Loading AI tools
Dari Wikipedia, ensiklopedia bebas
Dr. H. Mochtar Naim, M.A. (25 Desember 1932 – 15 Agustus 2021 )[2][3] adalah antropolog dan sosiolog Indonesia. Ia pernah berkursi sebagai Anggota Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD-RI) periode 2004–2009 mewakili Sumatera Barat dan Anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR-RI) periode 1999–2004 dari Fraksi Utusan Daerah Sumatera Barat.[1]
Mochtar Naim | |
---|---|
Anggota Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia | |
Masa jabatan 1 Oktober 2004 – 1 Oktober 2009 | |
Daerah pemilihan | Sumatera Barat |
Mayoritas | 116.795[1] |
Anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia | |
Masa jabatan 1 Oktober 1999 – 1 Oktober 2004 | |
Grup parlemen | Utusan Daerah |
Informasi pribadi | |
Lahir | Sungai Penuh, Kerinci, Hindia Belanda | 25 Desember 1932
Meninggal | 15 Agustus 2021 88) Depok, Jawa Barat, Indonesia | (umur
Kebangsaan | Indonesia |
Suami/istri | Asma Naim |
Anak |
|
Orang tua |
|
Almamater | |
Pekerjaan | Antropolog, sosiolog |
Sunting kotak info • L • B |
Sebagai peneliti, Mochtar memandang budaya Nusantara dapat dibagi pada dua konsep aliran. Polarisasi budaya yang digambarkan Mochtar adalah konsep budaya yang bercirikan sentrifugal yang diwakili oleh budaya M (Minangkabau), berlawanan dengan konsep budaya sentripetal-sinkretis yang diwakili oleh budaya J (Jawa).[butuh rujukan]
Mochtar Naim lahir dalam keadaan sungsang.[4] Ia lahir sebagai anak ketiga dari empat bersaudara.[5] Ketika ia berusia lima tahun, ibunya Kamalat[5] meninggal saat melahirkan adiknya. Ayahnya Naim St. Rumah Tinggi yang merupakan seorang pedagang kecil,[5] pergi menikah kembali. Dalam masa kecilnya itu, Mochtar diasuh keluarga ibunya yang berasal dari Banuhampu, Agam, Sumatera Barat. Di nagari tersebut, Mochtar sekolah hingga merampungkan SLA-nya di Bukittinggi.
Mochtar Naim berasal dari keluarga yang berkecukupan saat zaman penjajahan Belanda. Ini diakuinya karena orang tuanya memiliki toko kecil di pasar Sungai Penuh dan ia memiliki pakaian yang bagus pada zamannya. Namun, saat Jepang menguasai Hindia Belanda, keadaan ekonomi keluarganya berubah drastis.[5]
Mochtar bekerja sejak kecil menggeluti pekerjaan orang dewasa untuk bertahan hidup di kampungnya di Bukittinggi jauh dari orang tua di Sungai Penuh. Sepulang dari sekolah rakyat (SR), ia diajari berdagang. Ia tak merasa malu bekerja karena teman-temannyapun juga melakukan hal yang sama.[5]
Mochtar terus menempuh pendidikan dengan tekun dan rajin. Ia mengaku sering datang ke sekolah dalam keadaan pakaian basah karena belum kering dijemur. Ia mengenyam pendidikan Sekolah Rakyat Bukittinggi sejak 1938 hingga 1946, Sekolah Menengah Tingkat Pertama Bukittinggi sejak 1946 hingga 1948, dan Sekolah Menengah Atas Bukittinggi sejak 1949 hingga 1951.[5]
Sejak kecil bahkan sebelum masuk sekolah, Mochtar sudah dibawa oleh neneknya ke surau. Ia akhirnya mampu memahami pengajian-pengajian di surau karena dibiasakan datang ke sana. Mochtar melihat bahwa orang surau adalah orang yang pandai berpidato. Menurutnya, surau adalah tempat berpolitik pada zaman kemerdekaan.[5]
