Pertempuran Lima Hari adalah adalah bentrokan antara pasukan Jepang dari Tentara Keenambelas dan pasukan Indonesia yang terdiri dari personil Badan Keamanan Rakyat dan pemuda pada bulan Oktober 1945 di kota Semarang, Jawa Tengah. Pertempuran ini dianggap sebagai bentrokan besar pertama yang melibatkan militer Indonesia.
Dengan menyerahnya Jepang, pihak berwenang Indonesia berusaha untuk menyita senjata Jepang untuk mengantisipasi kembalinya Belanda. Ketegangan meningkat setelah garnisun Semarang menolak untuk menyerahkan senjata mereka, dan setelah sebuah insiden yang memicu pembantaian warga sipil Jepang, pertempuran pun pecah antara pasukan Jepang dan Indonesia.
- Pada 1 Maret 1942, tentara Jepang mendarat di Pulau Jawa, dan tujuh hari kemudian, tepatnya, 8 Maret, pemerintah kolonial Belanda menyerah tanpa syarat kepada Jepang. Sejak itu, Indonesia diduduki oleh Jepang
- Tiga tahun kemudian, Jepang menyerah tanpa syarat kepada sekutu setelah dijatuhkannya bom atom (oleh Amerika Serikat) di Hiroshima dan Nagasaki. Peristiwa itu terjadi pada 6 dan 9 Agustus 1945 Mengisi kekosongan tersebut, Indonesia kemudian memproklamasikan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945.
- Hal pertama yang menyulut kemarahan para pemuda Indonesia adalah ketika pemuda Indonesia memindahkan tawanan Jepang dari Cepiring ke Bulu, dan di tengah jalan mereka kabur dan bergabung dengan pasukan Kidō Butai dibawah pimpinan Jendral Nakamura dan Mayor Kido. Pada saat itu pasukan Kidō Butai berjumlah 2000 orang. Selain itu, pasukan ini terkenal karena keberaniannya, dan untuk maksud mencari perlindungan mereka bergabung bersama pasukan Kidō Butai di Jatingaleh.[3]
- Setelah kaburnya tawanan Jepang, pada Minggu, 14 Oktober 1945, pukul 6.30 WIB, pemuda-pemuda rumah sakit mendapat instruksi untuk mencegat dan memeriksa mobil Jepang yang lewat di depan RS Purusara. Mereka menyita sedan milik Kempetai dan merampas senjata mereka. Sore harinya, para pemuda ikut aktif mencari tentara Jepang dan kemudian menjebloskannya ke Penjara Bulu. Sekitar pukul 18.00 WIB, pasukan Jepang bersenjata lengkap melancarkan serangan mendadak sekaligus melucuti delapan anggota polisi istimewa yang waktu itu sedang menjaga sumber air minum bagi warga Kota Semarang Reservoir Siranda di Candilama. Kedelapan anggota Polisi Istimewa itu disiksa dan dibawa ke markas Kidō Butai di Jatingaleh. Sore itu tersiar kabar tentara Jepang menebarkan racun ke dalam reservoir itu. Rakyat pun menjadi gelisah. Cadangan air di Candi, desa Wungkal, waktu itu adalah satu-satunya sumber mata air di kota Semarang. Sebagai kepala RS Purusara (sekarang RSUP Dr. Kariadi) Dokter Kariadi berniat memastikan kabar tersebut. Selepas Magrib, ada telepon dari pimpinan Rumah Sakit Purusara, yang memberitahukan agar dr. Kariadi, Kepala Laboratorium Purusara segera memeriksa Reservoir Siranda karena berita Jepang menebarkan racun itu.