Loading AI tools
Dari Wikipedia, ensiklopedia bebas
Argumen teleologis atau fisiko-teologis, juga dikenal sebagai argumen perancangan atau argumen perancangan cerdas adalah argumen atas keberadaan Tuhan atau, lebih umum, atas pencipta yang cerdas "berdasarkan bukti yang diperoleh atas perancangan disengaja di dunia alamiah maupun fisik".[1][2][3] Ini adalah argumen teologi alamiah.
Versi tercatat paling awal dari argumen ini terkait dengan Socrates pada Yunani kuno, meskipun telah dikatakan bahwa ia mengadopsi argumen yang lebih tua.[4][5] Plato, muridnya, dan Aristoteles, murid Plato, mengembangkan pendekatan kompleks proposal ini bahwa alam semesta tercipta oleh suatu kecerdasan, tetapi Stoa-lah yang, di bawah pengaruh mereka, "mengembangkan deretan argumen penciptaan yang secara luas dikenal dengan label 'Argumen dari Perancangan''".[6]
Filsafat Socratik memengaruhi perkembangan agama-agama Ibrahim dalam berbagai jalan, dan argumen teleologis ini berasosiasi sudah lama dengan mereka. Di Abad Pertengahan, para teolog Islam seperti Al-Ghazali menggunakan argumen ini meskipun ditolak karena tidak perlu menurut ahli literatur Quran, dan tidak meyakinkan bagi banyak filsuf Islam. Kemudian, argumen teleologis diterima oleh Santo Thomas Aquinas dan dimasukkan sebagai cara kelima dalam "Lima Cara" untuk membuktikan keberadaan Tuhan. Di awal masa modern Inggris, pendeta seperti William Turner dan John Ray terkenal mendukungnya. Di awal abad ke XVIII, William Derham menerbitkan Physico-Theology (Fisiko-Teologi), yang memberi "demonstrasi dan atribut-atribut Tuhan dari pengerjaan penciptaannya".[7] Kemudian, William Paley, melalui Natural Theology or Evidences of the Existence and Attributes of the Deity (Teologi Alamiah atau Bukti Keberadaan dan Atribut Ketuhanan) (1802), menerbitkan presentasi yang prominen akan argumen perancangan dengan analogi pembuat jam versinya dan penggunaan pertama frase "argumen dari perancangan".[8]
Dari awal, sudah ada banyak kritik terhadap berbagai versi argumen teleologis dan respons terhadap tantangan terhadap klaimnya yang menentang ilmu pengetahuan alam nonteleologis. Argumen logis umum paling penting untuk diperhatikan di antaranya oleh David Hume dalam bukunya Dialogues Concerning Natural Religion (Pembicaraan Menyangkut Agama Alamiah), diterbitkan tahun 1779, dan penjelasan kompleksitas biologis yang diberikan oleh Charles Darwin dalam Origin of Species (Asal-Usul Spesies), diterbitkan pada tahun 1859.[9] Sejak tahun 1960-an, argumen Paley, termasuk kata-kata "intelligent design" ("perancangan cerdas"), telah berpengaruh dalam perkembangan gerakan sains penciptaan, terutama bentuk yang dikenal sebagai gerakan perancangan cerdas, yang tidak hanya menggunakan argumen teleologis untuk berdebat melawan pemahaman evolusi Darwin modern, tetapi juga membuat klaim filosofis yang menyediakan dasar untuk bukti ilmiah tentang asal usul hebat (ketuhanan) spesies biologi.
Juga dimulai di Yunani klasik, dua pendekatan untuk argumen teleologis berkembang, dibedakan oleh pemahaman tentang apakah keserasian (hukum) alam itu benar-benar dibuat atau tidak. Pendekatan nonpenciptaan dimulai paling jelas dengan Aristoteles, meskipun banyak pemikir, seperti Neoplatonis, yakin itu sudah dimaksudkan oleh Plato. Pendekatan ini tidak kreasionis dalam pengertian sederhana karena sementara ide bahwa suatu kecerdasan kosmik bertanggung jawab untuk tatanan alam disetujui, usulan bahwa perihal ini memerlukan seorang "kreator" untuk secara fisik membuat dan memelihara tatanan ini ditolak. Penganut Neoplatonis tidak mendapati argumen teleologis meyakinkan,dan dalam hal ini mereka bersama filsuf abad pertengahan seperti Al-Farabi dan Ibnu Sina. Kemudian, Averroes dan Thomas Aquinas menganggap argumen tsb. dapat diterima, tetapi belum tentu argumen terbaik.
Berbeda dengan pendekatan filsuf dan teolog demikian, gerakan perancangan cerdas membuat gerakan klaim kreasionis untuk sebuah kecerdasan yang campur dalam tatanan alam sehingga beberapa perubahan terjadi di alam.[butuh rujukan]
Sementara konsep kecerdasan di balik tatanan alam adalah kuno, argumen rasional yang menyimpulkan bahwa kita dapat mengetahui bahwa dunia alamiah memiliki desainer, atau kecerdasan pencipta yang memiliki tujuan seperti manusia tampak telah dimulai dengan filsafat klasik. Pemikir keagamaan dalam Yudaisme, Hindu, Konghucu, Islam, dan Kristen juga mengembangkan berbagai versi argumen teleologis. Kemudian, varian argumen perancangan pun dihasilkan dalam filsafat Barat dan oleh fundamentalisme Kristen.
Argumen perancangan cerdas tampaknya dimulai dengan Socrates walaupun konsep kecerdasan kosmik adalah lebih tua dan David Sedley pun berpendapat bahwa Socrates mengembangkan ide lama, mengutip Anaxagoras dari Clazomenae, lahir sekitar 500 SM, sebagai kemungkinan pelopor yang lebih lama.[10][11][12] Proposal bahwa tatanan alam menunjukkan bukti akan "kecerdasan" mirip manusianya sendiri telah ada jauh sejak permulaan ilmu pengetahuan dan filsafat alam Yunani, dan perhatiannya terhadap keteraturan alam, sering kali dengan rujukan khusus kepada langit yang berputar. Anaxagoras adalah orang pertama yang pastinya dikenal telah menjelaskan konsep demikian menggunakan kata "nous" (istilah asli Yunani yang berakhir pada "intelligence" Inggris modern via terjemahan Latin dan Prancis/kecerdasan dalam bahasa Indonesia). Aristoteles melaporkan seorang filsuf yang lebih tua dari Clazomenae dengan nama Hermotimus yang memiliki posisi serupa.[13] Di antara filsuf Pre-Socratik sebelum Anaxagoras, filsuf lain telah mengajukan prinsip kecerdasan pengatur serupa yang memerintah dasar penyebab kehidupan dan perputaran langit. Misalnya Empedocles, seperti Hesiod jauh sebelumnya, mendeskripsikan aturan kosmik dan makhluk hidup disebabkan oleh versi kosmik kasih,[14] dan Pythagoras bersama Heraclitus mengaitkan kosmos tersebut dengan "logika" (logos).[14] Dalam Philebus 28c Plato, Socrates membicarakan hal ini sebagai tradisi; mengatakan, "semua filsuf setuju—dengan mana mereka sungguh mengagungkan diri sendiri—bahwa pikiran (nous) adalah raja langit dan bumi. Barangkali mereka benar." dan kemudian menyatakan bahwa diskusi berikutnya "mengonfirmasi ungkapan mereka yang mendeklarasikan tua pikiran (nous) itu yang selalu memerintah alam semesta".[15]
Laporan Xenophon dalam Memorabilia miliknya mungkin adalah catatan bersifat jelas paling awal dari argumen bahwa ada bukti di alam atas perancangan cerdas.[11] Kata yang secara tradisional diterjemahkan dan didiskusikan sebagai "desain/perancangan" adalah gnōmē dan Socrates dilaporkan oleh Xenophon mendesak laki-laki muda yang ragu untuk melihat hal-hal di pasar, dan mempertimbangkan apakah mereka bisa membedakan mana hal-hal yang menunjukkan bukti gnōmē, dan yang mana tampak condong adalah kebetulan buta, dan kemudian membandingkannya dengan alam dan mempertimbangkan apakah itu mungkin adalah kebetulan buta.[10][12] Dalam Phaedo Plato, Socrates dibuat mengatakan tepat sebelum meninggal bahwa penemuannya atas konsep kosmik Anaxagoras akan nous sebagai penyebab dari keteraturan hal-hal, adalah titik balik penting untuknya. Namun, ia juga mengungkapkan ketidaksetujuannya dengan pemahaman Anaxagoras atas implikasi doktrinnya sendiri karena pemahaman sebab-akibat materialis Anaxagoras. Socrates mengeluh bahwa Anaxagoras membatasi pekerjaan nous kosmik ke awal, seolah-olah nous tidak tertarik oleh segala peristiwa karena mereka terjadi karena penyebab seperti udara dan air.[16] Socrates, di sisi lain, rupanya bersikeras bahwa pencipta dunia pasti "mencintai", khususnya yang menyangkut kemanusiaan. (Dalam keinginan ini untuk melampaui Anaxagoras dan membuat nous kosmik pengelola yang lebih aktif, Socrates rupanya didahului oleh Diogenes dari Apollonia.[17])
Timaeus Plato disajikan sebagai deskripsi seseorang yang sedang menjelaskan sebuah "cerita yang mungkin" dalam bentuk cerita yang dibuat-buat, maka sepanjang sejarah komentator tidak menyetujui seputar unsur yang mana dari dongeng tersebut dapat dipandang sebagai poisisi Plato.[18] Sedley meskki demikian menyebutnya "manifesto kreasionis" dan menunjukkan bahwa walau beberapa pengikut Plato menolak bahwa ia bermaksud demikian, pada zaman klasik semua penulis seperti Aristoteles, Epicurus, Stoics, dan Galen memahami Plato mengusulkan dunia bermula dalam "aksi kreatif kecerdasan".[19] Plato membuat seorang karakter menjelaskan konsep satu "demiurge (pencipta dunia)" dengan kecerdasan suprem dan kecerdasan sebagai pencipta kosmos dalam karyanya.
Perspektif teleologis Plato juga dibangun berdasarkan analisis aturan dan struktur a priori di dunia yang telah ia presentasikan di The Republic. Ceritanya tidak mengajukan penciptaan ex nihilo; namun, sang pencipta dunia membuat keteraturan dari kekacauan kosmos, mengimitasi Bentuk abadi.[20]
Dunia dengan Bentuk abadi dan tak berubah Plato, secara tidak sempurna direpresentasikan secara fisik oleh sesosok Artisan yang seperti dewa, bertolak belakang tajam dengan beragam Weltanschauungen mekanistik, yang mana atomisme, sekurang-kurangnya pada abad IV, adalah yang paling utama... Debat ini bertahan sepanjang dunia kuno. Mekanisme atomistik dilukai oleh Epicurus... sementara Stoics mengadopsi sebuah teleologi ketuhanan... Pilihan tampak sederhana: antara menunjukkan bagaimana sebuah dunia reguler terstruktur dapat berdiri dari proses tak terarah, dan memasukkan kecerdasan ke sistem tsb.
