Loading AI tools
pahlawan nasional Indonesia Dari Wikipedia, ensiklopedia bebas
Thomas Matulessy atau Thomas Matulessia, dikenal sebagai Kapitan Pattimura atau Pattimura (8 Juni 1783 – 16 Desember 1817 ), adalah Pahlawan Nasional Indonesia yang berasal dari Haria, Saparua, Maluku.[1][2][3]
Thomas Matulessy | |
---|---|
Julukan | Kapitan Pattimura |
Lahir | Hindia Belanda Haria, Saparua, Maluku Tengah | 8 Juni 1783
Meninggal | 16 Desember 1817 34) Hindia Belanda Victoria, Ambon, Kepulauan Maluku | (umur
Pengabdian | Perusahaan Hindia Timur Britania Raya |
Dinas/cabang | Angkatan Darat Britania Raya |
Pangkat | Sersan Mayor |
Perang/pertempuran | Perang Pattimura (1817) |
Penghargaan | Pahlawan Nasional Indonesia (diterima 6 November 1973) |
Menurut buku "Kisah Perjuangan Pattimura" yang ditulis oleh Mathijs Sapija, Pattimura tergolong keturunan bangsawan dari Nusa Ina.
Kapitan Pattimura lahir sebagai Thomas Matulessy pada 8 Juni 1783 di Saparua.[4][5] Leluhur keluarga Matulessy berasal dari Pulau Seram. Turun-temurun mereka berpindah Moyang Thomas Matulessy ke Titawaka (sekarang Negeri Itawaka). Di antara turunannya ada yang menetap di Negeri Itawaka, ada yang berpindah ke Negeri Ullath, dan ada yang berpindah ke Negeri Haria. Yang di Haria menurunkan ayah dari Yohannis dan Thomas. ayah dari Thomas Matulessy yang bernama Frans Matulessy lahir di Itawaka datang ke Negeri Haria belum menikah Ketika ayah dari Thomas Matulessy menetap di Negeri Haria Ayah dari Thomas Matulessy tersebut sudah tidak kembali lagi ke Itawaka dan menikah dengan Ibu dari Thomas yang bernama Fransina Silahooi yang berasal dari Siri Sori Serani.[6] Orang tua dari Thomas Matulessy bernama Frans Matulessy dan Fransina Silahooi, dan Thomas memiliki seorang kakak laki-laki bernama Yohannis Matulessy.[7] “Keluarga Matulessy beragama Kristen Protestan. Nama Yohannis dan Thomas diambil dari Alkitab,”.[8]
Thomas tidak menikah sedangkan Yohannis menurunkan keluarga Matulessy yang mendiami Negeri Haria. Zeth Matulessy, seorang pegawai pekerjaan umum Provinsi Maluku, menjadi Ahli waris Thomas dan Yohannis, yang memegang Surat pengangkatan Kapitan Pattimura sebagai Pahlawan Nasional. dia juga menyimpan Pakaian, Parang dan Salawaku milik Pattimura.[6]
Pada tahun 1810, Kepulauan Maluku diambil alih dari Pemerintah Belanda oleh Pemerintahan Inggris.[11] Pemerintah Inggris menjadi penguasa Tunggal di Kepulauan Maluku, Rakyat di atur dalam suasana Kebebasan. Pemerintah Inggris juga belajar atas kesalahan Pemerintah Belanda pada masa lalu, juga melihat kebijakan Pemerintah Belanda sebelumnya yang dianggap merugikan dan menyulut reaksi Rakyat untuk melawan. Dampak baru Pemerintahan Inggris di Kepulauan Maluku dinilai baik oleh semua kalangan. Rakyat tidak merasa adanya tekanan seperti yang dilakukan oleh Pemerintah Belanda sebelumnya. Hal itu dirasakan juga oleh Thomas Matulessy dan Teman-teman seperjuangannya di Kepulauan Lease, Maluku Tengah. Sesekali Thomas memanfaatkan kelonggaran peraturan Pemerintah Inggris itu untuk bekayuh ke Kota Ambon, mencari informasi sebanyak-banyaknya dari pusat pemerintahan Inggris di Maluku. Ketika Pemerintah Inggris mengumumkan penarikan Pemuda-Pemuda Maluku untuk menjadi bagian dari Kesatuan Militer Inggris, Thomas Matulessy dan teman-temannya segera mendaftar dan tak sedikitpun dari mereka ragu untuk menjadi bagian dari barisan Bangsa Asing tersebut.[12]
Alasan kuat yang membuat Thomas Matulessy memilih bergabung adalah tugas Tentara Rakyat yang dibentuk untuk menjaga wilayah kekuasaan Inggris dari pihak luar, atau secara tidak langsung juga turut menjaga Rakyat Maluku. Selain itu tidak sama seperti Belanda yang mengirim Tentara Rakyat ke Batavia, Pemerintah Inggris akan menempatkan mereka di Kota Ambon. Ada syarat-syarat tertentu agar dapat lolos seleksi Tentara Rakyat. Dua di antaranya adalah Tes Kesehatan dan Uji kemampuan Fisik. Setelah seluruh proses selesai dilakukan terpilihlah 500 orang, termasuk Thomas Matulessy, untuk bergabung dalam kesatuan Militer Inggris di Kota Ambon. Mereka dibayar cukup tinggi dan bertempat tinggal di Asrama Militer Angkatan Darat Britania Raya Kota Ambon.[12]