[4] Dokter Kariadi kemudian dengan cepat memutuskan harus segera pergi ke sana. Suasana sangat berbahaya karena tentara Jepang telah melakukan serangan di beberapa tempat termasuk di jalan menuju ke Reservoir Siranda. Isteri dr. Kariadi, drg. Soenarti mencoba mencegah suaminya pergi mengingat keadaan yang sangat genting itu. Namun dr. Kariadi berpendapat lain, ia harus menyelidiki kebenaran desas-desus itu karena menyangkut nyawa ribuan warga Semarang. Akhirnya drg. Soenarti tidak bisa berbuat apa-apa. Ternyata dalam perjalanan menuju Reservoir Siranda itu, mobil yang ditumpangi dr. Kariadi dicegat tentara Jepang di Jalan Pandanaran. Bersama tentara pelajar yang menyopiri mobil yang ditumpanginya, dr. Kariadi ditembak secara keji. Ia sempat dibawa ke rumah sakit sekitar pukul 23.30 WIB. Ketika tiba di kamar bedah, keadaan dr. Kariadi sudah sangat gawat. Nyawa dokter muda itu tidak dapat diselamatkan. Ia gugur dalam usia 40 tahun satu bulan.[5]
- Pertempuran itu berhenti ketika Gubernur Jawa Tengah Wongsonegoro dan pimpinan TKR berunding dengan komandan tentara Jepang. Proses gencatan senjata dipercepat, ketika Brigadir Jendral Bethel dan sekutu ikut berunding pada tanggal 20 Oktober 1945. Pasukan sekutu kemudian melucuti senjata dan menawan para tentara Jepang.[6]
Peristiwa Lain
- Sebelum tanggal 20 Oktober, ada kejadian Gencatan Senjata antara kedua belah pihak, tetapi kendati demikian kejadian ini tidak memadamkan situasi, kejadian diperparah dengan pembunuhan sandera (lihat no. 2)
- Di Pedurungan, orang-orang Semarang, terutama dari Mranggen dan Genuk menjadi satu untuk memindahkan tawanan, yang menjadi sandera. Karena janji Jepang untuk mundur tidak dipenuhi maka 75 sandera itu dibunuh, sehingga perang berlanjut.
- Datangnya pemuda dari luar Kota Semarang untuk membantu menjadikan Jepang marah
- Radius 10 km dari Tugu Muda menjadi medan peperangan
Mengenai pertempuran lima hari di Semarang ini, ada beberapa tokoh yang terlibat adalah sbb:
- dr. Kariadi, dokter yang akan mengecek cadangan air minum di daerah Candi yang kabarnya telah diracuni oleh Jepang. Ia juga merupakan Kepala Laboratorium Dinas Pusat Purusara.
- Mr. Wongsonegoro, Gubernur Jawa Tengah yang sempat ditahan oleh Jepang.
- Dr. Sukaryo dan Sudanco Mirza Sidharta, tokoh Indonesia yang ditangkap oleh Jepang bersama Mr. Wongsonegoro.
- Mayor Kido (Pemimpin Kidō Butai), pimpinan Batalion Kidō Butai yang berpusat di Jatingaleh.
- drg. Soenarti, Istri dr. Kariadi
- Kasman Singodimejo, perwakilan perundingan gencatan senjata dari Indonesia.
- Jenderal Nakamura, perwira tinggi yang ditangkap oleh TKR di Magelang
Pihak Jepang
- Batalyon Kido
- Batalyon Yagi
- Kompi Sato
- Sipil yang dipersenjatai
Pihak Indonesia
- BKR Darat yang terdiri dari Resimen 21 dan Resimen 22
- BKR Laut dan BKR Udara
- Seksi Polisi Istimewa
- Laskar AMRI dan Laskar Pesindo[5]
Untuk memperingati Pertempuran 5 Hari di Semarang, dibangun Tugu Muda sebagai monumen peringatan. Tugu Muda ini dibangun pada tanggal 10 November 1950. Diresmikan oleh presiden Ir. Soekarno pada tanggal 20 Mei 1953 bertepatan dengan peringatan Hari Kebangkitan Nasional. Desain tugu dikerjakan oleh Salim, sedangkan relief pada tugu dikerjakan oleh seniman Hendro. Bangunan ini terletak di kawasan yang banyak merekam peristiwa penting selama lima hari pertempuran di Semarang, yaitu di pertemuan antara Jl. Pemuda, Jl. Imam Bonjol, Jl. Dr. Sutomo, dan Jl. Pandanaran dengan lawang sewu. Selain pembangunan Tugu Muda, Nama Dr. Kariadi diabadikan sebagai nama salah satu rumah sakit di Semarang.[7]