![cover image](https://wikiwandv2-19431.kxcdn.com/_next/image?url=https://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/thumb/a/a1/Women_at_work%252C_Gujarat_%2528cropped%2529.jpg/640px-Women_at_work%252C_Gujarat_%2528cropped%2529.jpg&w=640&q=50)
Perubahan iklim dan gender
From Wikipedia, the free encyclopedia
Perubahan iklim dan gender merupakan cara untuk menganalisis dampak perubahan iklim berdasarkan gender. Perubahan iklim beserta kebijakan dan strategi adaptasinya memengaruhi masyarakat secara berbeda-beda bergantung pada aspek ekonomi, budaya, dan konteks sosial.[1] Perempuan secara umum lebih rentan terhadap risiko perubahan iklim dan menanggung beban yang lebih berat dibandingkan laki-laki. Kerentanan tersebut antara lain disebabkan oleh proporsi perempuan yang lebih tinggi sebagai penduduk miskin dunia. Selain itu, mereka juga sangat tergantung pada sumber daya alam untuk mata pencaharian dan memenuhi peran sosial gender mereka.[2] Dari 1.3 miliar penduduk miskin di negara berkembang, sebanyak 70 persennya adalah perempuan.[3] Kemampuan mereka dalam mengelola dampak krisis iklim juga dibatasi oleh berbagai hambatan sosial, ekonomi, dan politik.[2] Para perempuan yang paling terdampak hidup di negara-negara berkembang yang memiliki kemampuan rendah dalam merespon krisis iklim. Negara berkembang umumnya memiliki keterbatasan sumber daya, infrastruktur, dan kapasitas untuk menangani krisis ini.[4]
![Thumb image](http://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/thumb/a/a1/Women_at_work%2C_Gujarat_%28cropped%29.jpg/640px-Women_at_work%2C_Gujarat_%28cropped%29.jpg)
Dampak jangka pendek perubahan iklim adalah bencana alam, antara lain banjir, tanah longsor, kekeringan, dan badai, sedangkan efek jangka panjangnya adalah kerusakan lingkungan secara bertahap[2], seperti peningkatan suhu dan presipitasi, kenaikan permukaan air laut, kelangkaan air bersih, dan kerusakan lingkungan lainnya.[5] Keduanya memengaruhi kehidupan laki-laki dan perempuan. Namun, bagi perempuan, kondisi ini diperparah dengan relasi kuasa, politik, dan sosial yang tidak seimbang yang seringkali memposisikan mereka sebagai objek kebijakan dan implementasinya.[1] Perempuan tidak memiliki akses yang setara terhadap sumber daya alam dan tidak dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan.[2] Akibatnya, menurut para pakar, minimnya akses, kontrol, dan partisipasi perempuan dalam kebijakan perubahan iklim berpotensi memperparah kesenjangan gender yang telah ada.[6] Penelitian oleh LSE pada 141 negara yang dilanda bencana alam pada 1981-2002 telah menemukan hubungan kuat antara bencana dan status sosial ekonomi perempuan. Bencana alam menyumbang terhadap penurunan angka harapan hidup perempuan dan memperlebar kesenjangan gender.[7] Melebarnya ketidaksetaraan gender ini akan meningkatkan kerentanan masyarakat dan negara.[8]
Fokus kebijakan krisis iklim ada pada upaya mitigasi dan adaptasi. Mitigasi berfokus pada upaya mengurangi dampak, misalnya dengan mengurangi emisi gas rumah kaca, sedangkan adaptasi adalah strategi mempersiapkan dampak-dampak yang akan terjadi.[9] Para ilmuwan meyakini bahwa pemahaman yang komprehensif mengenai kesenjangan gender dan pemecahannya menjadi salah satu prasyarat dalam merespon perubahan iklim. Seluruh aspek yang terkait dengan mitigasi, adaptasi, penyusunan kebijakan dan pengambilan keputusan harus berperspektif gender.[10] Organisasi internasional, seperti PBB, dan pemerintah berbagai negara telah memiliki kebijakan dan rencana aksi perubahan iklim yang mengarusutamakan gender. Persetujuan Paris, misalnya, menekankan pentingnya kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan dalam upaya mitigasi perubahan iklim. Di Indonesia, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Anak, misalnya, telah merilis pedoman umum adaptasi perubahan iklim yang responsif gender pada 2015.[11]
Krisis iklim mungkin tidak hanya berdampak pada perempuan dan laki-laki, tapi juga kelompok non biner. Gabungan dari berbagai macam diskriminasi bisa memperburuk kondisi masyarakat gender non-biner di tengah menghangatnya isu perubahan iklim. Sampai saat ini, studi yang mengkaji pengaruh perubahan iklim terhadap komunitas non-biner masih terbatas.[12] Isu gender dalam masalah iklim juga berkelindan dengan faktor-faktor sosial lain yang turut memengaruhi tingkat keparahan dampak, antara lain usia, kelas sosial, status perkawinan, dan kelompok etnik.[13]