanan gelar bagi rakyat biasa (e.g. Mas adalah sebutan dasar untuk keturunan rakyat biasa, sedangkan Raden adalah gelar dasar untuk keturunan bangsawan).
Setelah dianggap sudah mencapai usia dewasa yaitu setelah disunat atau sekira usia 15 tahun atau sesaat sebelum menikah biasanya para putra raja dilantik menjadi pangeran untuk memegang jabatan tertentu di kerajaan. Namun di kemudian hari bukan hanya putra raja yang dilantik menjadi pangeran. Atas kehendak pribadi raja, maka keturunan dekat raja, keturunan jauh raja, bahkan rakyat biasa dapat diberi gelar pangeran.
Ada empat jenis pangeran berdasarkan variasi dekat jauhnya hubungan keluarga dengan raja, yaitu:
Perpecahan dalam Kerajaan Mataram Islam menghasilkan dua jenis status untuk pangeran berdaulat, yaitu:
Sejak tanggal 4 November 1896 itulah Pangeran Adipati Mangkunagara menjadi pangeran mardika dari Kerajaan Surakarta sekaligus menjadi pangeran miji dalam pemerintah kolonial Hindia Belanda. Berbeda dengan Pangeran Adipati Pakualam yang sejak berdaulat pada tanggal 17 Maret 1813 menjadi pangeran mardika dari Kerajaan Yogyakarta sekaligus menjadi pangeran miji dalam pemerintah kolonial Hindia Inggris yang kemudian menjadi pemerintah kolonial Hindia Belanda.
Perubahan gelar akibat usia atau status pernikahan juga berlaku untuk keturunan jauh raja. Gelar Raden Bagus seorang laki-laki akan berubah menjadi Raden jika dianggap sudah mencapai usia dewasa yaitu sekira usia 15 tahun atau sudah menikah. Gelar Raden Rara seorang perempuan akan berubah menjadi Raden Nganten jika sudah menikah. Di beberapa daerah gelar Raden Nganten hanya diperuntukkan bagi seorang Raden Rara yang baru menikah, sedangkan jika pernikahannya sudah lama berlalu atau sudah melahirkan anak maka gelarnya berubah menjadi Raden. Namun hal seperti ini hanya pengecualian lokal karena secara umum tradisi Jawa membedakan gelar antara laki-laki dengan perempuan.
Nama diri seorang perempuan dipakai hanya selama perempuan tersebut belum menikah. Jika seorang perempuan sudah menikah maka nama yang dipakai adalah nama suaminya dengan gelar perempuan sebagai pembeda. Contoh: Seorang perempuan bernama Tina menikah dengan seorang laki-laki bernama Budi, maka Tina disebut Ibu Budi atau Bu Budi sedangkan Budi disebut Bapak Budi atau Pak Budi. Tradisi ini berlaku juga dalam kerangka gelar kebangsawanan Jawa. Seorang perempuan yang sudah menikah bukan hanya memakai nama suaminya tetapi juga gelar suaminya, dengan catatan bahwa perempuan tersebut berstatus sebagai istri permaisuri yang dipandang setara atau pantas untuk memakai nama suaminya dan gelar jabatan suaminya atau gelar kehormatan suaminya. Gelar jabatan atau gelar kehormatan pihak suami boleh dipakai pihak istri hanya jika nama suami juga dipakai. Contoh: Raden Ajeng Kartini menikah dengan Raden Mas Adipati Harya Singgih Jayaadiningrat, maka gelarnya dan atau namanya berubah menjadi Raden Ayu Jayaadiningrat atau Raden Ayu Adipati Harya Jayaadiningrat atau Raden Ayu Kartini atau Raden Ayu Kartini Jayaadiningrat atau Raden Ayu Adipati Harya Kartini Jayaadiningrat.
Usaha standarisasi gelar keturunan pertama kali dilakukan oleh Panembahan Senapati yang menentukan bahwa gelar Raden hanya diperuntukkan bagi keturunan raja. Peraturan tradisional dari Sunan Amangkurat II tahun 1682 mengenai gelar keturunan raja dan keturunan pejabat pemerintah menentukan bahwa piut raja yang memakai gelar Raden Mas atau Raden Ajeng hanya piut raja yang adalah cucu atau cicit pangeran, sedangkan piut raja yang bukan cucu atau cicit pangeran memakai gelar Raden Bagus atau Raden Rara. Peraturan tersebut diulangi dalam Angger Awisan dari Sunan Pakubuwana IV tahun 1797. Karena di kemudian hari makin banyak terjadi penyalahgunaan gelar keturunan yang mendapat perhatian dari masyarakat maka secara utuh peraturan tersebut dimuat dalam seri artikel surat kabar Bramartani edisi 38 - 40, 46, 63 - 65, dan 72 - 74 yang terbit tahun 1892. Surat kabar yang menggunakan Bahasa Sunda yaitu Sipatahoenan juga sempat memuat bagian awal peraturan tersebut dalam artikel yang terbit tanggal 8 April 1935. Peraturan tersebut diubah sebagian pada tahun 1852 oleh Sunan Pakubuwana VII sehingga semua piut raja dan semua cicit Adipati Mangkunagara bisa memakai gelar Raden Mas atau Raden Ajeng. Pada rapat pada malam hari tanggal 16 Desember 1924 perkumpulan Narpawandawa mengajukan permohonan kepada Kerajaan Surakarta supaya piut laki-laki raja yang menjadi petugas kerajaan tetap boleh memakai gelar Raden Mas dan supaya piut perempuan raja yang menjadi istri selir tetap boleh memakai gelar Raden Ayu.