Tidak lupa para Perwiranya diberi Seragam yang baik. “Latihan berperang, pendaratan di berbagai pantai yang berombak, Berpasir Putih hingga Berkarang adalah latihan-latihan yang sungguh" dipersiapkan untuk Menangkis dan Menyerang Musuh.” Tentara Inggris cukup baik dalam melatih Para Perwira baru ini, Berbagai macam pelatihan menggunakan Senjata Api dipelajari selama berada di sana. Oleh karena perang yang masih terus berkecamuk antara Inggris dan Prancis dibantu Belanda, Pemerintahan Inggris di Maluku selalu dalam kondisi Siaga. Setelah dirasa siap, Matulessy dan Perwira lainnya disebar ke pulau-pulau di seluruh Negeri Maluku[12]
Selama pelatihan, Matulessy menunjukkan Keterampilan, Kecakapan, dan Kemampuan Memimpin melebihi teman-temannya yang lain. Ia pun cepat mendapat Promosi dan dipercaya menjadi Pemimpin bagi Angkatannya. Kurang lebih Matulessy berkarir di Militer Inggris selama Tujuh Tahun dan pada tanggal 19 Agustus 1816 karir Militer Thomas Matulessy berakhir. Pangkat terakhir yang diterima Thomas Matulessy adalah Sersan Mayor.[13] dari Jabatan Sersan Mayor inilah Thomas Matulessy mengubah Marganya yang pada awalnya bermarga matulessy menjadi Matulessia dengan alasan bahwa Marga Matulessy yang dipakai Thomas tidak sesuai dengan jabatan Sersan Mayor yang ia terima.
Inggris menduduki wilayah Hindia Belanda pada 1810-1811. Namun, kekalahan Inggris dalam perang melawan Prancis dan Belanda menyebabkan Inggris harus mengembalikan wilayah Hindia Belanda kepada Belanda melalui Konvensi London pada tahun 1814. Tetapi, realisasi baru terjadi pada tahun 1816. Bahkan di Maluku peralihan baru terjadi pada tahun 1817.[14]
Kekuasaan atas Maluku dipindahkan dari Gubernur Inggris, W. B. Martin kepada Komisaris Pemerintah Belanda, Nicolaas Engelhard dan J. A. van Middelkoop di Benteng Victoria pada 24 Maret 1817. Keduanya tiba di Ambon pada Februari 1817.
Tiga kapal Belanda melepas jangkar di Teluk Ambon. Kapal Evertsen dibawa Komando Kapten Laut N.H. Dietz yang meninggal 24 Maret 1817 sehingga digantikan Letnan Laut QRM Ver Huell. Kapal Nassau dibawa Komando Kapten Laut Sloterdijk dan Kapal Maria Reigersbergen dibawa Komando Letnan Laut Groot.
Perubahan penguasa ini berdampak pada perubahan kebijakan pada masa Inggris dan Belanda. Hal ini memicu ketidakpuasan di Maluku, terutama di kawasan Kepulauan Lease dan sekitarnya. Residen Honimoa (Saparua) dijabat Johannes Rudolph van den Berg sejak Maret 1817.[15]
Kemudian Belanda menetapkan kebijakan politik monopoli, pajak atas tanah (landrente), pemindahan penduduk serta pelayaran Hongi (Hongitochten), serta mengabaikan Traktat London I, antara lain dalam pasal 11 memuat ketentuan bahwa Residen Inggris di Ambon harus merundingkan dahulu pemindahan Korps Ambon dengan Gubenur dan dalam perjanjian tersebut juga dicantumkan dengan jelas bahwa
"Jika pemerintahan Inggris berakhir di Maluku, maka Para Serdadu-serdadu Ambon harus dibebaskan dalam artian berhak untuk memilih untuk memasuki Dinas Militer Pemerintah Baru atau keluar dari Dinas Militer, akan tetapi dalam pratiknya pemindahan Dinas Militer Ambon ini dipaksakan."[16]
Kedatangan kembali Kolonial Belanda pada tahun 25 Maret 1817 mendapat pertentangan keras dari Rakyat menolak tegas kedatangan Belanda Hal ini disebabkan karena kondisi Politik, Ekonomi, dan Hubungan Kemasyarakatan yang buruk selama dua abad. Hal ini yang membuat semua Negeri di Maluku marah, sehingga muncul istilah di kalangan Masyarakat Maluku, suatu peribahasa yang digunakan yaitu (Pantung) pada saat itu, sesuai cerita Orang Tua di Maluku.
Pantung itu berisi kalimat protes: "cengkeh cupa-cupa, beras gantang-gantang, orang laeng yang susah, orang laeng tarima gampang."
