Loading AI tools
pernyataan populer yang diungkapkan Friedrich Nietzsche, seorang filsuf Jerman Dari Wikipedia, ensiklopedia bebas
"Tuhan telah mati" (bahasa Jerman: Gott ist tot; juga dikenal sebagai kematian Tuhan) adalah pernyataan yang dibuat oleh filsuf Jerman Friedrich Nietzsche, yang telah dikutip secara luas. Nietzsche menggunakan ungkapan itu untuk menyatakan gagasannya bahwa Abad Pencerahan telah menghapuskan kemungkinan keberadaan Tuhan. Namun, terdapat para pendukung dari teologi kematian Tuhan yang menggunakan frasa ini dalam arti harfiah, yang berarti bahwa Tuhan, yang pernah ada pada suatu masa, telah mati.
Pernyataan ini diungkapkan oleh "seseorang yang gila" dalam karya Nietzsche sebagai berikut:
Tuhan telah mati. Tuhan tetap mati. Dan kita telah membunuhnya. Bagaimanakah kita, pembunuh dari semua pembunuh, menghibur diri kita sendiri? Yang paling suci dan paling perkasa dari semua yang pernah dimiliki dunia telah berdarah hingga mati di ujung pisau kita sendiri. Siapakah yang akan menyapukan darahnya dari kita? Dengan air apakah kita dapat menyucikan diri kita? Pesta-pesta penebusan apakah, permainan-permainan suci apakah yang perlu kita ciptakan? Bukankah kebesaran dari perbuatan ini terlalu besar bagi kita? Tidakkah seharusnya kita sendiri menjadi tuhan-tuhan semata-mata supaya layak akan hal itu [pembunuhan terhadap Tuhan]?
- Nietzsche, Sains yang Mengasyikkan, bagian 125
Ungkapan ini pertama kali muncul dalam karya Nietzsche tahun 1882, Sains yang Mengasyikkan (Die fröhliche Wissenschaft, juga diterjemahkan sebagai "Pengejaran Akan Pengetahuan yang Menyenangkan").[1] Namun, ungkapan ini paling terkenal dikaitkan dengan Maka Berbicaralah Zarathustra (Also sprach Zarathustra), karya Nietzsche yang membuat frasa ini menjadi populer. Filsuf terdahulu juga telah membahas konsep yang kurang lebih sama, seperti Philipp Mainländer dan Georg Wilhelm Friedrich Hegel.
Sebelum Nietzsche, frasa 'Dieu est mort!' dapat ditemukan dalam Puisi 1854 Gérard de Nerval "Le Christ aux oliviers" ("Kristus di pohon zaitun").[2] Puisi tersebut merupakan adaptasi dari sebuah syair dari visi mimpi yang muncul dalam novel Siebenkäs karya Jean Paul tahun 1797 dengan judul bab 'Kristus yang Mati Memproklamirkan Bahwa Tidak Ada Tuhan'.[3] Dalam pidato yang dia berikan pada tahun 1987 kepada American Academy of Arts and Sciences, sarjana sastra George Steiner mengklaim bahwa rumusan Nietzsche 'God is dead' terinsipirasi dari visi mimpi 'Dead Christ' dari Jean Paul, tetapi Steiner tidak memberikan bukti nyata bahwa Nietzsche pernah membaca Jean Paul.[4]
Frasa ini juga ditemukan dalam sebuah bagian yang diungkapkan oleh seorang narator dalam novel tahun 1862 karya Victor Hugo Les Misérables:[5][6]
"Tuhan sudah mati, mungkin," kata Gerard de Nerval suatu hari kepada penulis baris-baris ini, mengacaukan kemajuan dengan Tuhan, dan menghentikan gerakan kematian Wujud.