Kerajaan Yogyakarta mengeluarkan peraturan yang dimuat dalam Lembaran Kerajaan nomor 18 tahun 1927 yang menentukan bahwa gelar Raden Bagus atau Raden dan gelar Raden Rara atau Raden Nganten diwariskan tanpa henti mulai dari anggas raja. Peraturan ini sempat dibahas dalam surat kabar Kajawen tanggal 27 September 1930 yang membandingkan bahwa gelar Raden di Kerajaan Surakarta berhenti sampai di anggas raja sesuai peraturan tradisional dalam Serat Raja Kapa-kapa sedangkan gelar Raden di Kerajaan Yogyakarta bisa diwariskan tanpa henti. Untuk mengimbangi peraturan Kerajaan Yogyakarta tersebut maka patih Kerajaan Surakarta mengeluarkan peraturan nomor 33C/1/I tanggal 25 Maret 1931 yang dimuat dalam Lembaran Kerajaan nomor 7 tanggal 1 April 1931 yang menentukan gelar Raden Bagus atau Raden dan gelar Raden Rara atau Raden Nganten diwariskan tanpa henti mulai dari anggas raja melalui garis keturunan laki-laki dan garis keturunan perempuan.
Pada tanggal 11 Maret 1935 Gubernur Surakarta, Gubernur Yogyakarta, dan para zelfbestuurder di vorstenlanden mengadakan rapat yang membahas beberapa hal termasuk mengenai gelar keturunan. Dalam rapat tersebut Gubernur Surakarta meminta bantuan dari Emile Gobée yang menjabat sebagai Adviseur voor Inlandsche Zaken supaya menjelaskan rancangan peraturan pemerintah kolonial mengenai gelar keturunan kepada Raja Surakarta dan Raja Yogyakarta. Pokok-pokok rancangan tersebut yaitu: 1. Gelar Raden Mas diwariskan sampai piut para zelfbestuurder di vorstenlanden dari garis keturunan laki-laki ataupun garis keturunan perempuan. 2. Gelar Raden diwariskan mulai anggas para zelfbestuurder di vorstenlanden, tanpa batas jika melalui garis keturunan laki-laki dan sampai udeg-udeg para zelfbestuurder di vorstenlanden jika melalui garis keturunan perempuan. Khusus mengenai gelar Raden Ayu di tanah gouvernement akan dibicarakan di kemudian hari bersama Raja Surakarta dan Raja Yogyakarta. Walaupun peraturan mengenai gelar Raden Ayu di tanah vorstenlanden sudah jelas, tetapi komisi mengenai gelar berencana akan menerapkan peraturan baru di tanah vorstenlanden supaya seragam dengan tanah gouvernement.
Kadipaten Mangkunagaran mengeluarkan peraturan nomor 5 tanggal 15 Oktober 1935 yang menentukan bahwa semua piut adipati bisa memakai gelar Raden Mas dan gelar Raden Ajeng atau Raden Ayu. Peraturan ini diperkuat oleh Dekrit Gubernur Jenderal Hindia Belanda nomor 31 tanggal 30 September 1936 dalam Lembaran Negara nomor 13711 yang menentukan bahwa gelar Raden Mas dan Raden Ajeng atau Raden Ayu dibatasi sampai piut Raja Surakarta, Raja Yogyakarta, Adipati Mangkunagara, dan Adipati Pakualam. Dekrit ini membatalkan Dekrit Gubernur Jenderal Hindia Belanda nomor 1840/AI tanggal 9 Agustus 1929 yang dimuat dalam Lembaran Negara nomor 12082 mengenai pewarisan gelar Raden di Pulau Jawa dan Pulau Madura, dan Surat Sekretaris Negara Hindia Belanda nomor 1856/AI tanggal 18 Agustus 1930 yang dimuat dalam Lembaran Negara nomor 12375 mengenai gelar Harya dan Panji untuk bangsawan Madura.
