Loading AI tools
Dari Wikipedia, ensiklopedia bebas
Batu Rosetta (bahasa Inggris: Rosetta Stone, bahasa Arab: حجر رشيد , translit. ḥajar rasyīd) adalah sebuah prasasti batu granodiorit yang ditemukan pada tahun 1799. Prasasti ini berukirkan tiga versi dari sebuah maklumat yang dikeluarkan di Memfis, Mesir pada tahun 196 SM selama dinasti Ptolemaik atas nama Raja Ptolemaios V. Teks maklumat di bagian atas dan tengah prasasti ditulis dalam bahasa Mesir Kuno dengan aksara hieroglif dan demotik, sementara bagian bawahnya ditulis dalam bahasa Yunani Kuno. Karena redaksi maklumat ini hampir sama dalam ketiga versi bahasa dan tulisan, Batu Rosetta pun dimanfaatkan sebagai kunci penerjemahan aksara hieroglif Mesir, yang pada akhirnya meluaskan wawasan mengenai sejarah kuno Mesir.
Batu Rosetta | |
---|---|
Bahan baku | Granodiorit |
Ukuran | 1.123 mm x 757 mm x 284 mm (45 in × 28.5 in × 11 in) |
Sistem penulisan | Hieroglif Mesir kuno, aksara Demotik, dan Yunani |
Dibuat | 196 SM |
Ditemukan | 15 Juli 1799 di kota Rashid (Rosetta), Mesir |
Lokasi sekarang | Museum Britania |
Diyakini bahwa prasasti yang dipahat pada zaman Helenistik ini awalnya dipajang di dalam sebuah kuil, mungkin di sekitar kawasan Sais. Prasasti ini kemudian dipindahkan pada Abad Kuno Akhir atau semasa pemerintahan Mamluk, hingga akhirnya digunakan sebagai bahan bangunan dalam pendirian sebuah benteng (yang nantinya direnovasi menjadi Fort Julien) di dekat kota Rashid (nama Prancis: Rosette atau Inggris: Rosetta) di wilayah Delta Nil. Prasasti ini ditemukan kembali pada bulan Juli 1799 oleh seorang tentara Prancis bernama Pierre-François Bouchard ketika ia sedang bertugas dalam kampanye militer Prancis di Mesir dan Suriah pada masa Napoleon. Batu Rosetta merupakan prasasti dwibahasa Mesir Kuno pertama yang ditemukan kembali pada zaman modern. Penemuan ini mencetuskan kembali ketertarikan masyarakat umum pada Egiptologi karena dianggap berpotensi membantu penguraian aksara hieroglif yang hingga saat itu belum berhasil diterjemahkan. Salinan litografis dan gips mulai beredar di museum-museum dan kalangan cendekiawan Eropa. Sementara itu, pasukan Inggris mengalahkan Prancis di Mesir pada tahun 1801, dan setelah Penyerahan Iskandariyah prasasti ini menjadi milik Inggris dan diboyong ke London. Batu Rosetta mulai dipamerkan di British Museum sejak tahun 1802, dan kini menjadi koleksi yang paling banyak dikunjungi di sana.
Kajian mengenai maklumat yang terpahat di prasasti ini telah dimulai sejak terjemahan penuh teks Yunaninya pertama terbit pada tahun 1803. Perlu waktu 20 tahun sebelum alih aksara dari teks Mesirnya diumumkan oleh Jean-François Champollion di Paris pada 1822; dan perlu waktu lebih lama sebelum para cendekiawan mampu membaca prasasti dan literatur Mesir Kuno dengan yakin. Penguraian Batu Rosetta mengalami kemajuan besar ketika para peneliti menyadari bahwa prasasti tersebut nyatanya memuat tiga versi dari teks yang sama (1799); bahwa bagian teks demotik menggunakan lambang fonetis untuk mengeja nama-nama asing (1802); bahwa sistem serupa juga digunakan oleh bagian teks hieroglif, yang memiliki kesamaan dengan aksara demotik (1814); dan bahwa, selain digunakan untuk nama asing, lambang fonetis juga digunakan untuk mengeja kata-kata Mesir asli (1822–1824).
Belakangan ditemukan dua salinan terpisah lainnya dari maklumat yang sama, serta beberapa prasasti dwibahasa atau tribahasa yang serupa, termasuk dua maklumat Ptolemaik yang bertanggal lebih awal (Maklumat Iskandariyah pada 243 SM, Maklumat Canopus pada 238 SM, dan Maklumat Memfis atas nama Ptolemaois IV, 218 SM). Oleh karena itu, Batu Rosetta tidak lagi unik secara historis, walaupun perannya sebagai pembuka bagi kajian modern sastra dan peradaban Mesir Kuno tetap tidak berubah.