— R. J. Hankinson, Cause and Explanation in Ancient Greek Thought, Cause and Explanation in Ancient Greek Thought
Murid dan teman Plato, Aristoteles (s. 384 – 322 BC), melanjutkan tradisi Socratik mengkritik ilmuwan alam seperoti Democritus yang berusaha (seperti dalam sains modern) menjelaskan segalanya dalam hal pergerakan materi dan kemungkinan. Ia sangat berpengaruh dalam perkembangan kreasionisme klasik di masa yang akan datang, tetapi bukanlah seorang kreasionis secara gamblang karena ia tidak membutuhkan intervensi pencipta terhadap alam, berarti ia "mengisolasi Tuhan dari kebutuhan manapun mengintervensi alam, baik sebagai pencipta maupun administrator".[21] Bukannya intervensi langsung oleh sesosok pencipta, "hampir berlebihan mengatakan bahwa untuk Aristoteles, seluruh fungsi yang bekerja atas dunia alamiah, juga langit, akhirnya dipahami sebagai usaha yang sama menuju actuality seperti Tuhan".[22] Sedangkan mitos dalam Timaeus mengusulkan bahwa semua makhluk hidup berdasarkan satu paradigma tunggal, bukan satu untuk masing-masing spesies, dan bahkan menceritakan "devolusi" dengan mana makhluk hidup lain berdevolusi dari manusia, Aristoteles-lah yang mempresentasikan ide influensial bahwa masing-masing tipe makhluk hidup normal pasti berdasarkan suatu paradigma tetap atau bentuk untuk spesies itu. Aristoteles merasa bahwa biologi adalah satu contoh sangat penting dari bidang di mana ilmu pengetahuan alam materialistis mengabaikan informasi yang dibutuhkan untuk memahami makhluk hidup dengan baik. Contohnya burung menggunakan sayap untuk terbang.[23] Oleh karena itu, penjelasan paling lengkap mengenai alam, maupun buatan, adalah sebagian besar teleologis.[24] Faktanya usulan bahwa spesies telah mengalami perubahan karena kemungkinan bertahan hidupnya siapa yang tercocok, mirip dengan apa yang sekarang disebut "seleksi alam", telah diketahui oleh Aristoteles dan ditolak olehnya dengan logika yang sama.[25][26][27][28] Ia mengakui bahwa keganjilan (bentuk baru kehidupan) dapat muncul kebetulan,[29][30] tetapi ia tidak setuju dengan mereka yang menganggap semua kejadian alam berasal murni kebetulan[31] karena ia memercayai sains hanya dapat memberikan laporan umum yang mana normal, "selalu, atau sebagian besar".[32] Perbedaan antara apa yang normal, atau alami, dan apa yang "kebetulan", atau tidak alami, penting dalam pemahaman Aristoteles akan alam. Seperti yang disorot oleh Sedley, "Aristoteles senang mengatakan (Physics II 8, 199a33-b4) tanpa sedikit pun takut menghina Tuhan, para ahli kadang membuat kesalahan; maka, secara analog, begitu pula alam".[33] Menurut Aristoteles, perubahan-perubahan yang terjadi alami disebabkan oleh "sebab formal" mereka; contoh untuk kasus sayap burung ada pula sebab final, yaitu untuk terbang. Ia secara eksplisit membandingkan hal ini dengan teknologi manusia:
Jika yang diperoleh dari karya adalah demi sesuatu, jelas apa yang diperoleh dari natur demikian pula [...] Hal ini paling jelas pada hewan lain, yang tidak melakukan apa-apa dengan karya, pertanyaan, atau kesengajaan; karena alasan yang beberapa orang sama sekali tidak tahu apakah karena kecerdasan atau jalan lain laba-laba, semut, dan yang serupa berfungsi. [...] Absurd memikirkan bahwa suatu hal tidak terjadi demi sesuatu jika kita tidak melihat apa yang menggerakkannya bermaksud. [...] Hal ini paling jelas begitu seseorang mengenakan obat sendiri pada dirinya sendiri; karena natur demikian.
— Aristotle, Physics, II 8.[34]
Pertanyaan tentang bagaimana untuk memahami konsepsi alam Aristoteles memiliki tujuan dan arah seperti aktivitas manusia kontroversial dalam rinciannya. Martha Nussbaum misalnya berpendapat bahwa dalam biologi Aristoteles pendekatan ini praktis dan hanya dimaksudkan untuk menunjukkan alam analog dengan karya manusia, penjelasan organ sangat mengetahui pengetahuan tentang fungsinya yang penting. Namun demikian, posisi Nussbaum ini tidak diterima secara universal. Bagaimanapun juga, Aristoteles tidak dipahami demikian oleh pengikutnya di Abad Pertengahan, yang melihatnya konsisten dengan agama monoteistik dan pemahaman teleologis semua natur. Konsisten dengan interpretasi abad pertengahan, dalam Metaphysics dan karya lainnya Aristoteles jelas berpendapat adanya satu Tuhan tertinggi atau "penggerak utama" yang merupakan penyebab utama, meskipun secara spesifik bukan penyebab material, dari bentuk atau sifat alami abadi yang menyebabkan tatanan alam, termasuk semua makhluk hidup. Selain itu, dia jelas merujuk pada entitas ini memiliki kecerdasan yang manusia entah bagaimana juga miliki, membantu manusia melihat sifat atau bentuk sejati berbagai hal tanpa bergantung sepenuhnya pada persepsi rasa hal-hal fisik, termasuk spesies hidup. Pemahaman alam ini, bersama argumen-argumen Aristoteles terhadap pemahaman materialis alam, sangat berpengaruh pada Abad Pertengahan di Eropa. Ide akan spesies yang tetap bertahan dominan dalam biologi sampai Darwin, dan fokus pada biologi masih umum hari ini dalam kritik teleologis ilmu pengetahuan modern.
Stoics-lah yang "mengembangkan deretan argumen kreasionis yang secara luas dikenal berada dalam label "Argumen Perancangan"". Cicero (s. 106 – s. 43 SM) melaporkan argumen teleologis Stoics dalam De Natura Deorum (Perihal Natur Dewa-Dewa) Buku II, yang mencakup versi awal analogi pembuat jam, yang kemudian dikembangkan oleh William Paley.
Ketika Anda melihat jam matahari atau jam air, Anda lihat bahwa mereka menunjukkan waktu menurut rancangan dan bukan karena kebetulan. Bagaimana bisa kemudian Anda membayangkan bahwa alam semesta secara keseluruhan hampa tujuan dan kecerdasan, ketika ia mencakup semuanya, termasuk artifak-artifak ini sendiri dan pembuat mereka?
— Cicero, De Natura Deorum, ii. 34, De Natura Deorum, ii. 34
Suporter klasik sangat penting lain argumen teleologis adalah Galen, yang karya-karya ringkasnya adalah salah satu sumber utama dari pengetahuan medis sampai zaman modern, baik di Eropa maupun di daratan Muslim. Dia bukan Stoic, tetapi seperti mereka, melihat kembali ke Socratik dan terus-menerus terlibat dalam debat melawan atomis seperti Epikuros. Tidak seperti Aristoteles (yang bagaimanapun pengaruh besar atas dirinya), dan tidak seperti Neoplatonis, dia percaya benar-benar ada bukti untuk sesuatu yang benar-benar seperti "pencipta dunia" yang ditemukan dalam Timaeus Plato, yang bekerja fisik pada alam. Dalam karya-karya seperti terutama On the Usefulness of Parts (Perihal Kebergunaan Bagian-Bagian), ia menjelaskan buktinya dalam kompleksitas konstruksi hewan. Karyanya menunjukkan "tanda-tanda awal kontak dan kontras tradisi penciptaan antara penyembah berhala dan Yahudi-Kristen", mengkritik pernyataan yang ditemukan dalam Bible. "Musa, ia berpendapat, akan puas dengan mengatakan bahwa Tuhan memerintahkan bulu mata tidak tumbuh dan mereka patuh. Berlawanan dengan ini, Demiurgos (pencipta dunia) tradisi Platonis adalah di atas segalanya teknisi." Anehnya, baik Aristoteles maupun Plato bagaimanapun juga tidak dianggap oleh Galen sebagai penulis terbaik subjek ini, selain Xenophon. Galen bersama dengan Xenophon memiliki skeptisisme terhadap nilai buku tentang filsafat paling spekulatif, kecuali untuk pertanyaan seperti apakah ada "sesuatu di dunia yang unggul dalam kekuatan dan kebijaksanaan jika dibandingkan dengan manusia". Ini dia lihat penting untuk hari-hari, kegunaan untuk hidup yang lebih baik. Ia juga menegaskan bahwa Xenophon adalah penulis yang melaporkan posisi nyata Socrates, termasuk sikap acuh tak acuhnya dari banyak jenis sains dan filsafat spekulatif.
Koneksi Galen atas argumen teleologis dengan diskusi tentang kompleksitas makhluk hidup, dan desakannya bahwa ini mungkin bagi ilmuwan praktis, pertanda beberapa aspek penggunaan modern argumen teleologis.