Itu merupakan sikap protes Masyarakat atas Monopoli buah Cengkeh & Pala yang sedang dilakukan Kompeni pada waktu itu. Pantung itu lahir dari keadaan bahwa karena hasil Cengkeh melimpah dan Kompeni datang ke Negeri-Negeri membuat hal-hal untuk "kasih sanang masyarakat" lalu mereka mengambil semua hasil (Cengkeh, red) dengan cuma-cuma atau dengan harga sangat murah. Hal ini menggelisahkan hati semua Penduduk sehingga memicu aksi perlawanan yang diinisiasi melalui pertemuan di Gunung Saniri Tepat di Bulan Mei 1817.
"Pattikakan atau Kapitan Sayyid Perintah" dari Louhata Amalatu (Siri-Sori Islam) pegang peranan mengatur strategi. Keadaan yang semakin panas, membuat Pattikakan bergegas mengumpumpulkan para Kapitan Patasiwa-Patalima di Gunung Saniri. Lewat surat kepada Para Kapitan, ia memberi seruan untuk berkumpul. Surat itu ditandai dengan Bulu Ayam berwarna Putih dan Hitam, yang artinya surat harus disebar baik Siang maupun Malam bagi siapapun yang menerimanya.
Semenjak saat itu Para Kapitano/Malesio yang berjumlah 99 mengirim Pasukan Kabaresinya masing-masing di mulai dari Negeri-Negeri yang ada di Pulau Saparua, Nusa laut, Banda Neira, Hatuhaha Amarima Lou Nusa, Haruku, Leitimur, Leihitu, Ambon dan sekitarnya. Sedangkan untuk wilayah Pulau Seram yang diberi mandat sebagai Koordinasi Pasukan saat itu adalah "salah satu" Moyang dari Negeri latu dan Hualoy yaitu Kapitan Ahmad lussy dari Nusa Ina menuju Pulau Saparua.[17]
Di Pulau Saparua inilah 99 Kapitano/Malesio berkumpul di Negeri Tuhaha "Beinusa Amalatu" tepatnya di Gunung Saniri yang berbatasan dengan Negeri Siri-Sori Islam/Sarane untuk "Bermusyawara" bersama2 dalam mengatur strategi penyerangan ke Benteng Duurstede. Satu-satunya Pemberontak dari Muslim yang membawa Pasukan untuk menyerang Bangsa Penjajah Belanda dari arah zasirah tenggara Honimua "Siri-Sori Islam hanyalah Sayyid Perintah (Tuan Pemimpin) atau memiliki nama asli adalah "Sarasa Sanaky Tepasiwa " dan telah dikisahkan Bahwa sang Pahlawan Legendaris ini, semasa hidupnya selalu menjadi Target untuk di cari oleh pihak Vereenigde Oostindische Compagnie, Sayyid Perintah selalu berpindah tempat dan bersembunyi di wilayah Benteng Ampatal Saillo, kemudian ke Hatumete dan ke puncak Elhau untuk mengatur strategis dalam penyerangan ke Benteng Duurstede.
Semua Kapitano/malesio Kabaresi berkumpul di Gunung Saniri Negeri Tuhaha karena wilayah tuhaha dan wilayah Siri-Sori Islam merupakan Wilayah yang luas dan sangat strategis dalam memantau secara langsung dari ketinggian pergerakan Kaum Penjajah Bangsa Belanda yang ada di Benteng Duurstede dan Sekitarnya.
Kemudian di wilayah Gunung Saniri ini juga susah untuk Belanda melakukan Patroli kearah Gunung, karena penuh dengan resiko, hampir semua Pos Pejuang tersebar di Hutan-Hutan Tuhaha, Siri-Sori Islam/Sarane, Itawaka, Ullath dan Ouw. sehingga Belanda harus berfikir Seribu kali dalam melakukan Patroli/Pengawasan saat itu. Kapitan Sayyid Perintah dari Louhata merupakan Otak dari Penyerangan itu. Dia merupakan Satu diantara Penggagas untuk mengumpulkan Para Kapitan menyerang Benteng Duurstede yang dijaga ketat ratusan Tentara Kompeni pada saat itu. Sebelum penyerangan itu dilakukan, Sayyid Perintah menjalankan sebuah ritual ibarat “Saimbara” guna mencari siapa Kapitan yang bakal memimpin Pasukan melakukan Invasi ke pertahanan Belanda. “Saimbara” itu dilakukan dengan menanam sebuah Tombak yang ujungnya terhunus mengarah keatas. Para kapitan yang berkumpul diminta untuk bisa berdiri di atas Tombak. Siapa yang mampu menaklukkan permintaan itu akan ditunjuk menjadi Pemimpin Pasukan.