Di kemudian hari peraturan yang berbeda-beda dari instansi yang berbeda-beda pula ini menimbulkan perdebatan bahkan pertikaian karena Kerajaan Surakarta berpandangan bahwa Raja Surakarta satu tingkat lebih tinggi daripada Adipati Mangkunagara dan Adipati Pakualam. Oleh karena itu jika piut Adipati Mangkunagara dan Adipati Pakualam bisa memakai gelar Raden Mas dan gelar Raden Ajeng atau Raden Ayu maka sudah seharusnya anggas Raja Surakarta bisa memakai gelar yang sama. Maka pada tanggal 25 Januari 1938 Sunan Pakubuwana X melalui patih kerajaan yaitu K.P.H.Ad. Jayanagara dalam peraturan nomor 1C/4/I yang dimuat dalam Lembaran Kerajaan nomor 3 tanggal 1 Februari 1938 menetapkan bahwa semua anggas raja bisa memakai gelar Raden Mas dan gelar Raden Ajeng atau Raden Ayu. Langkah ini pun menimbulkan kegelisahan baru karena para anggas raja di Kerajaan Yogyakarta memohon kepada raja supaya diperbolehkan memakai gelar Raden Mas dan gelar Raden Ajeng atau Raden Ayu seperti saudara-saudari mereka di Kerajaan Surakarta sebagaimana dimuat dalam laporan surat kabar Kajawen tanggal 21 Mei 1938. Namun demikian Kerajaan Yogyakarta tidak mengabulkan permohonan tersebut dengan tetap memertahankan peraturan tradisional bahwa gelar Raden Mas dan gelar Raden Ajeng atau Raden Ayu berhenti di piut raja.
Secara teknis perubahan gelar ini terjadi dengan sendirinya pada saat peraturan terbaru ditetapkan. Tetapi secara administrasi perubahan gelar harus dimohonkan kepada pejabat yang berwenang. Maka kepatihan Kerajaan Surakarta menetapkan peraturan nomor 3C/3/II tanggal 19 Februari 1938 yang menentukan bahwa proses permohonan gelar Raden Mas dan gelar Raden Ajeng atau Raden Ayu mengikuti peraturan nomor 35C/1/I tanggal 12 Agustus 1931 yang dimuat dalam Lembaran Kerajaan nomor 16 tanggal 15 Agustus 1931 yang berlaku untuk proses permohonan gelar Raden Bagus atau Raden dan gelar Raden Rara atau Raden Nganten.
Walaupun secara prinsip pewarisan gelar keturunan di Kerajaan Mataram Islam bisa melalui garis keturunan laki-laki dan garis keturunan perempuan atau disebut juga sistem bilateral, tetapi secara tradisional dalam penerapannya pewarisan gelar keturunan melalui garis keturunan laki-laki lebih kuat daripada melalui garis keturunan perempuan. Contohnya adalah cicit Raja Surakarta yang menjabat sebagai bupati memakai gelar Raden Mas Harya jika melalui garis keturunan laki-laki sedangkan jika melalui garis keturunan perempuan memakai gelar Raden Mas Tumenggung. Perbedaan tajam antara garis keturunan laki-laki dan garis keturunan perempuan secara berangsur semakin berkurang dan setidaknya sejak awal abad keduapuluh garis keturunan perempuan menjadi sama kuat dengan garis keturunan laki-laki, terlebih lagi dengan munculnya peraturan-peraturan resmi dari pemerintah Kerajaan Surakarta dan Kerajaan Yogyakarta yang tidak membedakan garis keturunan laki-laki dan garis keturunan perempuan. Hal ini berbeda dengan pemerintah kolonial Hindia Belanda dan Kadipaten Mangkunagaran yang masih membedakan garis keturunan laki-laki dan garis keturunan perempuan.
Pada masa lalu umumnya menantu laki-laki raja dari keturunan rakyat biasa akan diberi jabatan wadana dengan gelar yang sesuai yaitu Raden Tumenggung sebelum upacara pernikahan untuk mencegah jangan sampai putri raja menikah dengan laki-laki biasa. Namun karena kebiasaan poligini semakin hilang di antara keluarga raja yang mengakibatkan berkurangnya jumlah laki-laki keluarga raja yang umumnya dipercaya mengelola kerajaan, maka pada masa kini menantu laki-laki raja dari keturunan rakyat biasa semakin sering diberi gelar pangeran yang disesuaikan dengan jabatan yang lebih tinggi.