Sebagai tarikan dari general revelation, Paul the Apostle (AD 5-67), berargumen dalam Romans 1:18-20Templat:Bibleref2c-nb, bahwa karena telah dibuat gamblang kepada semuanya dari apa yng diciptakan di dunia, jelas bahwa ada Tuhan.[35]
Marcus Minucius Felix (s. akhir abad II sampai III), seorang penulis awal Nasrani, berargumen akan keberadaan Tuhan berdasarkan analogi rumah yang rapi dalam The Orders of Minucius Felix miliknya: "Andaikan Anda memasuki sebuah rumah dan mendapati segalanya rapi, teratur, dan terjaga, sungguh Anda akan berasumsi ada tuannya, dan yang lebih baik daripada hal-hal yang baik, apa-apa yang miliknya ; jadi dalam rumah ini yakni alam semesta, pada sepanjang langit dan bumi Anda melihat tanda-tanda kemungkinan, aturan dan hukum, bolehkah Anda tidak berasumsi bahwa tuan dan pengarang alam semesta lebih pantas daripada bintang-bintang itu sendiri atau bagian manapun seluruh dunia ?"[36]
Augustine dari Hippo (354–430 M) dalam The City of God menyebutkan bahwa "perubahan-perubahan dan pergerakan-pergerakan teratur baik" dunia, dan "penampakan baik semua benda yang terlihat" adalah bukti dunia diciptakan, dan "tidak mungkin diciptakan kecuali oleh Tuhan".[37]
Filsafat Islam awal memainkan peran penting dalam mengembangkan pemahaman filosofis Tuhan di antara pemikir Yahudi dan Kristen di Abad Pertengahan, tetapi mengenai argumen teleologis salah satu efek jangka panjang tradisi ini berasal dari diskusi dari kesulitan-kesulitan yang jenis bukti ini miliki. Berbagai bentuk argumen dari desain telah digunakan oleh teolog dan filsuf Islam dari zaman awal teolog Mutakallimun pada abad IX, meskipun ditolak oleh sekolah fundamentalis atau literalis, untuk siapa Tuhan dalam Al-Quran adalah bukti yang cukup. Argumen dari desain juga dipandang sebagai sofisme yang tidak meyakinkan oleh filsuf-Islam awal Al-Farabi, yang malah mengambil pendekatan Neoplatonis "emanasionis" Plotinus, di mana natur secara rasional diatur, tetapi Tuhan tidak seperti pengrajin yang benar-benar mengelola dunia. Kemudian, Ibnu Sina juga meyakininya dan justru mengusulkan argumen kosmologis untuk keberadaan Tuhan.[38]
Argumen namun kemudian diterima baik oleh filsuf-Aristoteles Averroes (Ibnu Rusyd) maupun lawan anti-filsafat hebatnya, Al-Ghazali. Istilah Averroes untuk argumen ini adalah Dalīl al-ˁināya, yang dapat diterjemahkan sebagai "argumen dari providens". Mereka berdua meski demikian menerima argumen karena mereka percaya hal ini secara eksplisit disebutkan dalam Al-Quran.[39] Meskipun demikian, seperti Aristoteles, Neoplatonis, dan Al-Farabi, Averroes mengusulkan bahwa aturan dan gerakan terus-menerus di dunia ini disebabkan oleh kecerdasan Tuhan. Apakah Averroes adalah "emanationis" seperti pendahulunya telah menjadi subjek dari perselisihan dan ketidakpastian. Namun, umumnya sepakat bahwa apa yang ia adaptasi dari tradisi-tradisi itu, setuju dengan mereka tentang fakta bahwa Tuhan tidak menciptakan menggunakan cara yang sama dengan pengrajin.[40][41]
Dalam kenyataannya kemudian, Averroes memperlakukan argumen teleologis sebagai salah satu dari dua argumen "keberagamaan" keberadaan Tuhan. Bukti demonstratif utama ini, menurut Averroes, bukti Aristoteles dari gerak di alam semesta bahwa pasti ada penggerak pertama yang menyebabkan segala sesuatu yang lain bergerak.[42] Posisi Averroes bahwa bukti valid paling logis seharusnya fisik daripada metafisik (karena kemudian metafisika akan membuktikan dirinya sendiri) berada dalam oposisi sadar terhadap posisi Avicenna. Kemudian filsuf Yahudi dan Kristen seperti Thomas Aquinas menyadari perdebatan ini, dan umumnya mengambil posisi lebih dekat dengan Avicenna.
Contoh argumen teleologis dalam filsfat Yahudi muncul ketika filsuf Aristoteles abad pertengahan Maimonides mengutip ayat dalam Yesaya 40:26, di mana "yang Kudus" mengatakan: "Angkatlah matamu, lihatlah yang telah menciptakan hal-hal ini, yang membawa mereka keluar host dengan nomor:"[43] Namun, Barry Holtz menyebutnya "bentuk mentah argumen dari desain," dan bahwa ini "adalah satu-satunya cara yang mungkin untuk membaca teks." Dia menegaskan bahwa pada umumnya, dalam teks-teks bible keberadaan Tuhan diterima begitu saja.[44]
Maimonides juga mengingatkan bahwa Abraham (dalam midrash, atau teks penjelasan, Genesis Rabbah 39:1) mengakui keberadaan "satu kekuatan transenden dari fakta bahwa dunia di sekitarnya menunjukkan aturan dan desain." Midrash membuat analogi antara kejelasan bahwa bangunan memiliki pemilik dan bahwa dunia ini diawasi oleh Tuhan. Abraham mengatakan, "Bisakah dibayangkan bahwa dunia ini tanpa pemandu?"[45] Karena contoh-contoh ini, filsuf abad XIX Nachman Krochmal menyebut argumen dari desain "prinsip kardinal iman Yahudi." [46]
Rabi ortodoks Amerika, Aryeh Kaplan, menceritakan kembali legenda tentang Rabbi Meir abad II. Ketika diberitahu oleh seorang filsuf bahwa ia tidak percaya bahwa dunia diciptakan oleh Tuhan, rabi tsb. memproduksi puisi yang ia akui telah muncul ketika kucing tanpa sengaja menjatuhkan sebuah pot tinta, "menumpahkan tinta ke seluruh dokumen. Puisi ini adalah hasilnya." Filsuf berseru bahwa itu mustahil: "Pasti ada pengarang. Pasti ada penulis." Rabbi menyimpulkan, "Bagaimana alam semesta muncul menjadi ada dengan sendirinya? Pasti ada Pengarang. Pasti ada Pencipta."[47]
Thomas Aquinas (1225-1274), yang tulisannya secara luas diterima di Eropa Barat Katolik, sangat dipengaruhi oleh Aristoteles, Averroes, serta filsuf Islam dan Yahudi lain. Ia mempresentasikan sebuah argumen teleologis dalam Summa Theologica miliknya. Dalam karya tsb., Aquinas mempresentasikan lima jalan di mana ia berusaha membuktikan keberadaan Tuhan: quinque viae. Argumen ini hanya meliputi argumen a posteriori, bukannya tafsiran literal kitab suci.[48] Ia merangkum argumen teleologisnya seperti berikut:
Jalan kelima diambil dari dikontrolnya dunia. Kita lihat bahwa apa-apa yang tidak berpengetahuan, seperti benda-benda alam, berlaku untuk suatu tujuan, dan ini terbukti dari perilaku mereka selalu, atau hampir selalu, dengan jalan yang sama, sehingga memperoleh hasil yang terbaik. Maka gamblang mereka mencapai tujuan mereka, tidak kebetulan, tetapi sesuai rancangan. Nah apapun yang tidak berpengetahuan tidak dapat bergerak menuju suatu tujuan, jika ia tidak diarahkan oleh yang memiliki pengetahuan dan kecerdasan; seperti anak panah diarahkan oleh pemanah. Oleh karena itu, sesosok cerdas nyata karena benda-benda alam terarahkan untuk tujuannya; dan sosok ini kita sebut Tuhan.
Aquinas mencatat bahwa keberadaan sebab akhir, yang mana sebab diarahkan menuju efek tertentu, hanya dapat dijelaskan oleh dorongan kepada kecerdasan. Bagaimanapun juga, karena benda-benda alam selain manusia tidak memiliki kecerdasan, pasti ada, menurutnya, nyata satu sosok yang mengarahkan sebab final di setiap waktu. Sosok itulah yang kita sebut Tuhan.
Isaac Newton menegaskan keyakinannya akan kebenaran argumen ketika, pada tahun 1713, ia menulis kata-kata tersebut dalam lampiran untuk edisi kedua dari bukunya Principia:
Sistem matahari, planet, dan komet yang sangat ellegan ini tidak bisa muncul tanpa desain dan kekuasaan satu sosok yang cerdas dan kuat.[50]
Pandangan ini, bahwa "Tuhan dikenal dari karya-karyanya", didukung dan dipopulerkan oleh teman-teman Newton: Richard Bentley, Samuel Clarke, dan William Whiston di kuliah Boyle, yang diawasi oleh Newton.[51] Newton menulis untuk Bentley, sebelum Bentley menyampaikan kuliah pertama, bahwa:
ketika saya menulis risalah tentang Systeme kita, saya memandang bahwa Principles mungkin bekerja sejalan membuat orang mempertimbangkan beliefe [sic] terhadap sebuah ketuhanan, dan tidak ada yang dapat menyukacitakan saya lebih daripada menemukannya berguna untuk tujuan itu. [52]
Filsuf Jerman Gottfried Leibniz tidak setuju dengan pandangan Newton atas desain dalam argumen teleologis. Dalam korespondensi Leibniz–Clarke, Samuel Clarke berargumen kasus Newton bahwa Tuhan terus-menerus mengintervensi dunia untuk menjaga desain-Nya sesuai sementara Leibniz berpikir bahwa alam semesta diciptakan sedemikian rupa sehingga Tuhan tidak perlu turun tangan sama sekali. Seperti yang dikutip oleh Ayval Leshem, Leibniz menulis:
Menurut doktrin [Newton], Tuhan Yang Mahakuasa ingin [yaitu butuh] untuk menyetel arlojinya dari waktu ke waktu; jika tidak, itu akan berhenti bergerak. Ia tidak punya tampaknya, cukup kejelian untuk membuatnya gerak abadi [53]
Leibniz menganggap argumen dari perancangan memiliki "hanya kepastian moral" kecuali didukung oleh idenya sendiri atas harmoni yang ditetapkan sebelumnya yang diuraikan dalam bukunya Monadology.[54] Bertrand Russell menulis bahwa "bukti dari harmoni yang dtetapkan sebelumnya adalah bentuk khusus yang disebut bukti fisiko-teologis, atau dikenal sebagai argumen dari perancangan." Menurut Leibniz, alam semesta ini benar-benar terbuat dari zat individual yang dikenal sebagai monads, diprogram untuk berperilaku dengan cara yang telah ditentukan.[55] Russell menulis:
Dalam bentuk Leibniz, argumen menyatakan bahwa harmoni semua monads hanya bisa muncul dari satu penyebab umum. Bahwa mereka semua harus secara persis bersinkronisasi, hanya dapat dijelaskan oleh Pencipta yang telah menentukan sinkronisme mereka.[56]
Penulis abad XVII Belanda Lessius dan Grotius berpendapat bahwa struktur yang rumit dari dunia, seperti suatu rumah, tidak mungkin muncul secara kebetulan.[57] Empiris John Locke, menulis pada akhir abad XVII, mengembangkan ide Aristoteles bahwa, tidak termasuk geometri, semua ilmu pasti mencapai pengetahuan a posteriori - melalui pengalaman sensual.[58] Dalam menanggapi Locke, Uskup Irlandia Anglikan George Berkeley melanjutkan bentuk idealisme di mana apa-apa hanya terus ada ketika mereka dirasakan.[59] Ketika manusia tidak melihat benda-benda, mereka terus ada karena Tuhan memersepsi mereka. Oleh karena itu, agar benda-benda tetap eksis, Tuhan pasti ada omnipresen.[60]
David Hume, di pertengahan abad XVIII, merujuk pada argumen teleologis dalam A Treatise of Human Nature (Sebuah Risalah dari Sifat Manusia). Di sini, ia tampak memberikan dukungan terhadap argumen dari perancangan. John Wright mencatat bahwa "Memang, ia mengklaim bahwa seluruh dorongan analisis kausalitasnya dalam Risalah mendukung argumen Perancangan", dan bahwa, menurut Hume, "kita diwajibkan 'untuk menyimpulkan sesosok Arsitek yang sempurna tak terbatas.'"[61]
Namun, kemudian dia lebih kritikal terhadap argumen dalam An Enquiry Concerning Human Understanding (Penyelidikan Tentang Pemahaman Manusia). Ini disajikan sebagai sebuah dialog antara Hume dan "seorang teman yang suka paradoks skeptis", di mana teman memberikan sebuah versi argumen ini dengan mengatakan para pendukungnya, mereka "melukis dengan warna paling megah keteraturan, keindahan, dan susunan alam semesta yang bijak; dan kemudian bertanya apakah pameran kecerdasan gilang-gemilang tersebut bisa datang dari perkumpulan bersama acak atom-atom, atau kebetulan bisa menghasilkan sesuatu yang jenius terbesar tidak pernah bisa cukup kagumi."[62]
Hume juga menyajikan argumen-argumen yang baik untuk mendukung maupun melawan argumen teleologis dalam Dialogues Concerning Natural Religion (Dialog Menyangkut Agama Natural) miliknya. Karakter Cleanthes, meringkas argumen teleologis, mengibaratkan alam semesta dengan mesin buatan manusia, dan menyimpulkan dengan prinsip efek serupa dan penyebab serupa bahwa pasti ada kecerdasan yang merancangnya.