Wacana tentang "kematian Tuhan" dalam budaya Jerman muncul pada awal abad ke-17 dan awalnya mengacu pada teori penebusan dosa Lutheran. Ungkapan "Tuhan telah mati" muncul dalam himne "Ein Trauriger Grabgesang" ("Sebuah lagu sedih") oleh Johann von Rist. Sejarawan kontemporer berpendapat bahwa filsuf idealis Jerman abad ke-19, terutama yang terkait dengan Georg Wilhelm Friedrich Hegel, bertanggung jawab dalam menghilangkan resonansi khusus Kristen dari frasa yang berkaitan dengan kematian Yesus Kristus dan mengaitkannya dengan teori filosofis dan sosiologis sekuler.[7]
Meskipun pernyataan ini dikaitkan dengan Nietzsche, Hegel telah lebih dulu membahas konsep kematian Tuhan dalam karyanya, Phenomenology of Spirit. Dia menganggap kematian Tuhan sebagai "hal yang tidak berarti kecuali bagian yang mudah dikenali dari orang Kristen sebagai siklus penebusan".[8] Kemudian Hegel menulis tentang timbulnya rasa sakit yang luar biasa karena mengetahui bahwa Tuhan sudah mati: "Konsep murni, atau ketidakterbatasan, sebagai jurang kehampaan yang di dalamnya semua makhluk tenggelam, menunjukkan rasa sakit yang tak terbatas, yang sebelumnya hanya ada dalam budaya secara historis dan sebagai perasaan yang melandasi agama modern, perasaan bahwa Tuhan sendiri telah mati, (perasaan yang diungkapkan Pascal, meskipun hanya secara empiris, dalam perkataannya: Alam adalah sedemikian rupa sehingga menandai di mana-mana, baik di dalam maupun di luar manusia, suatu kehilangan Tuhan), murni sebagai fase, tetapi juga tidak lebih dari sekadar fase, dari ide tertinggi."[9]
Murid Hegel, Richard Rothe, dalam teks teologisnya tahun 1837 Die Anfänge der christlichen Kirche und ihrer Verfassung, tampaknya menjadi salah satu filsuf pertama yang mengaitkan gagasan tentang kematian Tuhan dengan teori sosiologis sekularisasi.[10]
Filsuf Jerman Max Stirner menulis pada tahun 1844 tentang kematian Tuhan dan tentang pembunuhan Tuhan oleh manusia selama Masa Pencerahan dalam bukunya The Ego and its Own.[11] Dalam literatur filosofis terdapat diskusi tentang kemungkinan pengaruh Max Stirner pada Nietzsche.
Sebelum Nietzsche, konsep ini dipopulerkan dalam bidang filsafat oleh filsuf Jerman Philipp Mainländer.[12]
Ketika membaca Mainländer itulah Nietzsche secara eksplisit menulis untuk menentang pandangan Schopenhauer.[13] Dalam kritik Mainländer sepanjang lebih dari 200 halaman terhadap metafisika Schopenhauer, ia menentang pandangan bahwa terdapat satu kesatuan kosmik di belakang dunia, dan bahwa terdapat banyak kehendak yang berjuang satu sama lain demi tujuan eksistensi. Menurutnya, interkoneksi dan gerakan kesatuan dunia, yang merupakan alasan yang membawa para filsuf ke panteisme, tidak dapat disangkal.[14] Mereka memang menuju pada kesatuan, tetapi ini mungkin tidak dengan mengorbankan kesatuan di dunia yang meruntuhkan realitas empiris dunia. Oleh karena itu dinyatakan mati.
Sekarang kita memiliki kekuasaan untuk memberikan nama terkenal terhadap apa yang kekuatan imajinasi, kekuatan fantasi yang paling berani, kekuatan hati yang tulus, kekuatan pemikiran abstrak betapapun mendalamnya, dan yang kekuatan semangat, tidak dapat mencapainyai: Tuhan. Tetapi kesatuan dasar ini adalah masa lalu; itu tidak lagi. Ia, dengan mengubah keberadaannya, telah menghancurkan dirinya sendiri secara total dan menyeluruh. Tuhan telah mati dan kematiannya adalah kehidupan dunia.[Note 1]
— Mainländer, Die Philosophie der Erlösung
Nietzsche menggunakan frasa "Tuhan sudah mati" untuk menunjukkan dampak dan konsekuensi Abad Pencerahan terhadap sentralitas konsep Tuhan dalam peradaban Eropa Barat, yang pada dasarnya bersifat Kristen sejak masa Kekaisaran Romawi. Abad Pencerahan telah memberikan kemenangan rasionalitas ilmiah terhadap wahyu yang suci; munculnya materialisme filosofis dan Naturalisme telah menghilangkan kepercayaan atau peran Tuhan dalam semua maksud dan tujuan urusan manusia dan nasib dunia.