Satu per satu Kapitan yang berkumpul kemudian mencoba menunjukan kebolehan Saimbara pun berlangsung. Tapi belum ada yang mampu memenuhi permintaan itu. Hingga salah satu kapitan dari Leawaka Amapatti Haria mampu melakukannya Kapitan itu ialah Thomas Matulessy. Kapitan itu naik ke ujung Tombak. Saat berdiri di ujung Tombak yang Terhunus itu, Kaki sang Kapitan berdarah karena tertikam ujung Tombak. Darah segar pun mengalir, setelah itu sang Kapitan turun dari Tombak dan disambut oleh Kapitan Sayyid Perintah.
Pada 7 Mei 1817 dalam rapat umum di Baileu Negeri Haria, Thomas Matulessy dikukuhkan dalam upacara adat sebagai Kapitan Besar.
"Yang memimpin rapat adalah Kapitan Aipassa. Namun ia tidak mau namanya disebut, sebab dalam kebiasaan waktu itu, bila nama seseorang dikenal, para lawan bisa menyusahkan bangsanya (soa/marga, red)".
Kapitan Aipassa dipercayakan memimpin rapat itu sebab lokasi itu adalah milik negeri Beinusa. Melalui rapat itu ditetapkan beberapa keputusan, antara lain: (a) semua kapitang besar harus memimpin rakyatnya untuk "angka parang lawang kompeni". (b) di mana ada kompeni di kerajaan-kerajaan kita, semua raja dan kapitang harus mengusir mereka, dan jangan bergaul dengan mereka, karena sudah "biking susah rakyat'. (c) ditunjuk Thomas Matulessy, sebagai Panglima Perang dan benteng Duurstede "musti dapa serang kamuka".
Pada 14 Mei 1817 Rakyat Maluku mengadakan pertemuan rahasia di Gunung Saniri untuk membahas rencana perlawanan terhadap Belanda. Dalam pertemuan tersebut, Rakyat memilih Thomas Matulessy sebagai Pemimpin Pergerakan dengan Gelar Kapitan Pattimura
Setelah dilantik, Pattimura kemudian memilih beberapa orang untuk membantunya berjuang melawan Belanda yaitu Anthone Rhebok, Philips Latumahina, Lucas Selano, Aron Lisapaly, Melchior Kesaulya, Sarassa Sanaki, Martha Christina Tiahahu, dan Paulus Tiahahu.[18]
Desas desus rencana perlawanan sebenarnya sudah sampai ke Residen di Saparua dan bahkan pemerintah Belanda di Kota Ambon juga sudah mendapat informasi, tetapi diacuhkan karena dianggap sebagai rumor.[19]
Namun, apa yang dianggap sekadar rumor ini mengagetkan Pemerintah Belanda di Kota Ambon ketika Gubernur van Middelkoop pada 17 Mei 1817 memperoleh sepucuk surat yang dikirim istri Residen Van den Berg, Johanna Christina Umbgrove tertanggal 13 Mei 1817, yang menginfokan, kalau suaminya akan ditangkap Penduduk di Haria atau Porto. Dia melarikan diri ke Benteng dan meminta bantuan segera dikirim dari Kota Ambon.
Ketika informasi ini sampai ke Pemerintah Belanda di Kota Ambon 17 Mei 1817, perlawanan Rakyat yang dipimpin Thomas Matulessy tertanggal 15 Mei-16 Mei 1817 telah berhasil merebut Benteng Duurstede dan membantai Residen Johannes Rudolph Van den Berg, istrinya, tiga anaknya, dan pengasuh mereka. Satu-satunya orang Belanda yang selamat adalah Putra Van den Berg yang berusia Lima Tahun, Jean Lubbert.
Residen Van den Berg, sempat meminta bantuan, tapi catatannya tidak sempat terkirim dan catatan ini ditemukan belakangan yang menyatakan,
“Sergeant komt spoedig cito met 12 man met scherp geladen, om mij te verlossen, alles is in oproer” Van den Berg.
Kurang lebih berarti, "Sersan segera datang dengan 12 orang Bersenjata tajam, untuk menyelamatkan saya, semuanya dalam kekacauan".[20]
Persoalan bermula, ketika Residen Van den Berg mengirim seorang penjaganya ke Negeri Porto untuk menangani Arumbai (kapal tradisional Maluku) yang penuh muatan palisade (pagar kayu). Tapi, penjaga itu ditangkap dan dianiaya. Seketika itu, Para Pejuang Maluku menuju Benteng Duurstede di Pulau Saparua.[21]
Penyerangan Pasukan Pattimura ke Benteng Duurstede ini menyebabkan Gubernur Maluku mengirimkan ekspedisi ke Saparua pada 17 Mei 1817 untuk meredam perlawanan Rakyat, dengan kekuatan cukup besar, yakni 112 Pelaut dan Marinir dari Kapal Evertsen dan Nassau dan 188 Prajurit Garnisun di bawah komando Mayor Pioner Beetjes.