Lihat sekeliling dunia: renungkan keseluruhan dan tiap bagiannya: Akan Anda temukan ia bukan apa-apa selain satu mesin besar, terbagi menjadi mesin-mesin lebih kecil tak terbatas jumlahnya, yang lagi-lagi menyatakan subdivisi hingga tingkat di atas apa yang indra dan fakultas manusia dapat telusuri dan jelaskan. Semua ragam mesin ini, dan bahkan bagian terkecil mereka, disesuaikan terhadap satu sama lain dengan akurasi, yang menggairahkan kekaguman semua orang yang pernah merenungkannya. Adaptasi mengherankan alat terhadap tujuan, sepanjang semua natur, mencerminkan persisnya, walau jauh melebihi, produksi susunan manusia; dari desain, pikiran, kebijaksanaan, dan kecerdasan manusia. Karena oleh karena itu efeknya mencerminkan satu sama lain, kita berakhir menyimpulkan, dengan segala aturan analogi, bahwa sebab-sebabnya pun sama; dan bahwa Pengarang Alam agaknya mirip dengan pikiran manusia; walau memiliki fakultas jauh lebih besar, berproporsi dengan kemegahan karya yang telah ia eksekusi. Dengan argumen ini a posteriori, dan dengan argumen ini sendiri, kita buktikan langsung keberadaan sesosok Ilahi, dan kemiripannya dengan pikiran dan kecerdasan manusia.[63]
— David Hume, Dialogues Concerning Natural Religion
Di sisi lain, skeptis Hume, Philo, tidak puas dengan argumen dari perancangan. Ia mencoba sejumlah bantahan, termasuk salah satu yang bisa dibilang mendahului teori Darwin, dan menunjukkan bahwa jika Tuhan menyerupai perancang manusia, maka mengasumsikan karakteristik ilahi seperti kemahakuasaan dan kemahatahuan tidak dibenarkan. Dia melanjutkan dengan lelucon bahwa jauh dari ciptaan sempurna desainer yang sempurna, alam semesta ini bisa jadi "hanya esai kasar pertama sesosok bayi dewa... objek cemoohan untuk atasannya".[63]
Mulai tahun 1696 dengan Artificial Clockmaker (Pembuat Jam Buatan), William Derham menerbitkan aliran buku teleologis. Yang paling terkenal di antaranya adalah Physico-Theology (Fisiko-Teologi), 1713; Astro-Theology (Astro-Teologi), 1714; dan Christo-Theology (Kristo-Teologi), 1730. Fisiko-Teologi, misalnya, secara eksplisit bersubjudul "Sebuah demonstrasi sosok dan atribut-atribut Tuhan dari karya penciptaannya". Teolog alam, Derham mencantumkan observasi ilmiah banyak variasi di alam, dan mengusulkan bahwa mereka membuktikan "ketidakpercayaan yang tidak masuk akal". Pada bagian akhir seksi Gravitasi misalnya, ia menulis: "Apa lagi yang bisa disimpulkan, selain semua dibuat dengan Desain termanifestasi, dan bahwa semua seluruh Struktur adalah Karya Sesosok cerdas yang tidak diketahui; sosok Artis, Kekuatan, dan Keterampilan yang setara untuk Karya tersebut?"[64] Juga, perihal "indra suara" ia menulis:
Karena siapa melainkan Sosok yang cerdas, yang kurang dari Tuhan yang mahakuasa dan maha bijaksana bisa merancang, dan membuat Tubuh yang demikian baiknya, Media demikian, begitu peka terhadap setiap Impresi, sampai Indra Pendengaran beroleh kesempatan untuk, untuk memberdayakan semua Hewan untuk mengungkapkan Rasa dan Makna mereka kepada yang lain.[65]
Derham menyimpulkan: "Karena itu adalah Tanda Seseorang disengaja, Ateis sesat, yang akan menghubungkan Karya yang begitu mulia, seperti Penciptaan, dengan Hal mapapun, ya, Ketidakapaan saja (seperti Kebetulan) daripada dengan Tuhan.[66] A. S. Weber menulis bahwa Fisiko-Teologi Derham "secara langsung memengaruhi" karya William Paley kemudian.[67]
Kekuatan, namun keterbatasan, jenis penalaran ini digambarkan dalam mikrokosmos oleh sejarah dongeng La Fontaine The Acorn and the Pumpkin (Biji Pohon Ek dan Labu), yang pertama muncul di Prancis pada tahun 1679. Anekdot ringan gembira bagaimana petani yang ragu akhirnya yakin hikmah di balik penciptaan dibilang merusak pendekatan ini.[68] Namun demikian, dimulai dengan konversi Anne Finch cerita ini menjadi polemik melawan ateisme, diambillah oleh penulis moral yang beriring-iringan menyajikan sebuah argumen yang valid untuk proposisi bahwa "kebijaksanaan Tuhan ditampilkan dalam penciptaan".[69]
Analogi pembuat jam, menyorot argumen teleologis dengan referensi ke sebuah arloji, berasal setidaknya kembali ke Stoa, yang dilaporkan oleh Cicero dalam De Natura Deorum (II.88), menggunakan argumen tsb. melawan Epikuros, yang, mereka ejek, akan "memandang lebih tinggi pencapaian Archimedes dalam membuat sebuah model revolusi cakrawala daripada alam dalam menciptakan mereka, meskipun kesempurnaan yang asli menunjukkan keahlian berkali-kali sama besar dengan yang palsu".[70] Robert Hooke[71] dan Voltaire pun menggunakannya, yang terakhir di antaranya berkomentar:
Semesta menyusahkan saya, dan jauh lebih sedikit saya bisa memikirkan
Bahwa jam ini ada dan mungkin tidak memiliki pembuat jamnya.[72]
William Paley mempresentasikan versi analogi pembuat jamnya di awal Natural Theology (Teologi Alamiah) miliknya (1802).[73]
[A]ndai saya menemukan sebuah jam di atas tanah, dan mesti ditanyakan bagaimana jam tersebut kebetulan berada di tempat itu, saya tidak harus berpikir ... bahwa, bagaimanapun yang saya tahu, jam itu mungkin sudah selalu ada di sana. Namun mengapa harus tidak jawaban ini berfungsi untuk jam tsb. juga untuk [sebuah] batu [yang kebetulan tergeletak di tanah]?... Untuk alasan ini, dan tidak ada yang lain; yaitu, bahwa, jika bagian-bagian yang berbeda telah berbentuk berbeda dari mereka, jika ukuran berbeda dari mereka, atau ditempatkan tidak dengan cara lain, atau dalam urutan manapun dibandingkan yang mereka ditempatkan, baik tidak ada gerak sama sekali akan telah ditangani oleh mesin, atau tidak ada yang akan menjawab penggunaan yang sekarang dipenuhi olehnya.