Nietzsche menempatkan ungkapan "Tuhan sudah Mati" ke dalam mulut seseorang yang "gila" (the madman) dalam karyanya, Die fröhliche Wissenschaft (the Gay Science). Dia juga menggunakan ungkapan ini dalam suaranya sendiri pada bagian 108 dan 343 dari buku yang sama. Orang gila itu digambarkan berlari-lari di pasar dengan membawa lentera yang menyala di suatu pagi yang cerah sambil berseru-seru, "Aku mencari Tuhan! Aku mencari Tuhan!" Ia membangkitkan rasa geli pada beberapa orang. Namun tak seorangpun menanggapinya dengan serius. Dengan rasa frustrasi si orang gila itu menghantamkan lenteranya di tanah, sambil berteriak keras bahwa ia datang terlalu dini. Dia menganggap bahwa orang-orang belum dapat menyadari bahwa mereka telah membunuh Tuhan. Lalu ia pun berkata:
Sebelumnya dalam buku itu (bagian 108), Nietzsche menulis "Tuhan sudah mati; tetapi karena cara manusia, mungkin masih ada gua-gua selama ribuan tahun di mana bayang-bayang Tuhan masih akan kelihatan. Dan kita -- kita masih harus memusnahkan bayang-bayang-Nya pula."[17]
Si tokoh protagonis dalam Also Sprach Zarathustra juga mengucapkan kata-kata tersebut, dan berkomentar kepada dirinya sendiri setelah mengunjungi seorang pertapa yang, setiap harinya, menyanyikan nyanyian dan hidup untuk memuliakan tuhannya:
Tetapi ketika Zarathustra sendirian ia berbicara kepada dirinya sendiri: 'Mungkinkah itu? Si orang suci di hutan ini belum mendengar apa-apa tentang hal ini, bahwa Tuhan sudah mati!'[18]
Sampul majalah Time 8 April 1966 dan artikel yang menyertainya mengenai suatu gerakan dalam teologi Amerika yang muncul pada 1960-an, dikenal sebagai "kematian Tuhan". Gerakan Kematian Tuhan kadang-kadang secara teknis disebut sebagai "teotanatologi."
Tokoh penganjur utama teologi ini termasuk para teolog Gabriel Vahanian, Paul van Buren, William Hamilton dan Thomas J. J. Altizer, serta rabi Yahudi Richard Rubenstein.
Pada 1961 buku Vahanian The Death of God (Kematian Tuhan) diterbitkan. Vahanian berpendapat bahwa budaya sekuler yang modern telah kehilangan semua rasa tentang yang suci, tidak memiliki makna sakramental apapun, tidak mempunyai tujuan transendental ataupun rasa bahwa hidup manusia dipelihara oleh Tuhan. Ia menyimpulkan bahwa bagi pikiran modern, "Tuhan sudah mati", tetapi ia tidak memaksudkan bahwa Tuhan tidak ada lagi. Dalam visi Vahanian, manusia membutuhkan suatu budaya pasca-Kristen dan pasca-modern yang telah ditransformasikan, untuk menciptakan suatu pengalaman yang baru tentang yang ilahi.
Baik Van Buren maupun Hamilton sama-sama sepakat bahwa konsep transendensi telah kehilangan tempatnya yang bermakna dalam pikiran moden. Menurut norma-norma pemikiran modern kontemporer, Tuhan sudah mati. Dalam menanggapi keruntuhan transendensi ini, Van Buren dan Hamilton menawarkan masyarakat sekuler pilihan tentang Yesus sebagai manusia teladan yang bertindak di dalam cinta kasih. Perjumpaan dengan Kristus dari iman akan terbuka dalam sebuah komunitas gereja.
Altizer menawarkan sebuah teologi radikal tentang kematian Tuhan yang meminjam dari gagasan-gagasan William Blake, pemikiran Hegelian dan gagasan Nietzschean. Ia mengkonsepsikan teologi sebagai suatu bentuk puisi di mana imanensi (kehadiran) Tuhan dapat dijumpai dalam komunitas-komunitas iman. Namun, ia tidak lagi menerima kemungkinan untuk mengukuhkan keyakinan terhadap Tuhan yang transenden. Bagi Altizer, Tuhan telah menjelma di dalam Kristus dan telah memancarkan rohnya yang imanen yan tetap ada di dunia meskpun Yesus mati.
Rubenstein mewakili sisi radikal dari pemikiran Yahudi yang bergumul melalui dampak Holocaust. Dalam pengertian teknis ia mengatakan, berdasarkan Kabbalah, bahwa Tuhan telah "mati" dalam menciptakan dunia. Namun, bagi budaya Yahudi modern, ia berpendapat bahwa kematian Tuhan terjadi di Auschwitz. Dalma karya Rubenstein, kita tidak mungkin lagi percaya kepada Allah dari perjanjian Abrahamik. Ia merasa bahwa satu-satunya kemungkinan yang tersisa bagi orang Yahudi adalah menjadi orang kafir, atau menciptakan makna mereka sendiri.
Seamless Wikipedia browsing. On steroids.
Every time you click a link to Wikipedia, Wiktionary or Wikiquote in your browser's search results, it will show the modern Wikiwand interface.
Wikiwand extension is a five stars, simple, with minimum permission required to keep your browsing private, safe and transparent.