Pada masa awal Kerajaan Mataram Islam seorang laki-laki keturunan rakyat biasa yang menjadi pejabat pemerintah baik pejabat tinggi atau pejabat rendah umumnya disebut Kyai sehingga dijumpai gelar Kyai Adipati, Kyai Tumenggung, Kyai Ngabehi, atau Kyai Lurah. Namun di kemudian hari laki-laki keturunan rakyat biasa yang menjadi pejabat tinggi umumnya disebut Mas sehingga dijumpai gelar Mas Tumenggung atau Mas Ngabehi sedangkan sebutan Kyai atau dalam bentuk singkatnya yaitu Ki masih digunakan bagi pejabat rendah seperti lurah. Kerajaan Yogyakarta masih memertahankan aturan gelar Mas bagi pejabat pemerintah keturunan rakyat biasa baik itu pejabat tinggi ataupun pejabat rendah, sedangkan Kerajaan Surakarta menilai bahwa jabatan wadana terlalu tinggi untuk gelar Mas sehingga laki-laki keturunan rakyat biasa yang menjabat sebagai wadana diberi gelar Raden. Peraturan mengenai gelar jabatan ini mengalami banyak perubahan bagi laki-laki tetapi tidak bagi perempuan dimana Kerajaan Surakarta masih memertahankan gelar Nyai dan Kerajaan Yogyakarta masih memertahankan bentuk singkatnya yaitu Nyi. Ada pula persamaan pandangan Kerajaan Surakarta dengan Kerajaan Yogyakarta terkait gelar jabatan yaitu mengenai jabatan patih yang kuasanya sangat besar. Seorang patih dinilai terlalu tinggi untuk menggunakan gelar Kyai ataupun Mas, maka laki-laki keturunan rakyat biasa yang menjabat sebagai patih akan mendapat gelar Raden sehingga gelar lama Kyai Adipati berubah menjadi Raden Adipati.
Selain standarisasi dan kodifikasi gelar keturunan, Raja Surakarta juga melakukan beberapa perubahan terhadap gelar jabatan. Sunan Pakubuwana IV memberikan gelar Kanjeng kepada R.Ap. Sasradiningrat II (1812 - 1846) yang menjabat sebagai patih, maka sejak saat itu gelar patih yang semula adalah Raden Adipati berubah menjadi Kanjeng Raden Adipati. Perubahan gelar patih kerajaan ini diikuti pula oleh Kerajaan Yogyakarta sehingga patihnya pun memakai gelar Kanjeng Raden Adipati. Sunan Pakubuwana IV juga menentukan bahwa kaliwon harus memakai kata gelar Raden, sehingga sejak saat itu kaliwon keturunan rakyat biasa di Kerajaan Surakarta memakai gelar Raden Ngabehi bukan lagi gelar Kyai Ngabehi atau Mas Ngabehi. Pada tahun 1824 gelar kepala pengadilan pradata dinaikkan dari Ngabehi menjadi Tumenggung. Dalam masa pemerintahan patih K.R.Ap. Sasradiningrat IV (1890 - 1916) dilakukan reorganisasi gelar jabatan bagi lurah, bekel, dan jajar. Langkah ini diulangi lagi oleh pejabat patih K.R.Ap. Jayanagara yang kembali melakukan reorganisasi gelar jabatan bagi lurah, bekel, dan jajar dalam surat keputusan tanggal 28 April 1917. Dalam masa pemerintahan Sunan Pakubuwana X juga dilakukan reorganisasi gelar jabatan bagi wadana, kaliwon, panewu, dan mantri. Contohnya adalah pada tahun 1928 istilah kaliwon diubah menjadi bupati anom dengan gelar yang dinaikkan dari Ngabehi menjadi Tumenggung mengikuti peraturan Kerajaan Yogyakarta.
Tinggi rendahnya status seorang bangsawan ditentukan dari kata kunci gelar bukan berdasarkan panjang atau pendeknya gelar. Kata kunci gelar keturunan berurut dari yang paling tinggi sampai yang paling rendah adalah Gusti, Bandara, Raden, dan Mas. Selain berdasarkan keturunan, jabatan dalam pemerintahan juga menentukan tinggi rendahnya status seorang bangsawan. Kata kunci gelar jabatan berurut dari yang paling tinggi sampai yang paling rendah adalah Adipati, Harya, Tumenggung, dan Ngabehi. Sedangkan kata gelar Kanjeng yang semula hanya bahasa lisan dan gelar tidak resmi perlahan menjadi bahasa tulisan dan gelar resmi sehingga kemudian ditambahkan pula pada beberapa gelar tinggi yang sudah ada sebelumnya khususnya gelar-gelar keluarga dekat raja dan gelar-gelar pejabat tinggi pemerintah.
Secara umum hierarki jabatan pemerintahan di Kerajaan Mataram Islam berurutan dari tingkat tertinggi sampai tingkat terendah yaitu patih, bupati nayaka, bupati wadana, kaliwon, panewu, mantri, lurah, bekel, dan jajar. Di bawah jabatan jajar ada status magang yang belum termasuk dalam petugas negara. Jabatan tinggi seperti patih, bupati, kaliwon, panewu, dan mantri memiliki gelar khusus sehingga seorang pemangku jabatan tersebut disapa dengan gelar keturunan diikuti gelar jabatan (e.g. Kyai Adipati, Raden Adipati, Kyai Tumenggung, Raden Tumenggung, Kyai Ngabehi, Raden Ngabehi). Sedangkan jabatan rendah seperti lurah, bekel, dan jajar tidak memiliki gelar khusus sehingga seorang pemangku jabatan tersebut disapa dengan gelar keturunan diikuti nama jabatan (e.g. Mas Lurah, Raden Lurah, Mas Bekel, Raden Bekel, Mas Jajar, Raden Jajar).