Menurut Alister McGrath, Paley berargumen bahwa "kompleksitas dan utilitas yang sama jelas dalam desain dan fungsi dari jam juga dapat dilihat pada dunia alami. Masing-masing fitur sebuah organisme biologis, seperti jam, menunjukkan bukti dirancang sedemikian rupa agar beradaptasi organisme tsb. untuk bertahan hidup dalam lingkungannya. Kompleksitas dan utilitas yang diobservasi; kesimpulan bahwa mereka dirancang dan dikonstruksi oleh Tuhan, Paley pegang, adalah sama naturalnya sebagaimana benar."[74]
Teologi alamiah kuat memengaruhi sains Inggris, dengan dugaan seperti yang diungkapkan oleh Adam Sedgwick pada tahun 1831 bahwa kebenaran yang diungkapkan oleh ilmu pengetahuan tidak bisa bertentangan dengan kebenaran moral agama.[75] Para filsuf alam ini memandang Tuhan sebagai sebab pertama, dan mencari penyebab sekunder untuk menjelaskan desain di alam: tokoh terkemuka Sir John Herschel menulis pada tahun 1836 bahwa dengan analogi lain sebab intermediat "asal-mula spesies segar, bisa itu jika datang di bawah pengetahuan kita, akan didapati natural dalam perbedaan karena berlainan dengan proses yang ajaib".[76]
Sebagai mahasiswa teologi, Charles Darwin mendapati argumen Paley menarik. Namun, ia kemudian mengembangkan teori evolusi miliknya dalam bukunya tahun 1859 buku On the Origin of Species (Tentang Asal-Usul Spesies), yang menawarkan penjelasan alternatif aturan biologis. Dalam otobiografinya, Darwin menulis bahwa "Argumen dari perancangan di alam yang lama, seperti yang diberikan oleh Paley, yang sebelumnya tampak begitu meyakinkan, gagal, sekarang begitu hukum seleksi alam telah ditemukan".[77] Darwin berjuang dengan masalah kejahatan penderitaan di alam, tetapi tetap cenderung percaya bahwa alam bergantung pada "hukum yang dirancang" dan menghargai pernyataan Asa Gray tentang "jasa besar Darwin untuk Ilmu Pengetahuan Alam dalam membawa kembali Teleologi: sehingga, bukannya Morfologi melawan Teleologi, kita dapat Morfologi menganut Teleologi."[78]
Darwin mengakui ia "dibingungkan" pada subjek tsb., tetapi "cenderung melihat segala sesuatu sebagai akibat dari hukum yang dirancang, dengan rincian, apakah baik atau buruk, tersisa untuk kerja apa yang kita sebut kebetulan":
Namun saya akui bahwa saya tidak bisa melihat, sama jelasnya seperti orang lain lihat, dan seperti yang saya harusnya inginkan, bukti desain & kebaikan berada di semua sisi kita. Tampak kepada saya terlalu banyak penderitaan di dunia. Saya tidak bisa meyakinkan diri sendiri bahwa Tuhan yang pengasih & mahakuasa telah sengaja menciptakan Ichneumonidae dengan niat mereka makan dalam tubuh ulat yang hidup, atau bahwa kucing harus bermain dengan tikus. Tidak percaya ini, saya melihat tidak ada keharusan dalam keyakinan bahwa mata tegas dirancang. [79]
Pada tahun 1928 dan 1930, FR. Tennant menerbitkan Philosophical Theology (Teologi Filosofis), "usaha berani menggabungkan pemikiran ilmiah dan teologis".[80] Ia mengusulkan sebuah versi argumen teleologis berdasarkan akumulasi probabilitas masing-masing adaptasi biologis individual. "Tennant mengakui bahwa laporan naturalistik seperti teori evolusi dapat menjelaskan masing-masing adaptasi individu yang ia kutip, tetapi ia menegaskan bahwa dalam kasus ini seluruhnya melebihi jumlah dari bagian-bagiannya: naturalisme dapat menjelaskan masing-masing adaptasi tetapi tidak untuk totalitas mereka." Routledge Encyclopedia of Philosophy mencatat bahwa "Kritikus bersikeras berfokus pada daya meyakinkan masing-masing bagian bukti teistik - mengingatkan kita bahwa, pada akhirnya, sepuluh ember bocor tidak menahan air lebih banyak daripada satu." Juga, "Beberapa kritikus, seperti John Hick dan D. H. Mellor, telah menolak penggunaan khusus Tennant dari teori probabilitas dan telah menantang relevansi setiap jenis penalaran probabilistik untuk keyakinan teistik."[81]
Richard Swinburne punya "kontribusi terhadap teologi filosofis telah berusaha untuk menerapkan versi-versi teori probabilitas lebih canggih untuk pertanyaan keberadaan Tuhan, peningkatan metodologis pada kerja Tennant tetapi langsung dengan semangat yang sama." Ia menggunakan probabilitas Bayesian "memperhitungkan tidak hanya aturan dan fungsi natur tetapi juga 'kecocokan' antara kecerdasan manusia dan alam semesta, dengan jalan mana seseorang dapat memahami kerjanya, juga estetis, moral, dan pengalaman keagamaan manusia.[82] Swinburne menulis: "keberadaan aturan di dunia mengonfirmasi keberadaan Tuhan jika dan hanya jika keberadaan aturan di dunia adalah lebih mungkin jika ada Tuhan daripada jika tidak ada. ... kemungkinan aturan dengan jenis yang tepat sangat lebih besar jika ada Tuhan, dan sehingga keberadaan aturan tersebut menambah dengan besar kemungkinan bahwa ada Tuhan."[83] Swinburne mengakui bahwa argumennya sendiri mungkin tidak memberi alasan untuk memercayai keberadaan Tuhan, tetapi dalam kombinasi dengan argumen lain seperti argumen kosmologis dan bukti dari pengalaman mistis, ia pikir bisa jadi.
Sementara mendiskusikan argumen Hume, Alvin Plantinga menawarkan sebuah versi probabilitas argumen teleologis dalam bukunya God and Other Minds:
Setiap objek kontingen yang kita tahu apakah benar atau bukan produk perancangan cerdas, adalah produk perancangan cerdas.
Alam semesta adalah objek kontingen.
Jadi mungkin alam semesta dirancang.[84]
Mengikuti Plantinga, Georges Dicker memproduksi versi yang sedikit berbeda daam bukunya tentang Bishop Berkeley:
A. Dunia ... menunjukkan aturan teleologis menakjubkan.
B. Semua Objek yang menampilkan aturan tersebut ... adalah produk perancangan cerdas.
C. Mungkin dunia adalah hasil perancangan cerdas.
D. Mungkin, Tuhan ada dan menciptakan dunia.[85]
Dalam Encyclopædia Britannica berikut kritik terhadap argumen tersebut:
Tentu saja dapat dikatakan bahwa setiap bentuk di mana alam semesta mungkin secara statistik sangat mustahil karena hanya adalah salah satu virtual tanpa batas kemungkinan bentuk. Namun, bentuk yang sebenarnya adalah tidak lebih tidak mungkin, dalam pengertian ini, dari yang lain yang tak terhitung jumlahnya. Hanya kenyataan bahwa manusia adalah bagian darinya yang membuatnya tampak begitu istimewa, membutuhkan sebuah penjelasan transenden.
Sebuah variasi modern argumen teleologis dibangun di atas konsep fine-tuned universe: Menurut website Biologos: "Fine-tuning mengacu pada presisi mengejutkan dari konstanta fisik alam, dan keadaan awal alam semesta. Untuk menjelaskan keadaan alam semesta sekarang, bahkan teori-teori ilmiah terbaik membutuhkan konstanta fisik alam dan keadaan alam semesta awal yang memiliki nilai-nilai yang secara ekstrem tepat."[86] Juga, fine-tuning alam semesta adalah keseimbangan sulit yang jelas dari kondisi yang diperlukan untuk kehidupan manusia. Dalam pandangan ini, spekulasi tentang berbagai macam kondisi yang mungkin di mana kehidupan tidak ada digunakan untuk mengeksplorasi kemungkinan kondisi di mana kehidupan dapat dan memang ada. Misalnya, dapat dikatakan bahwa jika gaya ledakan Big Bang berbeda 1/1060 atau gaya interaksi kuat itu hanya 5% berbeda, hidup akan mustahil. Dalam hal argumen teleologis, intuisi dalam kaitannya dengan fine-tuned universe berarti bahwa Tuhan pastilah yang bertanggung jawab, jika untuk mencapai kondisi yang sesempurna itu sangat mustahil.[87] Namun, dalam hal fine-tuning, Kenneth Einar Himma menulis: "Faktanya sendiri bahwa sangat mustahil suatu peristiwa terjadi... dengan sendirinya, memberi kita tidak ada alasan untuk berpikir bahwa hal itu terjadi karena perancangan... Semenggodanya secara intuitif dengan kemungkinannya..." Himma mengatributkan "Argumen dari Ketidakmungkinan yang Mencurigakan", formalisasi "intuisi fine-tuning" untuk George N. Schlesinger:
Untuk memahami argumen Schlesinger, pertimbangkan reaksi Anda terhadap dua peristiwa yang berbeda. Jika John menang 1-dalam-1.000.000.000 permainan lotere, Anda tidak akan langsung tergoda untuk berpikir bahwa John (atau seseorang yang bertindak atas namanya) curang. Jika, bagaimanapun juga, John memenangkan tiga berturut 1-dalam-1.000 lotere, Anda akan langsung tergoda untuk berpikir bahwa John (atau seseorang yang bertindak atas namanya) curang. Schlesinger percaya bahwa reaksi intuitif untuk kedua skenario adalah secara epistemis dibenarkan. Struktur peristiwa yang terakhir adalah seperti yang mana... dibenarkan keyakinan bahwa perancangan cerdas adalah penyebab... Meskipun fakta bahwa probabilitas menang tiga kali berturut-turut 1-dalam-1.000 permainan ini persis sama dengan probabilitas menang satu 1-dalam-1.000.000.000 permainan, peristiwa sebelumnya... memastikan kesimpulan perancangan cerdas.
Himma menganggap argumen Schlesinger menjadi subjek yang sama rentannya yang ia catat dalam versi lain argumen perancangan:
Sementara Schlesinger tidak diragukan lagi benar berpikir bahwa kita dibenarkan mencurigai perancangan dalam kasus [menang] tiga kali berturut-turut lotere, itu adalah karena dan hanya karena—kita tahu dua fakta empiris yang berkaitan tentang peristiwa demikian. Pertama, kita sudah tahu bahwa ada agen cerdas yang memiliki motivasi dan kemampuan kausal yang benar untuk sengaja mengadakan peristiwa demikian. Kedua, kita tahu dari pengalaman masa lalu dengan peristiwa demikian bahwa mereka biasanya dijelaskan oleh agensi sengaja satu atau lebih agen-agen ini. Tanpa setidaknya satu dari dua potongan-potongan informasi, kita jelas tidak dibenarkan melihat perancangan dalam kasus demikian... Masalah untuk argumen fine-tuning adalah bahwa kita kekurangan kedua potongan yang diperlukan untuk membenarkan kesimpulan perancangan. Pertama, titik argumen itu sendiri adalah untuk menetapkan fakta bahwa ada sebuah badan cerdas yang memiliki kemampuan kausal dan motivasi yang benar untuk membawa keberadaan alam semesta yang mampu mempertahankan kehidupan. Kedua, dan lebih jelas, kita tidak memiliki pengalaman masa lalu dengan terbentuknya dunia dan oleh karena itu tidak dalam posisi untuk tahu apakah keberadaan fine-tuned alam semesta biasanya dijelaskan oleh agensi sengaja beberapa agensi kecerdasan. Karena kita kekurangan informasi latar belakang yang penting ini, kita tidak dibenarkan menyimpulkan bahwa ada Sesosok agung yang cerdas yang sengaja menciptakan alam semesta yang mampu mempertahankan kehidupan.
Antony Flew, yang menghabiskan sebagian besar hidupnya sebagai seorang ateis, beralih ke deisme kemudian, dan mempostulatkan "sesosok cerdas yang terlibat dalam beberapa cara di perancangan kondisi-kondisi yang akan memungkinkan kehidupan untuk muncul dan berkembang."[88] Ia menyimpulkan bahwa fine-tuning alam semesta terlalu tepat untuk menjadi hasil dari kebetulan, jadi ia menerima keberadaan Tuhan. Ia mengatakan bahwa komitmennya untuk "mengikuti ke mana bukti-bukti mengarah" berarti bahwa ia akhirnya menerima keberadaan Tuhan.[89] Flew mengusulkan pandangannya, ditahan sebelumnya oleh Fred Hoyle, bahwa alam semesta terlalu muda untuk kehidupan telah berkembang secara murni karena kebetulan, dan bahwa, oleh karena itu, sesosok cerdas pasti ada terlibat dalam merancang kondisi yang diperlukan agar kehidupan berkembang.