Batu Rosetta terdaftar sebagai "batu granodiorit hitam, yang memuat tiga ukiran... ditemukan di Rosetta" dalam katalog artefak kontemporer yang ditemukan oleh ekspedisi Prancis dan diserahkan kepada pasukan Inggris pada tahun 1801.[1] Beberapa waktu setelah prasasti ini diboyong ke London, tulisannya diwarnai dengan kapur putih agar lebih mudah dibaca, dan sisa permukaannya ditutupi dengan lapisan lilin karnauba yang dirancang untuk melindungi Batu Rosetta dari jari-jari pengunjung.[2] Tindakan ini menimbulkan warna gelap pada prasasti sehingga materialnya keliru diidentifikasi sebagai basal hitam.[3] Penambahan ini dipupuskan sewaktu prasasti ini dibersihkan pada tahun 1999, sehingga memperlihatkan warna abu-abu gelap aslinya, kilauan struktur kristal, dan lapisan merah muda di sudut kiri atas.[4] Perbandingan material prasasti ini dengan sampel batuan Mesir menunjukkan kemiripan dengan batuan dari tambang granodiorit di Gebel Tingar di tepi barat Sungai Nil, sebelah barat Elephantine di wilayah Aswan; granodiorit dari daerah ini umumnya juga memiliki lapisan berwarna merah muda.[5]
Batu Rosetta memiliki tinggi 1.123 mm, lebar 757 mm, dan tebal 284 mm. Bobotnya sekitar 760 kilogram.[6] Batu ini memuat tiga inskripsi: tulisan teratas disajikan dalam hieroglif Mesir Kuno, yang kedua dalam aksara demotik Mesir, dan yang ketiga dalam bahasa Yunani Kuno.[7] Permukaannya dihaluskan dan ukiran tulisannya tidak terlalu dalam. Sisi-sisi batunya dihaluskan, tetapi bagian belakangnya pengerjaannya kasar, mungkin karena tidak akan terlihat ketika batu ini didirikan.[5][8]
Batu Rosetta merupakan bagian dari prasasti yang lebih besar. Namun, bagian yang lain tidak ditemukan dalam pencarian berikutnya di situs Rosetta.[9] Akibat keadaannya yang sudah rusak, tidak ada satupun dari ketiga teks di batu ini yang benar-benar lengkap. Teks bagian atas yang ditulis dengan hieroglif Mesir mengalami kerusakan paling parah. Hanya 14 baris terakhir dari teks hieroglif yang dapat dibaca; di sisi kanan semuanya terpotong, sementara di sebelah kiri ada 12 baris yang terpotong. Teks demotik kondisinya masih lengkap dengan jumlah 32 baris, dengan 14 baris pertamanya sedikit rusak di sisi kanan. Sementara itu, teks Yunaninya terdiri dari 54 baris, dengan 27 baris pertama kondisinya masih utuh dan sisanya tidak lengkap akibat retakan diagonal di bagian kanan bawah batu ini.[10] Panjang teks hieroglif dan ukuran prasasti aslinya dapat diperkirakan berdasarkan perbandingan dengan prasasti serupa, terutama yang berisi salinan maklumat yang sama, seperti Maklumat Canopus yang didirikan pada 238 SM semasa pemerintahan Ptolemaios III. Maklumat ini memiliki tinggi 2.190 mm dengan lebar 820 mm, berisikan 36 baris teks hieroglif, 73 baris teks demotik, dan 74 baris teks bahasa Yunani. Teks-teks tersebut memiliki panjang yang sama.[11] Dari perbandingan tersebut, dapat diperkirakan bahwa ada 14 atau 15 baris teks hieroglif yang hilang dari tulisan teratas Batu Rosetta, yang berarti bahwa prasasti aslinya lebih tinggi sekitar 300 milimeter dari bentuk sekarang.[12] Selain tulisan prasasti, kemungkinan pula ada dekorasi bergambarkan raja yang dipersembahkan di hadapan para dewa yang dilingkupi cakram bersayap, seperti pada Prasasti Canopus. Berdasarkan perbandingan-perbandingan ini, serta lambang hieroglif untuk "prasasti" yang digunakan pada Batu Rosetta itu sendiri, yaitu
dapat diperkirakan bahwa prasasti ini awalnya memiliki bagian atas yang melengkung.[7][13] Tinggi prasasti asli diperkirakan sekitar 149 cm.[2]
Prasasti ini ditegakkan setelah penobatan Raja Ptolemaios V dan diukir dengan sebuah maklumat yang mengukuhkan pemujaan atas penguasa baru tersebut.[14] Maklumat ini dikeluarkan dalam pertemuan pendeta-pendeta yang berkumpul di Memfis. Maklumat ini bertanggalkan "4 Xandikos" dalam kalender Makedonia dan "18 Mekhir" dalam kalender Mesir, yang bertepatan dengan 27 Maret 196 SM. Tahun dikeluarkannya maklumat ini merupakan tahun kelima Ptolemaios V berkuasa (kira-kira setara dengan 197/196 SM), yang juga dikonfirmasi dengan nama keempat pendeta yang bertugas pada tahun itu: Pendeta pertama, Aetos putra Aetos, merupakan pendeta yang memimpin pemujaan terhadap Alexander Agung dan kelima Ptolemaios hingga masa Ptolemaios V; pendeta kedua memimipin pemujaan terhadap Berenike Euergetis (permaisuri Ptolemaios III), pendeta ketiga terhadap Arsinoe Filadelfos (istri dan saudara perempuan dari Ptolemaios II), dan pendeta keempat terhadap Arsinoe Filopator, ibu dari Ptolemaios V.[15] Tanggal kedua yang diberikan di dalam teks hieroglif dan Yunani bersesuaian dengan 27 November 197 SM, yang juga merupakan hari ulang tahun resmi penobatan Ptolemaios.[16] Berlawanan dengan teks hieroglif dan Yunani, tanggal ulang tahun penobatan yang diberikan dalam teks demotik hanya berselang satu hari sebelum penerbitan maklumat ini pada bulan Maret.[16] Tidak diketahui secara jelas penyebab ketimpangan ini, tetapi satu hal yang pasti adalah bahwa maklumat ini dikeluarkan pada 196 SM dan dimaksudkan untuk mengukuhkan kekuasaan raja-raja Ptolemaik atas Mesir.[17]
Maklumat ini dikeluarkan pada masa yang carut-marut dalam sejarah Mesir. Ptolemaios V Epifanis bertakhta dari 204 hingga 181 SM; ia adalah putra dari Ptolemaios IV Filopator dan istri sekaligus saudarinya Arsinoe. Ia telah naik takhta pada usia lima tahun setelah kedua orang tuanya meninggal secara mendadak. Menurut sumber-sumber sezaman, kedua orang tuanya dibunuh oleh persekongkolan yang melibatkan selir Ptolemaios IV Agatoklea. Para anggota persekongkolan ini praktis menguasai Mesir sebagai wali dari Ptolemaios V[18][19] hingga terjadinya revolusi dua tahun kemudian yang dipimpin oleh Tlepolemos. Agatoklea dan keluarganya digantung oleh massa di Alexandria. Namun, pada 201 SM, posisi Tlepolemos sebagai wali negara digantikan pula oleh Aristomenes dari Alizia, yang kelak menjadi menteri utama pada masa dikeluarkannya maklumat Memfis.[20]