Dalam Kerajaan Surakarta dan Kerajaan Yogyakarta jabatan patih kerajaan membawahi semua jenis bupati sehingga dia bergelar Adipati. Dalam Kadipaten Mangkunagaran dan Kadipaten Pakualaman yang penguasanya bergelar Adipati, jabatan patih kadipaten hanya bergelar Tumenggung dan disebut sebagai bupati patih. Sedangkan di daerah gouvernement ada jabatan patih kabupaten yang setara dengan jabatan kaliwon atau bupati anom di daerah vorstenlanden yang pada masa kemerdekaan kira-kira setara dengan wakil bupati. Karena jabatan patih sering menjadi perantara antara kerajaan atau kadipaten dengan pemerintah kolonial maka kemudian timbul pandangan bahwa jabatan patih adalah kaki tangan pemerintah kolonial. Oleh karena itu sejak kemerdekaan Republik Indonesia jabatan patih kerajaan atau patih kadipaten dihapuskan, baik itu dihapus akibat paksaan dan tekanan terhadap pihak kerajaan atau kadipaten seperti yang terjadi di Surakarta, maupun dihapus dengan sukarela dan atas prakarsa pihak kerajaan atau kadipaten seperti yang terjadi di Yogyakarta.
Setelah perpecahan Kerajaan Mataram Islam, masing-masing kerajaan dan kadipaten menetapkan peraturan yang berbeda mengenai hierarki jabatan walaupun secara garis besar masih mengikuti pola lama. Sejak pertengahan abad keduapuluh, hierarki jabatan pemerintahan di masing-masing kerajaan dan kadipaten berurutan dari tingkat tertinggi sampai tingkat terendah adalah sebagai berikut:
Hierarki jabatan tersebut di atas adalah hierarki jabatan pemerintah pusat di istana, kotaraja, dan sekitarnya. Hierarki jabatan pemerintah daerah mempunyai beberapa variasi tersendiri. Misalnya di Kerajaan Surakarta ada jabatan demang yang secara fungsional setara dengan lurah, tetapi secara struktural lebih tinggi daripada lurah. Perbedaan hierarki jabatan antar kerajaan atau kadipaten ada yang hanya berupa perbedaan istilah untuk jabatan yang sama tetapi ada juga yang sampai berupa pembalikan hierarki. Misalnya di Kerajaan Surakarta jabatan rangga lebih tinggi daripada jabatan demang, tetapi di Kadipaten Mangkunagaran jabatan demang lebih tinggi daripada jabatan rangga.
Selain jabatan pemerintahan, terdapat pula jabatan militer dan jabatan keagamaan. Jabatan militer banyak menyerap kosakata Bahasa Belanda dalam sistem kepangkatan anggota KNIL, walaupun demikian istilah tradisional jabatan militer dan gelar yang sesuai masih dipertahankan. Sedangkan pemangku jabatan keagamaan umumnya bertanggungjawab atas tempat-tempat penting berupa masjid-masjid pusaka, masjid-masjid kabupaten, dan makam-makam pusaka serta upacara keagamaan di dalam atau di luar tempat-tempat penting tersebut.
Pada gelar yang terdiri dari lebih dari satu kata maka urutan kata gelar perlu diperhatikan untuk mengetahui dengan tepat status penyandang gelar karena kata gelar yang terbalik atau tertukar akan mengubah sebagian makna gelar. Contohnya yaitu Kanjeng Raden Mas Harya Tumenggung (K.R.M.H.T.) adalah gelar bupati riya hinggil untuk cucu, cicit, piut, dan anggas Raja Surakarta atau putra, cucu, cicit, dan piut Adipati Mangkunagara; sedangkan Kanjeng Raden Mas Tumenggung Harya (K.R.M.T.H.) adalah gelar bupati sepuh untuk cucu Raja Surakarta atau putra Adipati Mangkunagara.
Terdapat perbedaan tradisi antara Kerajaan Surakarta, Kerajaan Yogyakarta, dan daerah Gouvernement mengenai kombinasi gelar keturunan dan gelar jabatan. Secara umum Kadipaten Mangkunagaran dan Kadipaten Pakualaman mengikuti tradisi Kerajaan Surakarta mengenai kombinasi gelar keturunan dan gelar jabatan.
Pernikahan antara laki-laki bangsawan dengan perempuan bangsawan bisa menghasilkan kombinasi gelar pada anak-anaknya. Jika hal ini terjadi maka anak-anak mendapat gelar tertinggi yang bisa didapat dari bapak digabung dengan gelar tertinggi yang bisa didapat dari ibu. Contoh: Jika seorang laki-laki putra Bupati Sumenep dengan gelar Raden Panji (R.Pj.) menikah dengan seorang perempuan piut Sunan Surakarta dengan gelar Raden Ajeng (R.A.), maka anak laki-laki yang lahir dari pernikahan tersebut memiliki gelar keturunan Raden Mas Panji (R.M.Pj.).