Pada 17 Mei, Pasukan Beetjes mendarat di Saparua. Mengetahui hal tersebut, dengan segera Thomas Matulessy mengatur taktik dan strategi pertempuran. Pasukan Rakyat sekitar 1.000 orang diatur dalam pertahanan sepanjang pesisir mulai dari teluk Haria sampai ke teluk Saparua. Pattimura bersama pasukannya dan pada saat ekspedisi hampir mendekati Pulau Saparua pejuang Thomas Matulessy sudah menunggu di Tepi Pantai. Ekspedisi Beetjes yang membawa sekitar 300 Prajurit & Pelaut ini gagal total. Ada 159 Prajurit & Pelaut yang tewas dari pihak Belanda, termasuk Mayor Beetjes. Pasukan & Pelaut yang selamat kembali ke Kota Ambon dan sempat berlabuh di Negeri Suli dan Pulau Haruku. Peristiwa kemenangan Pasukan Thomas Matulessy ini telah mengobarkan semangat perlawanan Rakyat Maluku untuk melawan Belanda di hampir semua kepulauan rempah.[22]
Perlawanan Rakyat Maluku berikutnya meluas hingga ke Ambon dan ke Pulau-Pulau sekitarnya, yang berlangsung hingga beberapa bulan lamanya dan dikuasai oleh Rakyat yang dipimpin oleh Kapitan Pattimura, Anthone Rhebok, Paulus Tiahahu, Martha Christina Tiahahu, Philips Latumahina, Sayyid Perintah, dan Thomas Pattiwael.
Pada 20 Mei 1817 diadakan Rapat Raksasa di Haria untuk mengadakan pernyataan kebulatan tekad melanjutkan perjuangan melawan Belanda. Peringatan kebulatan tekad ini dikenal dengan nama Proklamasi Porto Haria yang berisi 14 pasal pernyataan dan ditandatangani oleh 21 Raja Patih dari pulau Saparua dan Nusalaut. Proklamasi ini membangkitkan semangat juang yang mendorong tumbuhnya Front-Front pertempuran di berbagai tempat bahkan sampai ke Maluku Utara.[24]
Pada tanggal 20 Mei 1817 Pattimura kemudian memilih beberapa orang untuk membantunya berjuang melawan Belanda yaitu Anthoni Rhebok, Philips Latimahina, Lucas Selano, Arong Lisapaly, Melchior Kesaulya, Sarassa Sanaki, Martha Christina Tiahahu, dan Paulus Tiahahu.[25]
Barulah 28 Mei 1817 “Proklamasi Haria” dan “Keberatan Hatawano” dibacakan tetapi sebelum dibacakan Melchior Kesaulya yang menandatangani “Proklamasi Haria” pada musyawarah besar di Baileu Haria tanggal 28 Mei 1817. Ia diangkat oleh Thomas Matulessy Kapitan Pattimura sebagai salah satu Komandan Pasukan Rakyat di Pulau Haruku untuk merebut benteng Belanda “Zeelandia” dibawah pimpinan Kapitan Lukas Selanno yang dibantu oleh Kapitan Lukas Lisapaly alias Kapitan Aron. Serta Proklamasi Haria disusun oleh Thomas Matulessy.[23][26]
1 Juni 1817 serangan berturut-turut yang dilancarkan oleh Pasukan Rakyat tidak berhasil karena Serdadu Belanda di Benteng Zeelandia semakin kuat dengan datangnya bantuan Militer dari Kota Ambon. Bala bantuan Serdadu Belanda terus berdatangan lengkap dengan Peralatan Perang, kemudian melakukan penyerangan ke Benteng Duurstede yang dikuasai Pasukan Pattimura. Karena terus dihujani Peluru dan Meriam, Benteng Duurstede akhirnya ditinggalkan Pasukan Pattimura dan kembali dikuasai Belanda. Dengan kedudukan Belanda yang semakin kuat.[27]
Pasukan Belanda mengalami kewalahan dalam menghadapi perlawanan Rakyat Pattimura hingga pada bulan Juli 1817 - September 1817, Belanda mendatangkan Pasukan Kompeni dari Ambon yang dipimpin oleh Kapten Lisnet. Pada bulan Oktober 1817, Pasukan Belanda mulai menyerang Rakyat Maluku secara besar-besaran hingga dapat memadamkan perlawanan Rakyat Maluku dan merebut kembali Benteng Duurstede.[28]
Selama berkuasa di Maluku, Pemerintah Belanda sempat dibuat repot selama Berbulan-bulan oleh kecerdikan Kapitan Pattimura yang pandai meramu strategi Perang. Kompeni itu bahkan hampir menyerah jika bala bantuan dari Batavia tidak datang dengan cepat. Bahkan Belanda akan memberikan Hadiah sebesar 1.000 Gulden kepada pihak yang berhasil menangkap Pattimura.[29]
Namun begitulah takdir, perjuangan Pattimura harus berakhir oleh pengkhianatan Rakyatnya sendiri, Raja Booi yang adalah Raja dari Negeri Booi, Saparua, Maluku Tengah, yang selama ini mati-matian dibelanya. Oleh karena itu Pemerintah Belanda sudah mendapatkan informasi tempat persembunyian Thomas Matulessy melalui Raja Booi.