Campur tangan kekuatan politik dari luar Mesir semakin menambah ruwet masalah internal kerajaan Ptolemaik tersebut. Raja Seleukia Antiokhos III Agung dan Raja Makedonia Filipos V bahkan membuat pakta untuk membagi-bagi daerah jajahan Mesir. Filipos telah menguasai beberapa pulau dan kota di Karia dan Thrakia, sementara Pertempuran Panium (198 SM) mengakibatkan berpindahnya kekuasaan atas kawasan Koile Suriah, termasuk Yudea, dari dinasti Ptolemaik kepada Seleukia. Sementara itu, di selatan Mesir, sebuah pemberontakan berkepanjangan telah meletus semenjak masa kekuasaan Ptolemaios IV.[16] Pemberontakan ini dipimpin oleh Horwennefer dan penggantinya Ankhwennefer.[21] Baik perang melawan pihak luar maupun pemberontakan internal terus berlanjut hingga Ptolemaios V dinobatkan secara resmi menjadi raja pada usia 12 tahun (tujuh tahun semenjak ia mulai bertakhta) dan masih berlangsung satu tahun kemudian, ketika Maklumat Memfis dikeluarkan.[19]
Prasasti seperti Rosetta, yang ditegakkan atas inisiatif dari kalangan kuil alih-alih dari raja, hanya ada pada zaman Ptolemaik di Mesir. Pada zaman Firaun-Firaun sebelumnya, tidak seorang pun yang dapat membuat maklumat nasional selain penguasa yang didewakan itu sendiri. Penghormatan terhadap penguasa dengan prasasti semacam ini merupakan ciri khas kota-kota Yunani. Daripada membuat pujasastra terhadap dirinya sendiri, seorang raja Yunani umumnya dipuja dan diagung-agungkan oleh rakyatnya, baik secara langsung atau melalui perantara.[22] Maklumat ini mencatat bahwa Ptolemaios V memberikan persembahan berupa perak dan biji padi-padian kepada kuil-kuil.[23] Maklumat ini juga mencatat bahwa sebuah banjir besar akibat meluapnya Sungai Nil terjadi pada tahun kedelapan ia bertakhta, dan ia memerintahkan pembendungan luapan air tersebut untuk melindungi para petani.[23] Sebagai gantinya, para pendeta menjadikan hari ulang tahun dan penobatan sang raja sebagai hari raya, dan bahwa seluruh pendeta di Mesir akan mengabdi padanya sebagaimana mereka mengabdi pada para dewa. Maklumat ini ditutup dengan perintah untuk menempatkan salinannya di setiap kuil, tertulis dalam "bahasa para dewa" (hieroglif Mesir), "bahasa tulisan" (demotik), dan "bahasa orang-orang Yunani" yang digunakan oleh pemerintahan Ptolemaik.[24][25]
Bagi raja-raja Ptolemaik, mendapatkan dukungan para pendeta amat penting agar dapat mempertahankan kekuasaan yang berlaku atas rakyat mereka. Para Pendeta Tinggi di Memfis (tempat penobatan raja-raja) menempati posisi yang penting, sebab mereka merupakan otoritas keagamaan tertinggi pada masanya dan memiliki pengaruh di seluruh wilayah kerajaan.[26] Kenyataan bahwa maklumat ini dikeluarkan di Memfis, ibu kota lama Mesir, alih-alih Iskandariyah, pusat pemerintahan dinasti Ptolemaik, menandakan bahwa sang raja muda amat menginginkan dukungan aktif dari mereka.[27] Berkaitan dengan itu, meskipun pemerintah Mesir telah menggunakan bahasa Yunani sejak wilayahnya ditaklukkan oleh Aleksander Agung, maklumat Memfis, sebagaimana tiga maklumat serupa sebelumnya, juga menambahkan teks dalam bahasa Mesir untuk menunjukkan keeratan terhadap masyarakat awam, melalui kependetaan Mesir yang melek huruf.[28]
Tidak ada terjemahan yang pasti untuk maklumat ini dalam bahasa modern, bukan hanya karena pemahaman modern akan bahasa-bahasa kuno yang masih berkembang, tetapi juga karena adanya perbedaan-perbedaan kecil antara ketiga teks asli. Terjemahan-terjemahan terdahulu dari E. A. Wallis Budge (1904, 1913)[29] dan Edwyn R. Bevan (1927)[30] dapat dengan mudah didapatkan meskipun sekarang sudah usang, terutama jika dibandingkan dengan terjemahan lebih mutakhir oleh R. S. Simpson, yang didasarkan pada teks demotik dan tersedia secara daring,[31] atau, yang paling lengkap dari semuanya, dengan terjemahan modern dari keseluruhan teks, ditambah mukadimah serta salinan gambar, yang diterbitkan oleh Quirke dan Andrews pada 1989.[32]
Besar kemungkinan bahwa prasasti ini awalnya ditempatkan bukan di wilayah Rashid (Rosetta), tetapi di sebuah pusat keagamaan yang terletak lebih jauh di pedalaman, mungkin di kota Sais.[33] Kuil tempat prasasti ini berasal kemungkinan ditutup pada tahun 392 M ketika kaisar Romawi Timur Theodosius I memerintahkan penutupan seluruh tempat ibadah non-Kristen.[34] Prasasti ini kemudian pecah pada suatu waktu, dan pecahan terbesarnya menjadi apa yang kini dikenal sebagai Batu Rosetta. Sisa kuil-kuil Mesir Kuno selanjutnya dipakai sebagai bahan bangunan bagi konstruksi baru, dan Batu Rosetta kemungkinan juga digunakan ulang dengan tujuan ini. Prasasti ini kemudian menjadi bagian dari fondasi sebuah benteng yang dibangun oleh Sultan Mamluk Qaitbay (kira-kira 1416/18–1496) untuk mempertahankan daerah muara Bolbitin (salah satu cabang Sungai Nil) di Rashid. Prasasti ini bertahan di sana hingga setidaknya tiga abad sebelum ditemukan kembali.[35]
Tiga prasasti lain yang berkaitan dengan maklumat Memfis yang sama telah ditemukan sejak penemuan Batu Rosetta, yakni Prasasti Nubayrah yang ditemukan di Elefantin dan Noub Taha, serta sebuah prasasti yang terpahat di Kuil Filae (tepatnya di obelisk Filae).[36]