Kerajaan Surakarta, Kerajaan Yogyakarta, Kadipaten Mangkunagaran, dan Kadipaten Pakualaman masing-masing berwenang dan memiliki lembaga khusus untuk menerbitkan surat keterangan mengenai silsilah seseorang dari raja atau adipati dan karena itu juga meneguhkan gelar keturunan yang sesuai. Lembaga tersebut di Kerajaan Surakarta disebut Kusumawandawa, di Kerajaan Yogyakarta disebut Tepas Dharah Dalem, di Kadipaten Mangkunagaran disebut Kawadanan Satriya, dan di Kadipaten Pakualaman disebut Kawadanan Hageng Kasantanan. Sedangkan surat keterangannya di Kerajaan Surakarta disebut Layang Pikukuh Dharah Dalem, di Kerajaan Yogyakarta disebut Layang Kakancingan Dharah Dalem, di Kadipaten Mangkunagaran disebut Piyagam Santana, dan di Kadipaten Pakualaman disebut Nawala Kakancingan.
Peraturan mengenai gelar keturunan mengalami beberapa kali perubahan sejak sebelum pecahnya Kerajaan Mataram Islam sampai awal abad keduapuluh. Setelah perpecahan pun masing-masing kerajaan dan kadipaten menetapkan peraturan yang berbeda perincian mengenai gelar keturunan, sehingga untuk menilai status seseorang berdasarkan gelar keturunannya perlu dilihat latar belakang orang tersebut apakah dari keluarga Raja Surakarta atau Raja Yogyakarta atau Adipati Mangkunagaran atau Adipati Pakualaman atau daerah luar vorstenlanden. Peraturan mengenai gelar keturunan Kerajaan Surakarta dan Kerajaan Yogyakarta berlaku surut, sehingga berlaku juga untuk keturunan Raja Mataram Islam di Kota Gede, Plered, dan Kartasura, keturunan Raja Pajang, keturunan Raja Demak, dan keturunan Raja Majapahit.
Sunan Amangkurat II sebagimana dikutip dalam Angger Awisan dari Sunan Pakubuwana IV menentukan peraturan mengenai gelar bagi keturunan raja, patih, bupati, kaliwon, panewu, dan mantri. Gelar keturunan raja dipengaruhi oleh jarak keturunan dari raja dan jarak keturunan dari pangeran. Sedangkan gelar keturunan patih, bupati, kaliwon, panewu, dan mantri yang berasal dari keturunan rakyat biasa dipengaruhi oleh status kebangsawanan ibunya yaitu istri para pejabat tersebut.
Sunan Pakubuwana IV melakukan pengaturan gelar keturunan sebagaimana dituliskan dalam Serat Mahapurawa.
Ketetapan Kerajaan nomor 33C/1/I tanggal 25 Maret 1931 yang dimuat dalam Lembaran Kerajaan nomor 7 tanggal 1 April 1931 dan nomor 1C/4/I tanggal 25 Januari 1938 yang dimuat dalam Lembaran Kerajaan nomor 3 tanggal 1 Februari 1938 menentukan bahwa gelar Raden Bagus (R.Bg.) atau Raden (R.) dan Raden Rara (R.Rr) atau Raden Nganten (R.Ngt.) dimulai dari udeg-udeg raja sampai keturunan seterusnya tanpa batas melalui garis keturunan laki-laki atau garis keturunan perempuan.
Ketetapan Kerajaan yang dimuat dalam Lembaran Kerajaan nomor 18 tahun 1927, nomor 8 tahun 1932, dan nomor 16 tahun 1940 menentukan bahwa gelar Raden Bagus (R.Bg.) atau Raden (R.) dan Raden Rara (R.Rr.) atau Raden Nganten (R.Ngt.) dimulai dari anggas raja sampai keturunan seterusnya tanpa batas melalui garis keturunan laki-laki atau garis keturunan perempuan.
Ketetapan Kadipaten nomor 5 tahun 1935 tanggal 15 Oktober 1935 dan nomor 28 tahun 1936 tanggal 23 Oktober 1936 menentukan bahwa gelar Raden (R.) dan Raden Rara (R.Rr.) atau Raden Nganten (R.Ngt.) dimulai dari anggas adipati sampai keturunan seterusnya tanpa batas hanya melalui garis keturunan laki-laki; gelar Raden (R.) dan Raden Rara (R.Rr.) atau Raden Nganten (R.Ngt.) dimulai dari anggas adipati dan berhenti sampai udeg-udeg adipati jika melalui garis keturunan perempuan.
Dekrit Gubernur Jenderal Hindia Belanda nomor 31 tanggal 30 September 1936 yang dimuat dalam Lembaran Negara nomor 13711 menentukan peraturan gelar Raden Mas (R.M.) dan Raden (R.) untuk keturunan para penguasa di Pulau Jawa dan Madura dan gelar Raden Harya (R.H.) dan Raden Panji (R.Pj.) untuk keturunan para penguasa di Pulau Madura.