Malam 11 November 1817, Thomas Matulessy dan Pasukannya sedang berdiam di sebuah Rumah di Hutan Booi. Tidak ada perbincangan apapun, mereka hanya diam termenung. Tiba-tiba terdengar keramaian dari luar dan Pintu terbuka oleh tendangan seseorang. Beberapa Tentara merangsek masuk, mengarahkan senjata ke semua orang. Seorang Opsir berteriak memberi perintah untuk menyerah, sambil mengarahkan Senjatanya ke dada Pattimura.
Kemudian masuk dan berteriak Raja Booi: “Thomas, menyerahlah engkau, Tidak ada gunanya melawan! Rumah ini sudah dikepung empat puluh serdadu yang siap menembak mati kalian.”
“Terkutuklah engkau, pengkhianat!” geram Pattimura, seraya digiring keluar dari Negeri Booi, sebelum diberangkatkan ke Kota Ambon.[30]
Tidak disebutkan apakah Raja Booi mendapat imbalan atas pengkhianatannya itu. Namun I.O. Nanulaitta dalam Kapitan Pattimura menyebut alasan Raja Booi menjual informasi kepada Belanda karena dendam setelah Pattimura menurunkan posisinya sebagai Pemimpin Rakyat.
Kabar penangkapan Pattimura tersiar ke seluruh pelosok Negeri dengan sangat cepat. Para pemimpin perang lain pun segera menjadi target perburuan. Sebagian memilih meletakkan senjata, namun sebagian lain memutuskan tetap berperang. Mereka tidak ingin nasibnya berakhir di Tiang Gantung, dan terus melanjutkan perjuangan Pattimura. Setiba di Ambon, Pattimura dan sejumlah Pejuang yang tertangkap dikurung di benteng Victoria. Selama di dalam penjara, mereka diinterogasi oleh Tentara Belanda. Namun Pattimura menutup rapat-rapat mulutnya sehingga tidak banyak informasi yang didapat Belanda.
Memasuki bulan Desember, Para Tahanan dihadapkan di depan Ambonsche Raad van Justitie (Dewan Pengadilan Kota Ambon). Setelah melalui beberapa Sidang, Vonis pun dijatuhkan. Kapitan Pattimura, Anthone Rhebok, Sayyid Perintah, Melchior Kesaulya dan Philip Latumahina mendapat hukuman paling berat sebagai Pemimpin Perang, yakni Hukuman Gantung. Sementara tahanan lainnya diasingkan ke Pulau Jawa. Pattimura dan Empat orang lainnya mengisi hari-hari terakhir menjelang ekseskusi dengan Renungan. “Suatu malam penuh ketegangan dan perjuangan batin, Pikiran Kelima Pemimpin itu melayang-layang ke sanak saudara. "Kebebasan yang mereka ingini menyebabkan korban besar yang harus mereka berikan, Tetapi sekarang kembali mereka akan ditindas oleh kaum Penjajah.”[30]
Tanggal 16 Desember 1817, tibalah Hari eksekusi. Pagi-pagi sekali, Lima orang Pemimpin itu telah diperintahkan untuk bersiap. Tidak terlihat kecemasan di wajah Pattimura dan kawan-kawan seperjuangnya itu karena sehari sebelumnya para Pemuka Agama datang mengunjungi mereka dan semalaman menemani di dalam sel sambil terus memanjatkan doa.
Di lapangan depan Benteng Victoria, di pesisir Hunitetu, Kota Ambon. Tiang Gantung telah disiapkan. Para Algojo pun telah berdiri di sampingnya, menunggu Korbannya tiba. Sejumlah besar Tentara Belanda dipersiapkan, baik di sekitar Lapangan eksekusi maupun Pantai untuk menghalau segala bentrokan yang mungkin terjadi. Rakyat Maluku pun telah berkumpul, berusaha melihat Para Pemimpin mereka untuk terakhir kalinya.[32]
Sekitar pukul tujuh Pagi, Pattimura dan para Terhukum lainnya tiba dengan tangan terikat dan penjagaan yang amat ketat. Setelah mereka ditempatkan di depan Tiang Gantungan, Pemerintah Belanda masih menawarkan kerja sama sekali lagi kepada Thomas Matulessy namun dijawab dengan suara lantang didepan Perwira-Perwira yang sedang menunggu eksekusi mereka.
" Beta akan mati tetapi akan bangkit Pattimura-Pattimura Muda yang akan meneruskan Beta punya perjuangan"[33]
yang diartikan ke dalam bahasa Indonesia "Pattimura - Pattimura tua boleh dihancur-kan, tetapi kelak Pattimura-Pattimura muda akan bangkit."