Tidakkah akan kau katakan pada dirimu sendiri, “Sesosok cerdas yang super perhitungan pasti telah merancang karakteristik atom karbon, kalau tidak kemungkinan penemuanku atom demikian melalui kekuatan kebetulan natur akan sama sekali amat kerdil.” Tentu saja akan… Interpretasi akal sehat atas fakta menyatakan bahwa suatu intelek super telah bermain-main dengan fisika, juga dengan kimia dan biologi, dan bahwa tidak ada kekuatan kebetulan yang pantas dibicarakan tentang natur. Jumlah yang seseorang perhitungkan dari fakta tampak untukku begitu melimpah sehingga menempatkan simpulan ini hampir di atas pertanyaan.
— Fred Hoyle, Engineering and Science, Engineering and Science
Versi argumen dari perancangan sentral untuk sains penciptaan dan perancangan cerdas, tetapi tidak seperti keterbukaan Paley untuk perancangan deistik melalui hukum pemberian Tuhan, para pendukung mengejar konfirmasi ilmiah intervensi ajaib berulang dalam sejarah kehidupan, dan berargumen bahwa sains teistik mereka harus diajarkan dalam sains ruang kelas.[90]
Pengajaran evolusi efektif dilarang dari kurikulum sekolah publik Amerika Serikat dengan hasil dari Scopes Trial tahun 1925, tetapi pada tahun 1960-an Undang-Undang Pendidikan Pertahanan Nasional menyebabkan Studi Kurikulum Sains Biologi memperkenalkan kembali ajaran evolusi. Sebagai tanggapan, ada kebangkitan dari kreasionisme, sekarang disajikan sebagai "sains penciptaan", berdasarkan literalisme bible tetapi dengan kutipan Alkitab opsional. ("Referensi eksplisit untuk Alkitab opsional: buku Kreasionisme Ilmiah Morris tahun 1974 keluar dalam dua versi, satu dengan kutipan Alkitab, dan satu tanpa.")
Suatu survei tahun 1989 menemukan bahwa hampir semua literatur mempromosikan sains penciptaan menyajikan argumen perancangan, dengan John D. Morris mengatakan, "setiap makhluk hidup memberikan bukti yang kuat untuk desain oleh perancang yang cerdas sehingga hanya kebodohan yang disengaja dari data (II Petrus 3:5) bisa menyebabkan seseorang untuk menetapkan kerumitan itu untuk mungkin." Publikasi tersebut memperkenalkan konsep-konsep sentral untuk perancangan cerdas, termasuk kompleksitas tak tereduksi (irreducible complexity [varian pembuat jam analogi]) dan kompleksitas spesifik (specified complexity [erat menyerupai fine-tuning argumen]). The United States Supreme Court memerintah Edwards v. Aguillard dilarang mengajar "Sains Penciptaan" di sekolah umum karena melanggar pemisahan gereja dan negara, dan sekelompok kreasionis menamakan kembali Sains Penciptaan sebagai "perancangan cerdas" yang disajikan sebagai teori ilmiah bukan sebagai argumen keagamaan.[91]
Para ilmuwan tidak setuju dengan pernyataan bahwa perancangan cerdas adalah ilmiah, dan pengenalan ke kurikulum sains satu distrik sekolah Pennsylvania menyebabkan peradilan Kitzmiller v. Dover Area School District tahun 2005, yang menyatakan bahwa argumen "perancangan cerdas" pada dasarnya, bersifat keagamaan dan bukan ilmu pengetahuan. Pengadilan mengambil bukti dari teolog John F. Haught, dan memutuskan bahwa "ID (perancangan cerdas) bukan argumen baru ilmiah, melainkan cenderung argumen keagamaan lama kan keberadaan Tuhan. Ia menelusuri argumen ini kembali ke setidaknya Thomas Aquinas pada abad XIII, yang membingkai argumen sebagai silogisme: Di manapun desain yang kompleks ada, pasti ada seorang desainer; natur adalah kompleks; oleh karena itu, natur pasti memiliki desainer yang cerdas." "Argumen akan keberadaan Tuhan ini dimajukan di awal abad XIX oleh Pendeta Paley": "Satu-satunya perbedaan nyata antara argumen yang dibuat oleh Paley dan argumen untuk ID, seperti yang diungkapkan oleh saksi ahli pertahanan Behe dan Minnich, adalah bahwa 'posisi resmi' ID tidak mengakui bahwa desainer yang dimaksud adalah Tuhan."[92]
Para pendukung pergerakan perancangan cerdas seperti Kornelius G. Hunter, telah menegaskan bahwa naturalisme metodologis dari dasar mana sains dibangun adalah bersifat keagamaan.[93] Mereka sering menyebutnya sebagai 'materialisme ilmiah' atau sebagai 'materialisme metodologis' dan mencampuradukkannya dengan 'naturalisme metafisikak'.[94] Mereka menggunakan pernyataan ini untuk mendukung klaim mereka bahwa ilmu pengetahuan modern adalah ateis, dan mengontraskannya dengan pendekatan yang lebih mereka sukai dari filsafat alam yang dibangkitkan yang menyambut penjelasan supernatural untuk fenomena alam dan mendukung sains teistik. Ini mengabaikan perbedaan antara ilmu pengetahuan dan agama, ditetapkan di Yunani Kuno, di mana ilmu pengetahuan tidak dapat menggunakan penjelasan supernatural.[95]
Advokat perancangan cerdas Michael Behe mengusulkan pengembangan analogi jam Paley di mana ia berargumen mendukung perancangan cerdas. Tidak seperti Paley, Behe hanya mencoba untuk membuktikan keberadaan sang pencipta yang cerdas, bukannya Tuhan teisme klasik. Behe menggunakan analogi perangkap tikus untuk mengusulkan kompleksitas tak tereduksi: ia berpendapat bahwa jika sebuah perangkap tikus kehilangan hanya satu dari bagian-bagiannya, tidak dapat lagi berfungsi sebagai perangkap tikus. Ia berpendapat bahwa kompleksitas tak tereduksi suatu objek menjamin kehadiran perancangan cerdas. Behe mengklaim bahwa ada kasus kompleksitas tak tereduksi di alam dan bahwa bagian-bagian dari dunia pasti telah dirancang.[96] Argumen negatif terhadap evolusi langkah demi langkah ini mengabaikan bukti bahwa evolusi berlangsung melalui perubahan fungsi dari sistem sebelumnya. Contoh-contoh spesifik usulan Behe telah terbukti memiliki homolog lebih sederhana yang dapat bertindak sebagai prekursor dengan fungsi yang berbeda. Argumennya dibantah, baik secara umum dan dalam kasus-kasus tertentu dengan berbagai makalah ilmiah. Sebagai tanggapan, Behe dan lain-lain, "ironisnya, mengingat tidak adanya rincian penjelasan mereka sendiri, mengeluh bahwa penjelasan yang disodorkan kekurangan rincian yang cukup untuk dapat diuji secara empiris."
Genetikawan University of Chicago James A. Shapiro, menulis dalam Boston Review, menyatakan bahwa kemajuan dalam genetika dan biologi molekuler, dan "kesadaran bertumbuh bahwa sel memiliki jaringan komputasi molekuler yang memproses informasi tentang operasi internal dan lingkungan eksternal untuk membuat keputusan yang mengendalikan pertumbuhan, gerakan, dan diferensiasi", memiliki implikasi untuk argumen teleologis. Shapiro menyatakan bahwa sistem "rekayasa genetik alami" ini, dapat menghasilkan reorganisasi radikal "aparatus genetik dalam satu generasi tunggal sel".[97] Shapiro menunjukkan apa yang ia sebut 'Jalan Ketiga'; jenis evolusi non-penciptaan, non-Darwin:
Kepentingan apa yang hubungan yang muncul antara ilmu biologi dan informasi miliki untuk pemikiran tentang evolusi? Dibukanya kemungkinan menyorot secara ilmiah bukannya ideologi masalah sentral yang panas dipertandingkan oleh fundamentalis kedua sisi debat Kreasionis-Darwinis: Apakah ada kecerdasan pembimbing yang bekerja pada asal mula spesis yang menampilkan adaptasi yang sangat indah ..."[97]
Dalam bukunya Evolution: A View from the 21st Century (Evolusi: Pandangan dari Abad XXI), Shapiro mengacu pada konsep "rekayasa genetik alami", yang katanya, telah terbukti merepotkan karena banyak ilmuwan merasa konsep itu mendukung argumen perancangan cerdas. Ia menunjukkan bahwa "kapasitas berorientasi fungsi [dapat] diatributkan pada sel", meskipun adalah "jenis pemikiran teleologis yang para ilmuwan telah diajarkan untuk menghindarinya bagaimanapun juga."[98]
Pengembangan asli argumen dari perancangan merupakan reaksi terhadap pemahaman alam atomistik, secara eksplisit non-teleologis. Socrates, seperti yang dilaporkan oleh Plato dan Xenophon, bereaksi terhadap filsuf alam demikian. Sementara kurang telah selamat dari perdebatan era Helenistik and Romawi, jelas dari sumber seperti Cicero dan Lucretius, bahwa perdebatan terus berlanjut dari generasi ke generasi, dan banyak metafora yang mencolok digunakan hingga hari ini seperti pembuat jam yang tak terlihat, dan teorema monyet tak hingga, berakar pada periode ini. Sementara Stoa menjadi pendukung paling terkenal argumen dari perancangan, argumen balasan atomistik paling terkenal diperbaiki oleh Epikuros. Di satu sisi mereka mengkritik bukti adanya bukti perancangan cerdas di alam, dan logika Stoics. Di sisi defensif, mereka dihadapkan dengan tantangan untuk menjelaskan bagaimana kemungkinan tanpa arahan dapat menyebabkan sesuatu yang tampak sebagai aturan rasional. Banyak pertahanan ini berkisar argumen seperti metafora monyet tak terbatas. Democritus, sudah rupanya menggunakan argumen demikian pada zaman Socrates, mengatakan bahwa akan ada planet yang tak terbatas, dan hanya beberapa yang memiliki aturan seperti planet yang kita tahu. Namun, Epicurean memperhalus argumen ini, mengusulkan bahwa jumlah sebenarnya dari jenis atom di alam ini kecil, bukan tidak terbatas, sehingga kurang kebetulan bahwa setelah jangka waktu yang panjang, hasil tertentu yang teratur diperoleh.