Raden Mas (R.M.) adalah gelar untuk anak, cucu, cicit, dan piut Raja Surakarta atau Raja Yogyakarta atau Adipati Mangkunagaran atau Adipati Pakualaman melalui garis keturunan laki-laki atau perempuan.
Raden (R.) adalah gelar untuk anggas dan udeg-udeg Raja Surakarta atau Raja Yogyakarta atau Adipati Mangkunagaran atau Adipati Pakualaman melalui garis keturunan laki-laki atau perempuan; atau debog bosok dan keturunan selanjutnya dari Raja Surakarta atau Raja Yogyakarta atau Adipati Mangkunagaran atau Adipati Pakualaman hanya melalui garis keturunan laki-laki; atau keturunan para raja di Pulau Jawa dan Pulau Madura selain dari Surakarta atau Yogyakarta atau Mangkunagaran atau Pakualaman, keturunan para Raja Banten, keturunan para wali yang disebut sunan, keturunan para bupati di luar vorstenlanden, dan keturunan orang yang karena jasanya diberi gelar Raden (R.) oleh pemerintah, hanya melalui garis keturunan laki-laki; atau anak dan cucu para bupati di Jawa Tengah dan Jawa Timur di luar vorstenlanden melalui garis keturunan laki-laki atau melalui garis keturunan perempuan jika tradisi setempat membolehkan pewarisan gelar melalui garis keturunan perempuan; atau cicit dan keturunan selanjutnya dari para bupati di Jawa Tengah dan Jawa Timur di luar vorstenlanden hanya melalui garis keturunan laki-laki; atau keturunan Kyai Tumenggung Puspanagara dari Gresik atau Kyai Kramajaya dari Kanoman di Surabaya yang menurut tradisi sebelumnya sudah memakai gelar Ngabehi (Ng.) atau Kyai Ngabehi (Ky.Ng.) atau Mas Ngabehi (M.Ng.) hanya melalui garis keturunan laki-laki.
Raden Harya (R.H.) adalah gelar untuk anak, cucu, dan cicit penguasa di Pulau Madura yang bergelar sultan hanya melalui garis keturunan laki-laki; atau anak dan cucu penguasa di Pulau Madura yang bergelar panembahan atau pangeran adipati hanya melalui garis keturunan laki-laki; atau anak bupati di Pulau Madura.
Raden Panji (R.Pj.) adalah gelar untuk piut dan anggas penguasa di Pulau Madura yang bergelar sultan hanya melalui garis keturunan laki-laki; atau cicit dan piut penguasa di Pulau Madura yang bergelar panembahan atau pangeran adipati hanya melalui garis keturunan laki-laki; atau cucu dan cicit bupati di Pulau Madura hanya melalui garis keturunan laki-laki; atau keturunan Kyai Tumenggung Candranagara dari Kasepuhan di Surabaya yang menjabat sebagai bupati dan anak bupati tersebut hanya melalui garis keturunan laki-laki.
Tidak diatur pemerintah kolonial.
Beberapa keluarga mendasarkan status kebangsawanannya karena mereka adalah keturunan penguasa lokal atau tokoh agama seperti sunan atau wali. Beberapa keluarga tersebut memiliki tradisi sendiri mengenai gelar kebangsawanan dan di kemudian hari sebagian jenis gelar kebangsawanan ini diakui juga oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda.
Peraturan mengenai gelar jabatan mengalami beberapa kali perubahan sejak sebelum pecahnya Kerajaan Mataram Islam sampai awal abad keduapuluh. Setelah perpecahan pun masing-masing kerajaan dan kadipaten menetapkan peraturan yang berbeda mengenai gelar jabatan, sehingga untuk menilai status seseorang berdasarkan gelar jabatannya perlu dilihat latar belakang orang tersebut apakah dari keluarga Raja Surakarta atau Raja Yogyakarta atau Adipati Mangkunagaran atau Adipati Pakualaman atau daerah luar vorstenlanden. Peraturan mengenai gelar jabatan Kerajaan Surakarta dan Kerajaan Yogyakarta tidak berlaku surut.
Tidak diatur pemerintah kolonial.