Ekspedisi militer Napoleon di Mesir pada tahun 1798 memicu gelombang Egiptomania di Eropa, khususnya di Prancis. Regu yang terdiri dari 167 tenaga ahli (savants) yang dikenal dengan sebutan Commission des Sciences et des Arts (Komisi Ilmu Pengetahuan dan Seni) menemani Pasukan Revolusioner Prancis di Mesir. Pada 15 Juli 1799, pasukan Prancis di bawah kepemimpinan Kolonel d'Hautpoul memperkuat pertahanan Fort Julien yang terletak beberapa kilometer di sebelah timur laut kota pelabuhan Rashid. Letnan Pierre-François Bouchard melihat sebuah pecahan batu yang memuat inskripsi.[37] Ia dan d'Hautpoul langsung sadar bahwa batu tersebut mungkin punya nilai yang tinggi, dan melaporkannya kepada atasan mereka Jenderal Jacques-François Menou, yang saat itu kebetulan sedang berada di Rosetta.[A] Temuan tersebut diberitahukan kepada perkumpulan ilmiah yang baru didirikan Napoleon di Kairo, Institut d'Égypte, di dalam sebuah laporan yang disusun oleh anggota Komisi Michel Ange Lancret. Laporan tersebut menyatakan bahwa batu ini berisikan tiga inskripsi, yang pertama dalam bentuk hieroglif dan yang ketiga dalam aksara Yunani. Ia mengungkapkan dugaannya (yang terbukti benar) bahwa ketiga inskripsi tersebut memuat naskah yang sama. Laporan Lancret (yang bertanggal 19 Juli 1799) dibacakan di pertemuan Institut tidak lama setelah 25 Juli. Sementara itu, Bouchard membawa batu ini ke Kairo untuk diteliti. Napoleon sempat menyelidiki batu tersebut, yang saat itu telah dijuluki la Pierre de Rosette atau "Batu Rosetta", tidak lama sebelum ia kembali ke Prancis pada Agustus 1799.[9]
Penemuan ini dilaporkan dalam Courrier de l'Égypte (koran resmi ekspedisi Prancis) pada bulan September. Seorang wartawan anonim mengungkapkan harapannya bahwa batu ini suatu hari dapat menjadi kunci dalam upaya untuk mengurai sistem hieroglif.[A][9] Pada tahun 1800, tiga tenaga ahli Komisi merancang metode untuk membuat salinan inskripsi yang tertulis di batu ini. Salah satu dari para ahli tersebut adalah Jean-Joseph Marcel, seorang pencetak dan pakar bahasa yang berbakat. Ia merupakan orang pertama yang menyadari bahwa inskripsi yang kedua di bagian tengah ditulis dalam aksara demotik Mesir alih-alih aksara Suryani, meskipun aksara demotik jarang digunakan dalam inskripsi batu dan juga jarang ditemukan oleh para ahli pada masa itu.[9] Seniman Nicolas-Jacques Conté menemukan cara untuk menyalin teks inskripsi Batu Rosetta dengan menggunakannya sebagai blok cetak.[38] Metode yang sedikit berbeda digunakan oleh Antoine Galland. Cetakan yang dihasilkannya dibawa ke Paris oleh Jenderal Charles Dugua. Dengan ini para ahli di Eropa dapat melihat inskripsi di batu tersebut dan mencoba mengurainya.[39]
Setelah kepergian Napoleon, pasukan Prancis menahan serangan Britania dan Utsmaniyah selama 18 bulan. Pada Maret 1801, pasukan Britania mendarat di Teluk Abu Qir. Menou kemudian menjadi panglima ekspedisi Prancis. Pasukannya (yang juga diikuti oleh Commission des Sciences et des Arts) bergerak ke utara menuju pesisir Laut Tengah untuk berhadapan dengan musuh. Batu Rosetta dan barang-barang antik lainnya juga ikut dibawa. Menou kalah dalam pertempuran, dan sisa pasukannya mundur ke Iskandariyah. Di kota tersebut, mereka dikepung, sementara Batu Rosetta berada di kota tersebut. Menou akhirnya menyerah pada 30 Agustus.[40][41]
Setelah Prancis menyerah, timbul pertanyaan mengenai temuan arkeologis dan ilmiah Prancis di Mesir, terutama artefak, spesimen biologi, catatan, rencana, dan gambar yang dikumpulkan oleh anggota Commission des Sciences et des Arts. Menou menolak menyerahkan temuan-temuan tersebut kepada Inggris dan menegaskan bahwa benda-benda tersebut dimiliki oleh Institut d'Égypte. Jenderal Inggris John Hely-Hutchinson menolak mengakhiri pengepungan kecuali jika Menou mau mengalah. Cendekiawan Edward Daniel Clarke dan William Richard Hamilton yang baru tiba dari Inggris bersedia untuk memeriksa koleksi yang ada di Iskandariyah, dan mereka mengklaim bahwa mereka telah menemukan banyak artefak yang tidak ditemukan oleh Prancis. Di dalam sebuah surat yang dikirim ke rumah, Clarke berkata: "Kami menemukan jauh lebih banyak daripada yang disampaikan atau dibayangkan".[42]
Hutchinson mengklaim bahwa semua materi ini dimiliki oleh Kerajaan Britania Raya, tetapi cendekiawan Étienne Geoffroy Saint-Hilaire memberi tahu Clarke dan Hamilton bahwa Prancis lebih baik membakar semua temuan mereka daripada menyerahkannya begitu saja; ia bahkan menyebut-nyebut soal kehancuran Perpustakaan Iskandariyah. Clarke dan Hamilton menyampaikan permintaan cendekiawan Prancis kepada Hutchinson, dan ia akhirnya bersedia mengakui hasil temuan mereka sebagai kepemilikan pribadi para cendekiawan tersebut.[41][43] Menou langsung mengklaim Batu Rosetta sebagai kepemilikannya.[41][44] Hutchinson sadar akan nilai dari batu ini dan menolak klaim Menou.[41]
Tidak diketahui secara pasti bagaimana batu ini kemudian menjadi kepemilikan Britania, karena catatan pada masa tersebut memiliki rincian yang berbeda-beda. Kolonel Tomkyns Hilgrove Turner, yang ditugaskan mengiringi proses pengangkutan batu ini ke Inggris, mengklaim bahwa ia secara langsung menyitanya dari Menou. Dalam catatan yang lebih rinci, Edward Daniel Clarke menyebutkan bahwa ia, seorang muridnya, serta Hamilton diantarkan oleh seorang "perwira dan anggota Institut" dari Prancis secara diam-diam ke gang di belakang tempat tinggal Menou. Ia lalu menunjukkan Batu Rosetta yang tersembunyi di bawah permadani di antara barang-barang milik Menou. Menurut Clarke, informan mereka takut batu ini akan dicuri jika dilihat oleh pasukan Prancis. Hutchinson langsung diberitahu soal hal ini dan batu ini kemudian diambil (kemungkinan oleh Turner).[45]
