Dosa (dari bahasa Sanskerta: doṣa) adalah suatu istilah yang terutama digunakan dalam konteks agama untuk menjelaskan tindakan yang melanggar norma atau aturan yang telah ditetapkan Tuhan atau Wahyu Illahi.
Dalam ajaran Buddha, dosa (bahasa Pali: dosa; bahasa Sanskerta: dveṣa) berarti kebencian, marah, merusak, tidak suka, tidak senang, tidak puas, tidak penerimaan, yang tergolong penolakkan.[1] Dosa merupakan salah satu penyebab perbuatan buruk (akusalakamma) dari tiga awal permulaan kejahatan atau tiga akar kejahatan (bahasa Pali: ti akusalamūla; bahasa Sansekerta: tri akushalamūla) yang terdiri dari lobha, dosa dan moha.
Di dalam pembahasan al-Quran Dosa diterjemahkan dari beberapa kata yakni:
Istmun ( اثم ) = perbuatan yang berdampak buruk َQS. 2 (al Baqarah) ayat 218 " mereka bertanya kepadamu tentang mengkonsumsi Khamar (makanan atau minuman yang memabukan) dan Judi mengapa diharamkan? maka katakanlah pada keduanya terdapat Dosa besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosanya lebih besar dari manfaat"....di sini jika dihayati dengan cermat terlihatlah penggunaan kata yang tidak seimbang yakni Dosa dengan Manfaat. sebenarnya Dosa dari kata Itsmun mengandung arti "MUDHARAT". Jadi Dosa dari kata Itsmun berarti" segala perbuatan melanggar aturan Allah yang berdampak negatif (Mudharat) baik kepada pelaku maupun lngkungan, baik langsung maupun tidak langsung. (lihat pula: QS. 5: 90-91, 49: 12, 6; 120, 4; 48 )
Junaahun ( جناح ) = perbuatan melanggar norma-norma. QS. 24 ( An Nur ) ayat 29; " bukanlah dosa ( melanggar norma ) jika kamu memasuki rumah-rumah persinggah tanpa minta izin dan mengucapkan salam kepada pemiliknya". (lihat QS; 2; 198,282, 33; 5).
Dzanbun ( ذنب ) = perbuatan melanggar hak asasi manusia. QS. 26 : 10 - 14 " menjelaskan kesalahan Musa membunuh seorang dari kaum Firaun. lalu dalam QS. 28; 15; Musa menyebut dengan istilah Dzanbun.( lihat juga QS. 17 ; 17, 80; 1-9.
Saiyiat (سيئات) = Kejahatan. QS. 11 ; 114 " sesungguhnya kebaikan melenyapkan kejahatan. (ini bukan berarti perbuatan baik dan menghapus catatan dosa/kesalahan, tetapi perbuatan jahat itu hanya dapat dihilangkan dengan mengerjakan kebaikan yang merupakan lawannya. contoh; pembohong dihapus dengan jujur, kikir dihapus dengan dermawan, dst.) (lihat juga QS. 41; 34, 3; 193, 83; 29-36.
Dari penguraian ayat-ayat di atas dapat dipahami bahwa dosa adalah perilaku menduhakai peraturan Allah SWT (عصي) = Maksiat, ia tidak bisa dihapus kecuali dengan pertaubatan, dan tidak dikatakan bertaubat jika masih bermaksiat kepada Allah. (QS. 33; 36, 4; 1.46, 72; 23)
Yudaisme menganggap pelanggaran mitzvot (perintah ilahi) sebagai dosa. Yudaisme menggunakan istilah ini untuk memasukkan pelanggaran hukum Yahudi yang tidak selalu berarti kehilangan moralitas. Yudaisme berpendapat bahwa semua orang berdosa di berbagai titik dalam hidup mereka, dan berpendapat bahwa Tuhan selalu mengendalikan keadilan dengan belas kasihan.[2]
Kata Ibrani generik untuk segala jenis dosa adalah aveira. Berdasarkan ayat-ayat dalam Tanakh (Alkitab Ibrani), Yudaisme menjelaskan tiga tingkat dosa.
Pesha - Dosa yang disengaja; tindakan yang dilakukan dengan sengaja menentang Tuhan;
Ovon - Ini adalah dosa nafsu atau emosi yang tidak terkendali. Itu adalah dosa yang dilakukan dengan sengaja, tetapi tidak dilakukan untuk menentang Tuhan;
Cheit - Ini adalah dosa yang tidak disengaja.
Yudaisme berpendapat bahwa tidak ada manusia yang sempurna, dan semua orang telah melakukan dosa berkali-kali. Namun keadaan berdosa tidak menghukum seseorang ke hukuman; hanya satu atau dua dosa yang benar-benar menyedihkan yang mengarah pada apa pun yang mendekati gagasan Kristen tentang neraka. Konsepsi alkitabiah dan rabi tentang Tuhan adalah tentang pencipta yang mengendalikan keadilan dengan belas kasihan. Berdasarkan pandangan Rabbeinu Tam dalam Babylonian Talmud (traktat Rosh HaShanah 17b), Tuhan dikatakan memiliki tiga belas atribut belas kasihan:
Tuhan penuh belas kasihan sebelum seseorang berdosa, meskipun Tuhan tahu bahwa seseorang mampu berbuat dosa.
Tuhan penuh belas kasihan kepada orang berdosa bahkan setelah orang itu berdosa.
Tuhan mewakili kekuatan untuk berbelas kasih bahkan di area yang tidak diharapkan atau pantas didapatkan oleh manusia.
Tuhan itu berbelas kasih, dan memudahkan hukuman bagi yang bersalah.
Tuhan murah hati bahkan kepada mereka yang tidak layak.
Tuhan lambat marah.
Tuhan melimpah dalam kebaikan.
Tuhan adalah dewa kebenaran, sehingga kita dapat mengandalkan janji Tuhan untuk mengampuni orang berdosa yang bertobat.
Tuhan menjamin kebaikan untuk generasi masa depan, karena perbuatan dari para leluhur yang benar (Abraham, Ishak dan Yakub) memiliki manfaat bagi semua keturunan mereka.
Tuhan mengampuni dosa yang disengaja jika orang berdosa bertobat.
Tuhan mengampuni kemarahan yang disengaja dari Dia jika orang berdosa bertobat.
Tuhan mengampuni dosa yang dilakukan karena kesalahan.
Tuhan menghapus dosa dari mereka yang bertobat.
Karena orang Yahudi diperintahkan untuk imitatio Dei, meniru Tuhan, para rabi mempertimbangkan atribut ini dalam memutuskan hukum Yahudi dan penerapannya saat ini.[3]