Gelar Pangeran diberikan oleh raja atau adipati hanya kepada laki-laki dan menggantikan gelar keturunan, sehingga tidak dirangkap dengan gelar keturunan apapun seperti Bandara Raden Mas atau Raden Mas atau Raden atau Mas. Contohnya adalah seorang cucu Raja Surakarta yang sudah dewasa dengan gelar Kanjeng Raden Mas Harya (K.R.M.H.) jika diberi gelar Pangeran maka gelarnya menjadi Bandara Pangeran Harya (B.P.H.). Gelar Pangeran biasanya diberikan kepada putra raja ketika putra raja tersebut dianggap sudah mencapai usia dewasa yaitu setelah disunat atau sekira usia 15 tahun atau sesaat sebelum menikah. Karena pada masa kini gelar Pangeran juga diberikan berdasarkan latar belakang jasa bagi kerajaan atau kadipaten maka gelar ini sangat umum diberikan kepada keturunan jauh raja atau adipati bahkan kepada keturunan rakyat biasa. Selain Raja Surakarta dan Raja Yogyakarta, Adipati Mangkunagaran dan Adipati Pakualaman juga berwenang memberikan gelar Pangeran kepada keluarga atau pejabat masing-masing.
Gelar Ratu diberikan oleh raja hanya kepada perempuan dan menggantikan gelar keturunan, sehingga tidak dirangkap dengan gelar keturunan apapun seperti Bandara Raden Ayu atau Raden Ayu atau Raden Nganten atau Mas Nganten. Contohnya adalah seorang cucu Raja Surakarta yang sudah menikah dengan gelar Bandara Raden Ayu (B.R.Ay.) jika diberi gelar Ratu maka gelarnya berubah menjadi Kanjeng Ratu (K.Rt.). Gelar Ratu biasanya diberikan kepada putri raja atau kadang kala diberikan kepada cucu raja ketika putri raja atau cucu raja tersebut akan menikah dengan seorang pangeran atau raja. Perempuan keturunan jauh raja atau keturunan rakyat biasa juga bisa diberi gelar Ratu jika perempuan tersebut menjadi istri permaisuri raja. Karena gelar Ratu biasanya diberikan berdasarkan dua latar belakang yaitu kedekatan hubungan keluarga dengan raja dan status suami maka gelar ini nyaris tidak pernah diberikan kepada keturunan jauh raja apalagi keturunan rakyat biasa. Hanya Raja Surakarta dan Raja Yogyakarta yang berwenang memberi gelar Ratu, oleh karena itu maka Adipati Mangkunagaran membuat gelar Putri sebagai padanan gelar Ratu untuk istri permaisuri adipati.
Tidak diatur pemerintah kolonial.
Peraturan mengenai gelar kehormatan mengalami beberapa kali perubahan sejak sebelum pecahnya Kerajaan Mataram Islam sampai pertengahan abad keduapuluh. Setelah perpecahan pun masing-masing kerajaan dan kadipaten menetapkan peraturan yang berbeda mengenai gelar kehormatan, sehingga untuk menilai status seseorang berdasarkan gelar kehormatannya perlu dilihat latar belakang orang tersebut apakah dari keluarga Raja Surakarta atau Raja Yogyakarta atau Adipati Mangkunagaran atau Adipati Pakualaman atau daerah luar vorstenlanden. Peraturan mengenai gelar kehormatan tidak berlaku surut.
Karena gelar kehormatan bisa jadi beririsan dengan gelar keturunan dan gelar jabatan maka ada gelar kehormatan yang bisa diberikan raja atau adipati kepada seseorang tanpa memperhatikan latar belakang orang tersebut dan ada pula gelar kehormatan yang hanya bisa diberikan raja atau adipati kepada seseorang dengan memperhatikan latar belakang orang tersebut. Beberapa gelar kehormatan juga mempunyai sejenis jenjang kepangkatan seperti halnya yang terjadi pada gelar untuk istri selir raja dari keturunan rakyat biasa. Perempuan keturunan rakyat biasa langsung mendapat gelar Mas Ayu ketika menikah dengan Raja Surakarta sebagai istri selir, seiring waktu jika raja berkenan maka kedudukannya dinaikkan dimana raja memberikan gelar Raden dan bisa dinaikkan lagi dimana raja memberikan gelar Raden Ayu.
Tidak diatur pemerintah kolonial.
Terdapat pula gelar yang serupa dengan gelar kebangsawanan tetapi penyandangnya bukanlah manusia melainkan benda pusaka kerajaan atau kadipaten. Perlakuan hormat oleh para petugas istana dan warga kerajaan atau kadipaten terhadap benda pusaka dilakukan dengan beberapa cara termasuk di antaranya yaitu pelestarian atau perawatan. Namun ada pula cara lain yaitu berupa personifikasi benda pusaka yang memandang bahwa secara rohani benda pusaka sama dengan manusia walaupun secara jasmani berbeda. Personifikasi tersebut dilakukan di antaranya dengan memberi nama dan menisbatkan jenis kelamin tertentu. Oleh karena menyandang kedudukan sangat tinggi dalam pandangan warga kerajaan atau kadipaten, maka sejenis gelar kebangsawanan juga disematkan kepada benda pusaka.
Seamless Wikipedia browsing. On steroids.
Every time you click a link to Wikipedia, Wiktionary or Wikiquote in your browser's search results, it will show the modern Wikiwand interface.
Wikiwand extension is a five stars, simple, with minimum permission required to keep your browsing private, safe and transparent.