Ini bukan satu-satunya posisi yang digelar di zaman klasik. Posisi yang lebih kompleks juga terus dilaksanakan oleh beberapa sekolah, seperti Neoplatonis, yang, seperti Plato dan Aristoteles, bersikeras bahwa Alam memang memiliki aturan rasional, tetapi khawatir tentang bagaimana untuk menggambarkan cara di aturan rasional ini disebabkan. Menurut Plotinus misalnya, metafora seorang pengrajin Plato harus dipandang hanya sebagai sebuah metafora, dan Plato harus dipahami menyetujui Aristoteles bahwa aturan rasional di alam bekerja melalui bentuk sebab-akibat tidak seperti sebab-akibat sehari-hari. Bahkan, menurut proposal ini setiap hal sudah memiliki sifat sendiri, pas dengan aturan rasional, di mana hal itu sendiri, "butuh, dan diarahkan menuju, apa yang lebih tinggi atau lebih baik".[99]
Louis Loeb menulis bahwa David Hume, dalam Enquiry (Penyelidikan) miliknya, "menegaskan bahwa kesimpulan induktif tidak dapat membenarkan keyakinan pada bendaterekstensi." Loeb juga mengutip Hume menulis:
Hanya ketika dua spesies objek-objek ditemukan terus-menerus siam, kita dapat menyimpulkan satu dari yang lain . . . Jika pengalaman dan observasi dan analogi adalah, memang, satu-satunya panduan yang dapat kita layak ikuti dalam menyimpulkan alam ini; baik efek maupun sebab harus menanggung kesamaan dan kemiripan dengan efek dan sebab lainnya . . . yang kita temukan, dalam banyak kasus, siam dengan yang lain . . . [Para pendukung argumen] selalu memisalkan semesta, sebuah efek yang cukup tunggal dan tak berparalel, sebagai bukti dari Ketuhanan, sebab yang tak tertandingi tunggal dan tak berparalel.
Loeb mencatat bahwa "kita tidak mengobservasi baik Tuhan maupun alam semesta lain, dan karenanya tidak ada hubungan yang melibatkan mereka. Tidak ada diamati hubungan terbobservasi untuk mendasari sebuah kesimpulan baik
untuk objek ekstensi maupun untuk Tuhan, sebagai sebab yang teramati."[100]
Hume juga menyajikan sebuah kritik terhadap argumen dalam Dialogues Concerning Natural Religion miliknya. Karakter Philo, skeptis agama, menyuarakan kritik Hume terhadap argumen. Ia berargumen bahwa argumen perancangan ini dibangun di atas analogi yang cacat karena, berbeda dengan benda-benda buatan manusia, kita belum menyaksikan desain dari alam semesta, jadi tidak tahu apakah alam semesta adalah hasil dari perancangan. Selain itu, ukuran alam semesta membuat analogi yang bermasalah: meskipun pengalaman kita dengan alam semesta teratur, mungkin ada kekacauan di bagian lain alam semesta.[101] Philo berargumen:
Satu bagian yang sangat kecil dari sistem yang besar ini, selama suatu masa yang sangat pendek, dibuka kepada kita dengan sangat tidak sempurna; dan apakah kita kemudian menjatuhkan pernyataan dengan jelas menyangkut asal mula keseluruhannya?
— David Hume, Dialogues 2[101]
Philo juga mengusulkan bahwa aturan di alam mungkin disebabkan oleh alam sendiri. Jika alam mengandung prinsip di dalamnya, perlunya perancang dihapus. Philo berpendapat bahwa bahkan jika alam semesta ini memang dirancang, tidak masuk akal membenarkan kesimpulan bahwa perancangnya pasti Tuhan dengan sifat mahakuasa, mahatahu, baik hati - Tuhan teisme klasik. Tidak mungkin, ia berargumen, menyimpulkan sifat yang sempurna sang pencipta dari natur ciptaannya. Philo berpendapat bahwa perancang tsb. mungkin cacat atau tidak sempurna, menunjukkan bahwa alam semesta mungkin adalah percobaan pertama yang payah dalam perancangan.[102] Hume juga menunjukkan bahwa argumen tidak selalu mengarah kepada adanya satu Tuhan: "mengapa tidak mungkin beberapa dewa bergabung menyusun dan membingkai dunia?" (p. 108).
Wesley C. Salmon mengembangkan pandangan Hume, dengan alasan bahwa semua di alam semesta yang menunjukkan aturan, dalam pengetahuan kita, terbuat dengan material, tidak sempurna, rupa atau kekuatan terbatas. Ia juga berpendapat bahwa tidak ada contoh langsung sosok yang tidak material, sempurna, tak terbatas yang menciptakan apa-apa. Menggunakan probabilitas kalkulus Teorema Bayes, Salmon menyimpulkan bahwa sangat tidak mungkin alam semesta diciptakan oleh sejenis sosok cerdas menurut teis.[103]
Nancy Cartwright menuduh Salmon mengemis pertanyaan. Salah satu bagian bukti yang ia gunakan dalam argumen probabilistik - bahwa atom dan molekul tidak disebabkan oleh desain - setara dengan kesimpulan tarikannya, bahwa alam semesta mungkin tidak disebabkan oleh perancangan. Atom dan molekul adalah apa yang alam semesta ini terdiri dari dan yang mana asalnya adalah masalah. Oleh karena itu, mereka tidak dapat digunakan sebagai bukti melawan simpulan teistik.[104]
Merujuknya sebagai bukti fisiko-teologis, Immanuel Kant membahas argumen teleologis dalam karyanya Critique of Pure Reason. Meskipun ia menyebutnya sebagai "yang tertua, yang paling jelas, dan paling tepat untuk akal manusia", ia menolaknya, memberi judul bagian VI dengan kata per kata: Tentang ketidakmungkinan bukti fisiko-teologis.[105][106] Dalam menerima beberapa kritik Hume, Kant menulis bahwa argumen "membuktikan paling hanya kecerdasan dalam susunan 'materi' alam semesta, dan oleh karena itu keberadaannya bukan 'Yang Mahatinggi', melainkan 'Arsitek'." Menggunakan argumen untuk mencoba membuktikan keberadaan Tuhan memerlukan "ketertarikan tersembunyi ke argumen Ontologis."[107]
Dalam Traité de métaphysique Voltaire memandang bahwa, bahkan jika argumen dari perancangan bisa membuktikan keberadaan perancang cerdas yang kuat, ia tidak akan membuktikan bahwa desainer ini adalah Tuhan.[108]
... hanya dari argumen tunggal ini saya tidak dapat menyimpulkan apa-apa yang lebih jauh daripada bahwa mungkin sesosok cerdas dan superior telah dengan keahlian menyiapkan dan memodel materi ini. Saya tidak bisa menyimpulkan darinya sendiri bahwa sosok ini telah membuat materi dari kehampaan dan bahwa dia tak terbatas dalam artian manapun.
— Voltaire, Traité de métaphysique[108]
Søren Kierkegaard mempertanyakan keberadaan Tuhan, menolak semua argumen rasional untuk keberadaan Tuhan (termasuk argumen teleologis) atas dasar alasan itu pasti disertai dengan keraguan.[109] Ia mengusulkan bahwa argumen dari perancangan tidak mempertimbangkan peristiwa-peristiwa masa depan yang dapat berfungsi melemahkan bukti keberadaan Tuhan: argumen tak akan pernah selesai membuktikan keberadaan Tuhan.[110] Dalam Philosophical Fragments (Fragmen Filsafat), Kierkegaard menulis:
Karya Tuhan adalah demikian sehingga hanya Tuhan yang dapat melaksanakannya. Hanya begitu, tetapi maka di mana karya Tuhan? Karya dari mana saya mendeduksi keberadaannya tidak langsung dan seketika diberikan. Kebijaksanaan di natur, kebaikan, kebijaksanaan di pengelolaan dunia -- apakah ini semua manifes, barangkali, di atas tepatnya muka apa-apa? Apakah kita tidak di sini berkonfrontasi dengan godaan paling mengerikan untuk meragukan, dan apakah bukan tidak mungkin akhirnya menyelesaikan semua keraguan ini? Namun dari aturan apa-apa demikian saya sungguh tidak akan mencoba membuktikan keberadaan Tuhan; dan bahkan jika saya mulai saya tidak akan pernah selesai, dan akan di samping itu harus hidup dalam suspensi secara konstan, jika tidak sesuatu yang begitu mengerikan tiba-tiba terjadi sehingga potongan bukti saya musnah.
— Søren Kierkegaard, Philosophical Fragments[110]
Richard Dawkins kritis terhadap teologi, kreasionisme, dan perancangan cerdas dalam bukunya The God Delusion. Dalam buku ini, ia berpendapat bahwa ketertarikan ke perancangan cerdas tidak dapat memberikan penjelasan biologi karena tidak hanya menimbulkan pertanyaan akan asal perancang sendiri tetapi menimbulkan pertanyaan tambahan: perancang yang cerdas sendiri pasti jauh lebih kompleks dan sulit dijelaskan dibandinkan apa yang ia mampu rancang. Ia percaya peluang kehidupan timbul di sebuah planet seperti Bumi banyak tingkat besarnya kurang mungkin daripada kebanyakan orang pikir, tetapi prinsip anthropic efektif melawan skeptisisme yang berkaitan dengan ketidakmungkinan. Misalnya, Fred Hoyle mengemukakan bahwa potensi untuk hidup di Bumi ini sudah tidak lebih mungkin daripada pesawat Boeing 747 dirakit oleh badai dari scrapyard. Dawkins berpendapat bahwa peristiwa satu kali memang tunduk pada ketidakmungkinan tetapi setelah berjalan, seleksi alam itu sendiri tidak seperti kemungkinan acak. Selain itu, ia merujuk ke argumen balasannya terhadap argumen dari ketidakmungkinan dengan nama yang sama:
Argument dari ketidakmungkinan besar. Dalam balutan tradisional argumen dari perancangan, ia mudahnya adalah argumen paling populer masa kini yang ditawarkan mendukung keberadaan Tuhan dan dipandang, oleh teis dengan jumlah yang menakjubkan, sepenuhnya dan benar-benar meyakinkan. Memang sangat kuat dan, saya kira, argumen tak terbantahkan—tetapi tepatnya pada arah yang berlawanan dengan maksud teis. Argumen ketidakmungkinan, tersebar baik, mendekati membuktikan bahwa Tuhan tidak ada. Saya sebut untuk demonstrasi statistik bahwa Tuhan hampir pasti tidak ada yaitu taruhan Ultimate Boeing 747.
Penyalahgunaan argumen ketidakmungkinan oleh kaum kreasionis selalu memiliki bentuk yang sama dan tidak ada bedanya sama sekali… [jika disebut] perancangan cerdas. Suatu fenomena yang diamati—sering kali makhluk hidup atau salah satu organnya yang lebih kompleks, tetapi bisa dalam bentuk apapun dari molekul hingga alam semesta sendiri-dinyatakan sebagai sesuatu yang tidak mungkin muncul begitu saja secara statistik. Kadang-kadang bahasa teori informasi digunakan: pendukung Darwin ditantang untuk menjelaskan sumber semua informasi dalam benda hidup, dalam artian informasi secara teknis sebagai tolak ukur ketidakmungkinan atau 'nilai kejutan'… Setidakmungkin apapun suatu entitas yang ingin Anda jelaskan dengan seorang perancang, perancang itu sendiri seharusnya juga tidak mungkin. Tuhan adalah Ultimate Boeing 747.