Mochtar mengaku memiliki ketertarikan yang sangat tinggi terhadap pemberitaan di surat kabar. Ia harus pergi ke pasar Bukittinggi di bawah Jam Gadang untuk dapat membaca surat kabar. Ia juga mengaku mau mendengarkan berjam-jam pidato para politisi yang bersidang di DPRD dengan melihat di depan gedungnya atau mendengarkan melalui radio. Ia mengaku sudah mencoba menangkap permasalahan-permasalahan yang dibahas para politisi.[5]
Mochtar melanjutkan studi sarjananya ke tiga universitas sekaligus, Universitas Gadjah Mada, Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri (PTAIN, kini Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta), dan Universitas Islam Indonesia, yang kesemuanya di Yogyakarta. Ia berkuliah di Fakultas Hukum, Ekonomi, Sosial, dan Politik Universitas Gadjah Mada sejak 1950 hingga 1951. Lalu, ia berkuliah di PTAIN sejak 1952 hingga lulus tahun 1957. Ia juga berkuliah di Fakultas Ekonomi Universitas Islam Indonesia sejak 1952 hingga lulus tahun 1957.[5]
Kemudian, Mochtar melanjutkan studi magisternya di Universitas McGill, Montreal, Kanada dan meraih gelar Master of Arts (M.A.) tahun 1960. Ia sempat meneruskan studi doktoral ke Universitas New York hingga 1968 sambil bekerja paruh waktu sebagai Dosen Bahasa Indonesia di kampusnya sejak 1960 hingga 1964. Kemudian, ia bekerja sebagai Staf Lokal Perutusan Indonesia pada Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) sejak 1965 hingga 1968. Pada 1968, ia kembali ke Padang. Barulah pada 1971, ia menyelesaikan disertasi doktoralnya di Universitas Singapura yang kemudian dibukukan dengan judul Merantau: Pola Migrasi Suku Minangkabau.[5]
Mochtar tercatat sebagai pendiri Fakultas Sastra Universitas Andalas, 1980,[6] dan sejak itu ia menjadi dosen sosiologi universitas yang sama. Sebelum itu ia pernah duduk sebagai Direktur Pusat Latihan Penelitian Ilmu-ilmu Sosial Universitas Hasanuddin di Makassar, dan Direktur Center for Minangkabau Studies, Padang.
Ia meninggal dunia di Rumah Sakit Universitas Indonesia, Depok, Jawa Barat pada 15 Agustus 2021 dalam usia 88 tahun.[7]
Bab atau bagian ini tidak memiliki referensi atau sumber tepercaya sehingga isinya tidak bisa dipastikan. |
Dalam disertasinya di University of Singapore, Mochtar menulis disertasi yang berjudul Merantau: Minangkabau Voluntary Migration. Disertasinya itu disampaikan pula dalam International Congress of Orientalists di Canberra, Australia. Disertasinya yang kemudian dibukukan, menjadi bahan rujukan bagi pengamat Minangkabau dalam melihat pola hidup dan penyebaran masyarakat Minangkabau di seluruh dunia.
Selain menggunakan pendekatan dialektika (teori konflik) dalam melihat polarisasi budaya di Indonesia,[8] Mochtar juga melahirkan istilah "Minang-kiau". Istilah ini dipersepsikannya dari kebiasaan orang Minang yang suka merantau dan berdagang, seperti halnya orang Cina Perantauan (Hoa-kiau). Lebih jauh lagi Mochtar berpendapat bahwa di samping merantau dan berdagang, pola hidup masyarakat Minangkabau yang sangat menonjol adalah suka berpikir dan menelaah. Sehingga dari kebiasaan itu, Minangkabau banyak melahirkan para pemikir dan tokoh-tokoh yang berpengaruh. Melihat kecenderungan ini, maka Mochtar juga menyamakan masyarakat Minang sebagai "Yahudinya Indonesia".[9]
Seamless Wikipedia browsing. On steroids.
Every time you click a link to Wikipedia, Wiktionary or Wikiquote in your browser's search results, it will show the modern Wikiwand interface.
Wikiwand extension is a five stars, simple, with minimum permission required to keep your browsing private, safe and transparent.