Seorang Petugas Pengadilan membacakan Putusan Vonis Hukuman Gantung Dewan Hakim Pengadilan Kota Ambon di hadapan seluruh Masyarakat Maluku yang hadir:
“… Mereka akan dihukum Gantung sampai mati, dilaksanakan oleh para Algojo. Kemudian mayat mereka akan dibawa keluar dan digantung agar daging mereka menjadi mangsa udara dan burung-burung, dan digantung agar tulang belulang mereka menjadi debu sehingga dengan demikian menjadi suatu pelajaran yang menakutkan bagi turun-temurun. Bahwa Thomas Matulessy untuk selama-lamanya akan digantung di dalam sebuah kurungan besi dan sekalipun telah menjadi debu, akan menimbulkan ketakutan karena perbuatannya.”[34]
Philips Latumahina menjadi yang pertama menaiki tiang gantung. Tali dipasangkan dan genderang dibunyikan. Namun sesaat kemudian ia terjatuh. Tali maut itu ternyata tidak mampu menahan beban Latumahina yang memang berbadan besar. Dengan susah payah, Algojo menyeretnya kembali ke depan Tiang Gantungan. Malang nasibnya, ia harus merasakan Tali Gantungan untuk kedua kalinya. Beberapa detik kemudian nyawa pun melayang.[35]
Setelah Latumahina, berturut-turut Anthone Rhebok dan Sayyid Perintah menaiki Tiang Gantung. Tidak perlu usaha dan waktu terlalu lama bagi algojo mengeksekusi keduanya. Setelah genderang dibunyikan, nyawa keduanya dengan cepat terlepas.
Selanjutnya dilanjutkan oleh Terpidana Hukuman Mati yang ke empat Melchior Kesaulya empat orang pejuang telah berpulang.
Kini tibalah Giliran Sang Panglima Tertinggi Maluku berhadapan dengan Tiang Gantungan. Dari atas tempat eksekusi ia bisa melihat puluhan musuh yang sangat ingin ia hancurkan sedang menontonya. Sementara di kejauhan ia menatap Rakyat Maluku yang hendak ia bebaskan, meski gagal.
Thomas Matulessy naik ke atas dengan langkap mantap. Saat algojo memasangkan tali di lehernya, sambil mengarahkan pandangannya ke arah Hakim-Hakim Belanda, Dengan suara tenang dan keras Thomas Matulessy mengucapkan kata-kata perpisahannya: “Slammat Tinggal Toewan-toewan!” Ini merupakan kata terakhir Thomas Matulessy.[30]
Philips Latumahina Letnan orang Borgor, salah satu dari keempat pahlawan dalam perang Pattimura di tahun 1817. Bersama Thomas Matulessy dan pasukan rakyat merebut benteng Duurstede pusat pertahanan Belanda di kota Saparua dan membantu Thomas dalam pertempuran melawan tentara Belanda di pantai Waisisil di Saparua. Philips juga ikut memimpin pertempuran-pertempuran di Saparua, Tiouw dan tempat-tempat pertempuran lainnya di Jasirah Hatawano dan Jasirah Tenggara (Ouw – Ullath).
Pahlawan yang adalah staf inti Thomas Matulessy Kapitan Pattimura ini juga bekas mantan pasukan “Korps Limaratus”. Ia tertangkap bersama Johanis Matulessy kakak Thomas Matulessy pada tanggal 13 Nopember 1817 oleh pasukan Letnan Veerman di Hutan Booi – Paperu. Mereka ditahan dan diangkut dengan kapal perang “Reygersbergen”. Pada tanggal 12 Desember 1817, Ambonsche Raad van Justitie (Pengadilan Belanda di Kota Ambon) menjatuhkan hukuman mati gantung atas diri Letnan Philips Latumahina. Vonis ini disahkan oleh Laksanaman Buyskes dengan Surat Keputusan tanggal 13 Desember 1817 Nomor 129.
Pada tanggal 16 Desember 1817 pagi hari, dengan disaksikan oleh para hakim, pasukan Alifuru dari Ternate dan Tidore serta rakyat kota Ambon, Philips Latumahina menjalani hukuman gantung. Philips yang pertama-tama naik tiang gantungan. Ketika algojo melaksanakan tugasnya, Philips jatuh terpelanting karena tali gantungannya putus, sebab badannya besar, gemuk dan kuat. Dengan sudah payah, dia diseret ke atas lagi kemudian dipasang lagi jerat yang baru maka beberapa saat kemudian pahlawan ini tewas[36]
Anthone Rhebok Kapten orang Borgor, salah satu dari keempat pahlawan dalam perang Pattimura pada tahun 1817 yang dipimpin oleh Thomas Matulessy Kapitan Pattimura. Anthone Rhebok bersama Thomas Matulessy dan pasukan rakyat merebut benteng Duurstede dan memimpin pertempuran melawan ekspedisi tentara Belanda di pantai Waisisil di Pulau Saparua. Anthone Rhebok juga diserahi tugas oleh Thomas Matulessy untuk mengatur pertahanan rakyat di Pulau Nusalaut dan merebut benteng Belanda yaitu Beverwijk di Sila Leinitu. Ia juga aktif di medan-medan pertempuran di Pulau Saparua dan sekitarnya.