…Seluruh argumen ini mengarah ke pertanyaan umum 'siapa yang menciptakan Tuhan?'… Tuhan sebagai perancang tidak dapat digunakan untuk menjelaskan kompleksitas yang terorganisasi karena Tuhan yang dapat merancang apapun harus cukup kompleks dan butuh penjelasan serupa. Tuhan merupakan regresi tak terbatas yang tak dapat dihindari. Argumen ini… menunjukkan bahwa Tuhan, walaupun secara teknis tidak dapat dibuktikan ketidakberadaannya, sangat sangat tidak mungkin ada.
— Richard Dawkins, The God Delusion
Dawkins menganggap argumen dari ketidakmungkinan menjadi "lebih kuat" daripada argumen teleologis, atau argumen dari perancangan, meskipun kadang-kadang ia menyiratkan istilah-istilah tsb. digunakan secara bergantian. Ia memparafrase argumen teleologis St. Thomas sebagai berikut. "Hal-hal di dunia ini, khususnya makhluk hidup, tampak seolah-olah mereka dirancang. Tidak ada yang kita tahu tampak dirancang kecuali ia dirancang. Oleh karena itu pasti ada desainer, dan kita panggil ia Tuhan."
Filsuf Edward Feser menuduh Dawkins salah paham tentang argumen teleologis, terutama versi Aquinas.[112][113]
George H. Smith, dalam bukunya Atheism: The Case Against God, menunjukkan apa yang ia anggap sebagai kelemahan dalam argumen dari perancangan:
Sekarang pertimbangkan gagasan bahwa alam itu sendiri adalah produk dari desain. Bagaimana ini bisa dibuktikan? Alam... memberikan dasar perbandingan untuk kita membedakan antara benda-benda rancangan dan benda-benda alam. Kita dapat menyimpulkan adanya desain hanya sebatas bahwa karakteristik suatu objek berbeda dari karakteristik alami. Oleh karena itu, mengklaim bahwa alam secara keseluruhan dirancang adalah menghancurkan dasar yang membedakan antara artefak dan benda-benda alam.[114]
Filsuf biologi Michael Ruse berpendapat bahwa Darwin memperlakukan struktur organisme seolah-olah mereka memiliki tujuan: "gambaran organisme-jika-dirancang-oleh Tuhan benar-benar penting untuk pemikiran Darwin pada tahun 1862, seperti selalu sebelumnya."[115] Ia mengacu padanya sebagai "metafora desain ... Organisme manunjukkan penampilan yang dirancang, dan karena penemuan Charles Darwin atas seleksi alam kita tahu mengapa hal ini benar." Dalam review-nya atas buku Ruse, R. J. Richards menulis, "Ahli biologi cukup rutin mengacu pada desain organisme dan sifat-sifat mereka, tetapi istilah yang tepatnya mereka mengacu desain yang kelihatan – desain "andaikan"."[116] Robert Foley merujuknya sebagai "ilusi tujuan, desain, dan kemajuan." Ia menambahkan, "tidak ada tujuan dalam perilaku kausatif fundamental evolusi tetapi proses seleksi dan adaptasi memberikan ilusi tujuan melalui fungsi dan natur terancang dunia biologi yang keluar.[117]
Richard Dawkins menunjukkan bahwa sementara biologi dapat pada awalnya tampak bertujuan dan teratur, pada inspeksi lebih dekat fungsi sebenarnya menjadi dipertanyakan. Dawkins menolak klaim bahwa biologi memenuhi fungsi terancang, agaknya mengklaim bahwa biologi hanya meniru tujuan tersebut. Dalam bukunya The Blind Watchmaker, Dawkins menyatakan bahwa hewan adalah hal yang paling rumit di alam semesta: "Biologi adalah ilmu yang mempelajari hal-hal yang rumit yang tampak didesain untuk suatu tujuan." Ia berpendapat bahwa seleksi alam seharusnya cukup sebagai penjelasan kompleksitas biologi tanpa bantuan asal ilahi.[118]
Namun, teolog Alister McGrath menunjukkan bahwa fine-tuning karbon bahkan bertanggung jawab untuk kemampuan alam menyesuaikan diri sampai tingkat manapun.
[Seluruh biologis] proses evolusi bergantung pada kimia karbon yang tidak biasa, yang memungkinkan untuk mengikat dirinya sendiri, serta unsur-unsur lain, menciptakan molekul sangat kompleks yang stabil di atas temperatur terestrial yang berlaku, dan mampu menyampaikan informasi genetik (terutama DNA). [...] Meskipun mungkin dikatakan bahwa alam menciptakan fine-tuning-nya sendiri, ini hanya dapat terjadi jika konstituen primordial alam semesta sedemikian rupa sehingga proses evolusi dapat dimulai. Kimia unik karbon adalah dasar utama dari kapasitas alam untuk menyesuaikan diri sendiri.[119]
Pendukung kreasionisme perancangan cerdas, seperti William A. Dembski mempertanyakan asumsi-asumsi filosofis yang dibuat oleh kritikus berkaitan dengan apa yang seorang desainer akan atau tidak akan lakukan. Dembski mengklaim bahwa argumen tersebut tidak hanya di luar lingkup sains: sering mereka diam-diam atau terang-terangan teologis sementara gagal memberikan analisis serius merit relatif objektif hipotetis. Beberapa kritikus, seperti Stephen Jay Gould menunjukkan bahwa setiap desainer 'kosmik' yang diakui hanya akan memproduksi desain optimal, sementara ada banyak kritik biologis mendemonstrasikan bahwa ideal demikian jelas-jelas tidak dapat dipertahankan. Melawan ide-ide ini, Dembski menggolongkan argumen Dawkins dan Gould sebagai orang jerami retoris. Ia mengusulkan prinsip optimasi terpaksa lebih realistis menggambarkan yang terbaik yang perancang manapun dapat harapkan untuk capai:
Not knowing the objectives of the designer, Gould was in no position to say whether the designer proposed a faulty compromise among those objectives… In criticizing design, biologists tend to place a premium on functionalities of individual organisms and see design as optimal to the degree that those individual functionalities are maximized. But higher-order designs of entire ecosystems might require lower-order designs of individual organisms to fall short of maximal function.[120]
— William A. Dembski, The Design Revolution: Answering the Toughest Questions About Intelligent Design, The Design Revolution: Answering the Toughest Questions About Intelligent Design
Argumen teleologis mengasumsikan bahwa seseorang dapat menyimpulkan adanya perancangan cerdas hanya dengan eksaminasi, dan karena hidup adalah pengingat sesuatu yang manusia mungkin desain, ia juga pasti dirancang. Namun, mengingat "kepingan salju dan kristal garam tertentu", "tidak kita temukan kecerdasan". "Ada cara lain agar aturan dan desain bisa muncul" seperti "kekuatan fisik murni". [121]
Klaim perancangan dapat ditantang sebagai argumen dari analogi. Pendukung perancangan menunjukkan bahwa benda-benda alam dan benda buatan manusia mempunyai banyak sifat yang mirip, dan benda-benda buatan manusia memiliki desainer. Oleh karena itu, besar kemungkinan benda-benda alam pasti juga dirancang. Namun, pendukung harus menunjukkan bahwa semua bukti yang tersedia telah diperhitungkan.[122] Eric Ruse berpendapat bahwa, ketika berbicara tentang benda-benda familiar seperti jam, "kita memiliki dasar untuk membuat inferensi dari suatu objek ke desainernya". Namun, "alam semesta adalah unik dan kasus terisolasi" dan kita tidak punya apa-apa untuk membandingkannya, jadi, "kita tidak memiliki dasar untuk membuat kesimpulan seperti yang kita dapatkan dengan objek individual. ... Kita tidak memiliki dasar untuk menerapkan ke seluruh alam semesta apa yang dapat menahan unsur-unsur konstituen di alam semesta."[123]
Kebanyakan ahli biologi profesional mendukung sintesis evolusi modern, tidak hanya sebagai penjelasan alternatif untuk kompleksitas kehidupan tetapi juga penjelasan yang lebih baik dengan bukti yang lebih mendukung.[124] Organisme hidup tunduk kepada hukum fisik yang sama seperti benda mati. Setelah jangka waktu yang sangat lama struktur pereplikasi-diri muncul dan kemudian membentuk DNA.[125]
Nyaya, sekolah logika Hindu, memiliki versi argumen dari perancangan. P. G. Patil menulis bahwa, dalam pandangan ini, bukan dari kompleksitas dunia seseorang dapat menyimpulkan adanya pencipta, melainkan fakta bahwa "dunia ini terdiri dari bagian-bagian." Dalam konteks ini, Jiwa Supreme, Ishvara, yang menciptakan seluruh dunia.
Argumen ini dalam lima bagian:
Namun, sekolah Hindu lainnya, seperti Samkhya, menyangkal keberadaan Allah dapat dibuktikan karena pencipta demikian tidak akan pernah bisa ditangkap. Krishna Mohan Banerjee, dalam Dialogues on the Hindu Philosophy, punya pembicara Samkhya mengatakan, "keberadaan Tuhan tidak dapat ditetapkan karena tidak ada bukti. ... juga tidak bisa dibuktikan dengan Kesimpulan, karena Anda tidak bisa menunjukkan analog misalnya."[127]
Buddha menyangkal keberadaan tuhan pencipta, dan menolak silogisme Nyaya untuk argumen teleologis karena "secara logis cacat". Umat buddha berpendapat bahwa "'penciptaan' dunia tidak dapat ditunjukkan analog dengan penciptaan artefak manusia, seperti pot.[128]
Filsuf Jerman abad XVIII Christian Wolff pernah berpikir bahwa Konfusius adalah seorang manusia tak bertuhan, dan bahwa "Cina kuno tidak memiliki agama alamiah, karena mereka tidak tahu pencipta dunia". Namun, kemudian, Wolff berubah pikiran untuk batas tertentu. "Pada bacaan Wolff, perspektif agama Konfusius dengan demikian kurang lebih deistik lemah salah satu Cleanthes Hume".[129]
Tulisan-tulisan Tao dari abad VI SM filsuf Laozi, juga dikenal sebagai Lao Tzu, memiliki kesamaan dengan sains naturalis modern. B. Schwartz mencatat bahwa, dalam Taoisme, "proses alam tidak dipandu oleh kesadaran teleologis ... tao [dao] tidak sadar bertakdir.[130]
Seamless Wikipedia browsing. On steroids.
Every time you click a link to Wikipedia, Wiktionary or Wikiquote in your browser's search results, it will show the modern Wikiwand interface.
Wikiwand extension is a five stars, simple, with minimum permission required to keep your browsing private, safe and transparent.