Turner membawa batu ini ke Inggris di atas kapal fregat eks-Prancis HMS Egyptienne yang telah dirampas. Kapal ini mendarat di Portsmouth pada Februari 1802.[46] Ia memerintahkan agar batu ini (bersama dengan barang-barang antik lainnya) dipersembahkan di hadapan Raja George III. Sang raja, yang diwakili oleh Menteri Perang Lord Hobart, memberikan arahan agar batu ini disimpan di British Museum. Menurut kisah Turner, ia dan Hobart sepakat bahwa batu ini sebaiknya ditunjukkan kepada para ahli di Society of Antiquaries of London (Turner merupakan anggota perkumpulan ini) sebelum disimpan di museum. Batu ini pertama kali ditunjukkan dan menjadi bahan perbincangan dalam pertemuan perkumpulan tersebut pada 11 Maret 1802.[B][H]
Pada tahun 1802, Society of Antiquaries of London membuat empat cetakan inskripsi dalam bentuk plester, masing-masing kemudian diberikan kepada Universitas Oxford, Cambridge, Edinburgh, dan Trinity College Dublin. Tak lama kemudian, cetakan inskripsi ini juga dibuat dan dibagikan kepada para cendekiawan Eropa.[E] Sebelum akhir tahun 1802, batu ini diserahkan kepada British Museum dan disimpan di tempat tersebut hingga kini.[46] Inskripsi baru yang dituliskan dengan warna putih di ujung kiri dan kanan batu tersebut bertuliskan "Diambil di Mesir oleh Angkatan Darat Britania tahun 1801" dan "Dipersembahkan oleh Raja George III".[2]
Batu ini dipamerkan di British Museum sejak Juni 1802.[6] Pada pertengahan abad ke-18, Batu Rosetta diberi nomor penyimpanan "EA 24"; "EA" disini merupakan singkatan dari "Egyptian Antiquities" (Barang Antik Mesir). Batu ini menjadi bagian dari koleksi monumen Mesir Kuno yang diambil dari Prancis, termasuk sarkofagus Firaun Nectanebo II (EA 10), patung Imam Agung Amun (EA 81), dan kepalan tangan besar yang terbuat dari granit (EA 9).[47] Peninggalan-peninggalan ini ternyata terlalu berat untuk lantai Montagu House (gedung British Museum yang pertama), sehingga barang-barang tersebut kemudian dipindahkan ke bilik baru yang ditambahkan di gedung tersebut. Batu Rosetta dipindah ke galeri pahatan pada tahun 1834 tak lama setelah Montagu House dirobohkan dan digantikan oleh gedung British Museum yang masih berdiri hingga kini.[48] Menurut catatan British Museum, Batu Rosetta adalah benda yang paling banyak dikunjungi di museum tersebut.[49] Kartu pos dengan gambar batu ini bahkan menjadi kartu pos yang paling banyak terjual selama beberapa dasawarsa.[50]
Batu Rosetta pada awalnya dipamerkan dengan sudut yang hampir horizontal dan bersandar di atas logam yang dibuat khusus untuk menopangnya.[48] Pada awalnya batu ini tidak memiliki lapisan pelindung. Pada tahun 1847, kerangka pelindung mulai dipasang walaupun ada penjaga yang memastikan bahwa pengunjung nakal tidak akan menyentuh batu ini.[51] Semenjak tahun 2004, batu ini dipajang di dalam kotak khusus di tengah Galeri Pahatan Mesir. Tiruan Batu Rosetta kini juga tersedia di King's Library British Museum tanpa ada kotak dan boleh disentuh, sebagaimana pengunjung pada awal abad ke-19 melihat batu ini.[52]
Pada tahun 1917, menjelang akhir Perang Dunia I, British Museum merasa khawatir akan serangan udara Jerman di London, sehingga Batu Rosetta dan barang-barang berharga lainnya diamankan. Batu ini disimpan selama dua tahun di stasiun Postal Tube Railway yang terletak 15 meter di bawah tanah di Mount Pleasant (di dekat Holborn).[53] Selain pada saat perang, Batu Rosetta hanya pernah satu kali dibawa keluar dari British Museum, yakni selama satu bulan pada Oktober 1972 untuk dipajang di Louvre di Paris bersama dengan Surat Champollion kepada M. Dacier untuk memperingati 150 tahun penerbitan surat tersebut.[50] Ketika proyek konservasi Batu Rosetta dilaksanakan pada tahun 1999, pengerjaannya bahkan dilakukan di dalam galeri agar peninggalan sejarah ini tetap dapat dinikmati oleh khalayak umum.[54]
Sebelum penemuan kembali Batu Rosetta dan penguraiannya, bahasa Mesir kuno dan aksaranya tidak dapat dibaca ataupun dipahami sejak runtuhnya Kekaisaran Romawi. Penggunaan aksara hieroglif menjadi semakin terspesialisasi bahkan pada akhir zaman Firaun; pada abad ke-4 Masehi, hanya sedikit orang Mesir yang bisa membacanya. Penggunaan hieroglif untuk monumen-monumen sudah berakhir setelah semua kuil pagan ditutup pada tahun 391 oleh Kaisar Romawi Theodosius I; inskripsi terakhir yang telah ditemukan bertanggal 24 Agustus 394 dari Filae dan dikenal dengan sebutan Graffito Esmet-Akhom.[55]
Tidak seperti alfabet Yunani ataupun Latin, hieroglif tetap terlihat seperti gambar, dan para penulis klasik juga menegaskan perbedaan ini. Pada abad kelima, imam Horapollo menulis Hieroglyphica yang menjelaskan hampir 200 glif. Karyanya dianggap terandalkan, tetapi juga mengandung beberapa kesalahan. Akibatnya, karya ini menghambat upaya untuk memahami tulisan Mesir.[56] Sejarawan Arab di Mesir pada abad kesembilan dan kesepuluh kemudian juga mencoba mengurai hieroglif Mesir. Dzun-Nun al-Mishri dan Ibnu Wahsyiyyah adalah dua sejarawan pertama yang pertama kali mempelajari hieroglif dengan membandingkannya dengan bahasa Koptik yang digunakan oleh para imam Kristen Mesir pada masa tersebut.[57][58] Kajian hieroglif ini dilanjutkan oleh para ahli Eropa, terutama oleh Johannes Goropius Becanus pada abad ke-16, Athanasius Kircher pada abad ke-17, dan Georg Zoëga pada abad ke-18, tetapi upaya-upaya ini tidak membuahkan hasil.[59] Penemuan Batu Rosetta pada tahun 1799 memberikan informasi penting yang sebelumnya sudah hilang. Informasi ini secara bertahap ditemukan oleh berbagai ahli, hingga pada akhirnya Jean-François Champollion berhasil menguraikan inskripsi Batu Rosetta yang dijuluki "teka-teki Sfinks" oleh Kircher.[60]
