Semipelagianisme
From Wikipedia, the free encyclopedia
Semipelagianisme adalah suatu pemikiran teologis dan soteriologis Kristen mengenai keselamatan; sarana di mana manusia dan Allah dipulihkan kepada suatu hubungan yang benar. Pemikiran Semipelagianisme berlawanan dengan ajaran Pelagianisme sebelumnya, di mana manusia dipandang sebagai satu-satunya yang mempengaruhi keselamatan dirinya, yang telah ditolak dan dipandang sebagai bidaah. Semipelagianisme dalam bentuk aslinya dikembangkan sebagai suatu kompromi antara Pelagianisme dan ajaran para Bapa Gereja seperti Santo Agustinus, yang mengajarkan bahwa manusia tidak dapat datang kepada Allah tanpa anugerah atau rahmat dari Allah. Dalam pandangan Semipelagianisme, oleh karena itu perlu ada pembedaan antara tahapan awal iman dan perkembangan iman; di mana tahap paruh kedua — bertumbuh dalam iman — adalah karya Allah, sementara iman pada tahap awal adalah suatu tindakan berdasarkan kehendak bebas dan rahmat baru berperan setelahnya.[1]
Gereja Katolik mengutuk semipelagianisme, tetapi menegaskan bahwa sejak tahapan awal iman sudah melibatkan suatu tindakan dari kehendak bebas; di mana inisiatif datang dari Allah tetapi membutuhkan kerja sama dari manusia melalui kehendak bebasnya.[2]:2008 Setelah kejatuhan manusia ke dalam dosa, (kodrat) manusia tidak sehat lagi, melainkan lemah; ia mengalami sakit, tetapi tidak mati.[3] Oleh karena itulah, manusia harus bertindak, supaya dirinya dapat menerima keselamatan.[3] Akan tetapi, manusia memiliki kelemahan dan keterbatasan, sehingga manusia membutuhkan pertolongan dari luar yaitu anugerah Allah.[3] Meskipun demikian, manusia harus menghendakinya dan barang siapa menghendaki hal itu akan memperoleh keselamatan.[3] Keselamatan yang dimaksud di sini merupakan suatu hasil kerja sama antara Allah dan manusia.[3]
Istilah "Semipelagianisme", suatu istilah yang tercipta pada abad ke-16, telah digunakan sebagai sebuah tuduhan dalam perselisihan teologis atas keselamatan, rahmat ilahi, dan kehendak bebas. Para teolog juga menggunakannya secara retrospektif untuk merujuk pada rumusan aslinya, suatu penggunaan lama yang telah dianggap tidak pantas, ambigu dan tidak adil. Dalam konteks ini, sebuah istilah yang lebih akurat secara historis adalah Massilianisme - merujuk ke kota Marseilles - yang mana dikaitkan dengan beberapa pendukungnya.[4][5]