Tulisan Yunani di Batu Rosetta menjadi titik awal untuk mengurai keseluruhan inskripsi di batu ini. Para ahli di Barat banyak yang menguasai bahasa Yunani Kuno, tetapi mereka tidak mengenal istilah-istilah khusus dalam konteks pemerintahan yang digunakan di Mesir pada masa Helenistik; papirus-papirus berbahasa Yunani dalam jumlah yang besar masih belum ditemukan pada saat itu. Oleh sebab itu, para ahli mengalami kesulitan dalam upaya untuk menerjemahkan isinya. Terjemahan teks ini dari bahasa Yunani Kuno ke bahasa Inggris disampaikan secara lisan oleh Stephen Weston di pertemuan Society of Antiquaries pada April 1802.[61][62]
Sementara itu, dua salinan litografik yang dibuat di Mesir didapat oleh Institut de France di Paris pada tahun 1801. Gabriel de La Porte du Theil kemudian mulai mengerjakan proses penerjemahan ke dalam bahasa Yunani, tetapi tak lama kemudian ia dipindahtugaskan oleh Napoleon. Hasil kerjanya yang belum selesai diserahkan kepada Hubert-Pascal Ameilhon. Ameilhon menjadi orang pertama yang menerbitkan terjemahan teks Yunani di Batu Rosetta pada tahun 1803; ia menghasilkan terjemahan ke dalam bahasa Latin dan Prancis dengan maksud agar isinya bisa disebarluaskan.[H] Di Cambridge, Richard Porson mencoba mencari tahu teks Yunani di pojok kanan bawah yang hilang. Ia melakukan proses reka ulang, dan hasilnya kemudian disebarkan di kalangan Society of Antiquaries bersama dengan cetakan inskripsinya. Pada saat yang sama, Christian Gottlob Heyne di Göttingen membuat terjemahan baru ke dalam bahasa Latin yang lebih terandalkan daripada Ameilhon, dan terjemahan ini diterbitkan pada tahun 1803.[G] Terjemahan ini dicetak ulang oleh Society of Antiquaries dalam edisi khusus jurnal Archaeologia tahun 1811 bersama dengan terjemahan Weston yang sebelumnya belum diterbitkan, narasi Kolonel Turner, dan dokumen-dokumen lainnya.[H][63][64]
Pada saat Batu Rosetta ditemukan, diplomat dan cendekiawan Swedia Johan David Åkerblad sedang meneliti sebuah aksara dari Mesir yang masih belum begitu dipahami, yang kelak disebut aksara demotik. Åkerblad menyebutnya "Koptik kursif" karena ia yakin bahwa aksara tersebut digunakan untuk menuliskan salah satu bentuk bahasa Koptik (yang merupakan keturunan langsung dari bahasa Mesir Kuno), walaupun aksara tersebut sangat berbeda dengan aksara Koptik. Tokoh Orientalis Prancis Antoine-Isaac Silvestre de Sacy membahas aksara ini dengan Åkerblad saat ia menerima salah satu cetakan litograf pertama Batu Rosetta dari Menteri Dalam Negeri Prancis Jean-Antoine Chaptal pada tahun 1801. Ia menyadari bahwa teks yang ada di bagian tengah Batu Rosetta dituliskan dalam aksara "Koptik kursif" ini. Ia dan Åkerblad lalu mulai bekerja dengan fokus pada teks bagian tengah ini, dengan dugaan sementara bahwa aksara tersebut adalah aksara alfabetis (yang tiap hurufnya melambangkan satu konsonan atau vokal, tak seperti hieroglif) . Mereka mencoba menemukenali tempat-tempat munculnya nama Yunani di teks tersebut dengan membandingkannya dengan teks Yunaninya. Pada tahun 1802, Silvestre de Sacy melaporkan kepada Chaptal bahwa ia berhasil menemukenali lima nama ("Aleksandros", "Aleksandreia", "Ptolemaios", "Arsinoe", dan gelar Ptolemaios "Epifanis").[C] Sementara itu, Åkerblad mencatat keberadaan 29 huruf (lebih dari setengahnya kemudian terbukti benar) yang telah ia temukenali berdasarkan nama-nama Yunani yang disebutkan di teks demotiknya.[D][61] Namun, mereka tidak berhasil mengurai karakter-karakter lainnya, yang kelak terbukti tidak murni bersifat alfabetis, tetapi juga ideografis (tiap karakternya melambangkan gagasan) dan simbol-simbol lain.[65]
Silvestre de Sacy akhirnya tak lagi meneruskan upayanya untuk mengurai inskripsi di batu ini, tetapi ia masih dapat memberikan sumbangsih ilmiah yang lain. Pada tahun 1811, setelah berdiskusi dengan seorang siswa Tiongkok mengenai aksara Mandarin, Silvestre de Sacy mulai mempertimbangkan masukan dari Georg Zoëga pada tahun 1797 bahwa nama-nama asing di inskripsi hieroglif Mesir mungkin ditulis secara fonetis. Ia juga mengingat kembali bahwa pada tahun 1761, Jean-Jacques Barthélemy menggagas kemungkinan bahwa karakter-karakter yang tertulis dalam tanda yang disebut cartouche merupakan sebuah nama. Maka dari itu, ketika Thomas Young (sekretaris urusan luar negeri Royal Society of London) menulis surat kepadanya mengenai Batu Rosetta pada tahun 1814, Silvestre de Sacy menjawab bahwa dalam upaya untuk membaca teks hieroglif, Young mungkin perlu mencari cartouche yang berisikan nama Yunani dan mencoba menemukenali karakter-karakter fonetis yang ada.[66]
Young mengikuti saran tersebut, dan dua hasil penelitiannya membuka jalan bagi upaya untuk menguraikan hieroglif di Batu Rosetta. Dalam teks hieroglif tersebut, ia menemukan karakter fonetis "p t o l m e s" (berdasarkan transliterasi saat ini: "p t w l m y s") yang dipakai untuk menulis nama Yunani "Ptolemaios". Ia juga menyadari bahwa karakter tersebut menyerupai karakter yang tertulis dalam aksara demotik. Ia lalu mencatat 80 kemiripan antara teks hieroglif dan demotik. Temuan ini sangat penting karena kedua aksara tersebut sebelumnya diduga sangat berbeda. Dengan ini ia dapat menerka bahwa aksara demotik tidak sepenuhnya bersifat fonetis, tetapi juga terdiri dari karakter-karakter ideografik yang berasal dari hieroglif.[I] Temuan Young disoroti dalam artikel "Mesir" yang ia tulis untuk Encyclopædia Britannica pada tahun 1819.[J] Namun, ia tidak berhasil menguraikan lebih dari itu.[67]
Pada tahun 1814, Young mulai bertukar surat dengan Jean-François Champollion, seorang guru di Grenoble yang telah menghasilkan berbagai karya penelitian mengenai Mesir Kuno. Champollion melihat salinan inskripsi hieroglif dan Yunani di obelisk Filae pada tahun 1822. William John Bankes telah mencatat keberadaan nama "Ptolemaios" dan "Kleopatra" di inskripsi tersebut.[68] Dengan menggunakan temuan ini, Champollion berhasil menemukenali karakter fonetis k l e o p a t r a (transliterasi saat ini: q l i҆ w p 3 d r 3.t).[69] Dengan ini ia dapat mereka ulang alfabet yang terdiri dari karakter hieroglif fonetis yang dijelaskan dalam suratnya yang terkenal, "Lettre à M. Dacier", yang dikirim pada tahun 1822 kepada Bon-Joseph Dacier, Sekretaris Académie des Inscriptions et Belles-Lettres di Paris; temuan ini kemudian diterbitkan oleh Académie tersebut.[K] Dalam catatan tambahannya, Champollion menyatakan bahwa karakter fonetis serupa tampaknya juga muncul dalam nama Yunani maupun Mesir; hipotesis ini terbukti benar pada tahun 1823 setelah ia berhasil menemukenali nama firaun Ramses dan Thutmose yang tertulis di cartouche di kuil Abu Simbel. Inskripsi hieroglif yang jauh lebih tua ini disalin oleh Bankes dan kemudian dikirim kepada Champollion oleh Jean-Nicholas Huyot.[M] Semenjak itu, penelitian Batu Rosetta menjadi terpisah dari upaya penguraian hieroglif Mesir, karena Champollion menggunakan banyak teks lain untuk mereka ulang tata bahasa Mesir Kuno dan menyusun kamus hieroglif yang diterbitkan setelah kemangkatannya pada tahun 1832.[70]
Penelitian terhadap Batu Rosetta kini lebih berfokus pada upaya untuk memahami tulisannya secara lebih menyeluruh dan juga konteksnya. Hal ini dilakukan dengan membandingkan ketiga jenis tulisan di batu ini. Pada tahun 1824, ahli sejarah klasik Antoine-Jean Letronne menjanjikan terjemahan harfiah baru dari tulisan Yunaninya untuk digunakan oleh Champollion. Sebagai imbalan, Champollion berjanji akan mengkaji segala hal yang kelihatannya saling bertentangan di ketiga jenis tulisannya. Setelah kematian Champollion secara mendadak pada tahun 1832, rancangan hasil kajiannya tidak dapat ditemukan, sehingga penelitian Letronne pun terhenti. François Salvolini, mantan murid dan asisten Champollion, meninggal pada tahun 1838. Hasil kajian Champollion dan rancangan-rancangan lainnya yang hilang ditemukan di antara berkas-berkas yang dimiliki oleh sang mantan murid tersebut. Temuan ini secara tidak sengaja menunjukkan bahwa tulisan Salvolini mengenai batu ini (yang diterbitkan tahun 1837) merupakan hasil jiplakan dari kajian Champollion.[O] Letronne akhirnya berhasil menyelesaikan tafsir tulisan Yunani di Batu Rosetta dan juga menyelesaikan terjemahan ke dalam bahasa Prancis (pertama kali terbit tahun 1841).[P] Pada awal dasawarsa 1850-an, ahli Egiptologi Jerman Heinrich Brugsch dan Max Uhlemann menerbitkan terjemahan Latin yang didasarkan pada tulisan demotik dan hieroglif di Batu Rosetta.[Q][R] Terjemahan Inggris kemudian diterbitkan pada tahun 1858, dan terjemahan ini merupakan buah karya tiga anggota Philomathean Society di Universitas Pennsylvania.[S]
Pertanyaan yang masih menjadi bahan perdebatan saat ini adalah tulisan mana yang menjadi versi standar dari inskripsi di Batu Rosetta. Pada tahun 1841, Letronne mencoba menunjukkan bahwa tulisan Yunaninya (yang dibuat oleh pemerintah Mesir di bawah Wangsa Ptolemaios) merupakan versi aslinya.[P] Sementara itu, ahli Egiptologi Britania John D. Ray menulis bahwa "hieroglif merupakan aksara yang paling penting di batu ini: aksara tersebut ada di situ untuk dibaca oleh para dewa, dan imam mereka yang paling terpelajar".[7] Philippe Derchain dan Heinz Josef Thissen berpendapat bahwa ketiga versi ini ditulis secara bersamaan, sementara Stephen Quirke merasa maklumat ini merupakan "peleburan yang rumit dari tiga tradisi tekstual yang penting".[71] Richard Parkinson merasa bahwa versi hieroglifnya menyimpang dari formalisme kuno dan kadang-kadang menggunakan bahasa yang lebih mirip dengan laras bahasa demotik yang lebih umum digunakan dalam percakapan sehari-hari oleh para imam.[72] Fakta bahwa ketiga tulisan di batu ini tidak dapat disamakan secara kata-per-kata dapat menjelaskan mengapa proses penguraiannya lebih sulit daripada yang diperkirakan.[73]
Sebelum penjiplakan yang dilakukan oleh Salvolini terbongkar, tuduhan-tuduhan plagiarisme telah dilontarkan dalam sejarah upaya penguraian Batu Rosetta. Sumbangsih Thomas Young diberikan atribusi oleh Champollion dalam Lettre à M. Dacier tahun 1822, tetapi para kritikus Britania pada masa itu menganggap bahwa Champollion tidak sepenuhnya mengakui sumbangsih Young. James Browne (penyunting Encyclopædia Britannica yang menerbitkan artikel Young pada tahun 1819), misalnya, secara awanama menerbitkan sejumlah artikel tinjauan di Edinburgh Review pada tahun 1823 yang memuji hasil karya Young dan melayangkan tuduhan plagiarisme kepada Champollion.[74][75] Artikel-artikel ini diterjemahkan ke dalam bahasa Prancis oleh Julius Klaproth dan diterbitkan dalam bentuk buku pada tahun 1827.[N] Publikasi Young yang diterbitkan tahun 1823 juga menegaskan kembali sumbangsih yang telah ia berikan terhadap upaya penguraian.[L] Kematian Young (1829) dan Champollion (1832) tidak mengakhiri perdebatan ini. Dalam tulisannya mengenai Batu Rosetta pada tahun 1904, E. A. Wallis Budge memberikan sorotan khusus terhadap sumbangsih Young.[76] Pada awal dasawarsa 1970-an, para pengunjung British Museum dari Prancis mengeluh karena gambar Champollion lebih kecil daripada Young di panel keterangan, sementara pengunjung Inggris mengeluhkan hal yang sebaliknya. Nyatanya kedua gambar ini memiliki ukuran yang sama.[50]
Pada Juli 2003, Sekretaris Jenderal Dewan Tertinggi Barang Purbakala Mesir, Zahi Hawass, menyerukan agar Batu Rosetta dikembalikan ke Mesir. Seruan ini (yang disampaikan di media Mesir dan internasional) juga menyatakan bahwa batu tersebut merupakan "lambang identitas Mesir kami".[77] Ia mengulangi permintaan ini dua tahun kemudian di Paris dengan memasukkan batu ini ke dalam daftar barang-barang penting yang termasuk ke dalam warisan budaya Mesir (yang juga termasuk Patung Dada Nefertiti di Ägyptisches Museum Berlin; patung arsitek Piramida Agung Giza, Hemiunu, di Roemer-und-Pelizaeus-Museum, Hildesheim; Zodiak Kuil Dendera di Louvre; dan Patung Dada Ankhhaf di Museum Seni Rupa Boston).[78]
Pada tahun 2005, British Museum memberikan sebuah tiruan Batu Rosetta kepada Mesir. Tiruan ini awalnya dipamerkan di Museum Nasional Rashid yang baru direnovasi.[79] Pada November 2005, Hawass mengusulkan agar British Museum meminjamkan Batu Rosetta selama tiga bulan, dan pada saat yang sama ia mengulangi kembali tujuan jangka panjang Mesir untuk memperoleh kembali batu ini.[80] Pada Desember 2009, ia menawarkan pencabutan klaim pengembalian secara permanen apabila British Museum mau meminjamkan batu ini selama tiga bulan untuk ajang pembukaan Museum Besar Mesir di Giza pada tahun 2013.[81]
Ahli kajian Mesir John Ray sempat berkomentar, "suatu saat mungkin batu ini akan menghabiskan lebih banyak waktu di British Museum daripada di Rosetta."[82] Museum-museum nasional menolak mengembalikan peninggalan-peninggalan budaya dari negara lain yang sangat penting seperti Batu Rosetta. Untuk menanggapi permintaan yang berulang kali disampaikan dari Yunani untuk mengembalikan Pualam Elgin (yang berasal dari Parthenon) dan juga permintaan-permintaan serupa kepada museum-museum lain di dunia, lebih dari 30 museum besar dunia (termasuk British Museum, Louvre, Museum Pergamon di Berlin, dan Metropolitan Museum di New York City) mengeluarkan pernyataan bersama pada tahun 2002 bahwa "benda-benda yang diperoleh pada masa sebelumnya harus dilihat sejalan dengan kepekaan dan nilai dari masa tersebut" dan "museum tidak hanya untuk warga satu bangsa saja, tetapi untuk semua orang dari segala bangsa".[83]
Berbagai naskah epigrafis yang membantu penguraian sistem aksara kuno terkadang diibaratkan sebagai "Batu Rosetta". Contohnya, koin-koin dwibahasa bertulisan aksara Yunani dan Brahmi dari raja Yunani-Baktria Agatokles juga disebut sebagai "Batu Rosetta cilik" karena berperan dalam penguraian aksara Brahmi oleh Christian Lassen, yang membuka jalan bagi ilmu epigrafi India kuno.[84] Inskripsi Behistun juga telah dibandingkan Batu Rosetta karena perannya dalam penerjemahan tiga bahasa kuno dari Timur Tengah: bahasa Persia Kuno, Elam, dan Babilonia.[85]
Dalam bahasa Inggris, istilah Rosetta stone juga telah digunakan secara idiomatis untuk merujuk pada sesuatu yang menjadi petunjuk utama dalam proses pemecahan informasi yang terenkripsi, terutama jika petunjuk tersebut berasal dari sampel yang kecil tetapi representatif untuk dijadikan pemecah bagi keseluruhan informasi.[86] Menurut Oxford English Dictionary, istilah ini pertama kali digunakan secara figuratif dalam entri mengenai analisis kimia senyawa glukosa dalam Encyclopædia Britannica edisi tahun 1902.[86] Ungkapan ini juga digunakan dalam novel The Shape of Things to Come karya H. G. Wells yang terbit tahun 1933. Dalam buku ini, diceritakan bahwa sang protagonis menemukan naskah bertulisan huruf stenografi yang memberi petunjuk untuk memahami sekumpulan material tambahan yang ditulis dengan mesin tik dalam huruf Latin.[86]
Sejak saat itu, ungkapan ini telah digunakan secara luas dalam berbagai konteks lainnya. Penerima hadiah Nobel Theodor W. Hänsch menggunakan istilah ini dalam artikel mengenai spektroskopi yang terbit dalam majalah Scientific American pada tahun 1979. Ia menulis bahwa "spektrum atom hidrogen [merupakan] Batu Rosetta bagi fisika modern: begitu pola garis-garis [pancaran] ini berhasil diuraikan, banyak hal lain yang dapat dipahami".[87] Dalam ilmu kedokteran, teknik ekokardiografi Doppler (pemanfaatan efek Doppler pada ekokardiogram untuk menggambarkan arah dan kecepatan aliran darah jantung) disebut sebagai Batu Rosetta yang membantu para ahli untuk memahami proses rumit pengisian bilik kiri jantung pada beberapa kasus gagal jantung.[88] Pemahaman menyeluruh mengenai sekumpulan gen utama dalam antigen leukosit manusia juga telah diibaratkan sebagai "Batu Rosetta imunologi".[89] Dalam ilmu botani, Arabidopsis thaliana disebut sebagai Batu Rosetta yang membantu menjelaskan waktu berbunga sebuah tanaman.[90] Sementara dalam astronomi, sebuah semburan sinar gamma (SSG) yang terjadi pada waktu dan tempat yang bersamaan dengan ledakan supernova disebut sebagai Batu Rosetta untuk memahami asal-usul SSG.[91]
Seamless Wikipedia browsing. On steroids.
Every time you click a link to Wikipedia, Wiktionary or Wikiquote in your browser's search results, it will show the modern Wikiwand interface.
Wikiwand extension is a five stars, simple, with minimum permission required to keep your browsing private, safe and transparent.