Pahlawan dari staf inti Thomas Matulessy Kapitan Pattimura yang juga bekas mantan pasukan “Korps Limaratus” tentara cadangan Inggris itu tertangkap bersama Patih Negeri Tiouw Jacobus Pattiwael pada tanggal 13 November 1817. Mereka diangkut dengan kapal perang “Evertsen” ke Ambon. Di atas kapal dia bertemu dengan panglimanya Thomas Matulessy dan lain-lain tawanan. Anthone Rhebok mendapat hukuman mati gantung oleh Pengadilan Belanda Ambonsche Raad van Justitie. Laksamana Buyskes mengesahkan hukuman tersebut dengan Surat Keputusan tanggal 13 Desember 1817 Nomor 131. Akhirnya pada tanggal 16 Desember 1817 Anthone Rhebok menaiki tiang gantungan sebagai orang kedua bersama Thomas Matulessy di lapangan eksekusi di depan benteng Victoria di kota Ambon.[37]
Sayyid Perintah alias Pattikakang adalah raja pertama Negeri (Desa) Siri Sori Islam di Pulau Saparua dari marga Pattisahusiwa. Penulis-penulis Belanda menulis nama Sayyid juga sebagai Sayat (Sayat Perintah). Tokoh ini ikut berjuang menentang Belanda dalam perang Pattimura tahun 1817 bersama Sarasa Sanaki yaitu Patti Siri Sori Islam yanag diangkat Thomas Matulessy Kapitan Pattimura dan yang menandatangani “Proklamasi Haria”. Verheull menulis bahwa Sayyid Perintah dihukum mati gantung pada pagi hari tanggal 16 Desember 1817 bersama keempat pahlawan lainnya yaitu Anthone Rhebok Kapten Borgor, Philip Latumahina Letnan Borgor, Melchior Kesaulya alias Pattisaha dan Thomas Matulessy alias Pattimura.
Melchior Kesaulya yang namanya dieja sebagai Melojier Kesaulya alias Kapitan Pattisaha adalah raja Siri Sori yang diangkat Thomas Matulessy sebagai pembantuanya menggantikan raja Salomon Kesaulya yang berkhianat dan tewas dalam pertempuran di pantai Waisisil dengan Mayor Beetjes tanggal 20 Mei 1817. Melchior-lah yang menandatangani “Proklamasi Haria” pada musyawarah besar di Baileu Haria tanggal 28 Mei 1817. Ia diangkat oleh Thomas Matulessy Kapitan Pattimura sebagai salah satu komandan pasukan rakyat di Pulau Haruku untuk merebut benteng Belanda “Zeelandia” di bawah pimpinan Kapitan Lukas Selanno yang dibantu oleh Kapitan Lukas Lisapaly alias Kapitan Aron.
Ketiga kapitan ini pernah berdinas dalam kesatuan tentara Inggris yaitu Korps Limaratus di bawah pimpinan Sersan Mayor Thomas Matulessy. Pada akhir peperangan, Melchior tertangkap dan dibawa bersama para kapitan lain ke Ambon. Dia diputuskan mendapat hukuman mati gantung oleh Ambonsche Raad van Yustitie (Pengadilan Belanda di Ambon). Vonisnya disahkan Laksamana Buyskes dengan Surat Keputuan tanggal 13 Desember 1817 Nomor 132. Ia naik tiang gantungan pada pagi hari tanggal 16 Desember 1817 bersama Thomas Matulessy, Anthone Rhebok dan Philips Latumahina. Melchior Kesaulya merupakan orang ketika yang naik tiang gantuangan dan yang terakhir adalah pahlawan Thomas Matulessy
Pada tanggal 16 Desember 1817 pagi hari, dengan disaksikan oleh para hakim, pasukan dari Ternate dan Tidore serta rakyat kota Ambon, Philips Latumahina menjalani hukuman gantung. Philips yang pertama-tama naik tiang gantungan. Ketika algojo melaksanakan tugasnya, Philips jatuh terpelanting karena tali gantungannya putus, sebab badannya besar, gemuk dan kuat. Dengan sudah payah, dia diseret ke atas lagi kemudian dipasang lagi jerat yang baru maka beberapa saat kemudian pahlawan ini tewas.[38]
Berdasarkan keterangan beberapa orang yang bermaga Matulessy, setelah perang Pattimura, Belanda tidak menerima raja, patih, murid, pegawai, serdadu atau agen polisi, yang bermarga Matulessia. Matulessia merupakan perubahan dari Matatulalessi (mata: mati, tula: dengan, lessi: lebih). "Fam itu harus diganti, lalu ada keluarga yang berganti fam menjadi Matulessy atau Matualessy,"
Namun, ada yang tetap memakai Matulessia. Di Hulaliu, keluarga itu mengganti namanya menjadi Lesiputih artinya putih lebih yang mengandung makna orang putih yang menang. Pada 1920, atas rekes (surat permohonan) dari keluarga tersebut, Gubernur Jenderal Van Limburg Stirum, memutuskan mengizinkan keluarga Lesiputih memakai nama Matulessy lagi.[8]
Pada tahun 1954, Sapija, seorang perwira TNI, Tentara Nasional Indonesia (Tentara Nasional Indonesia), menerbitkan buku Sedjarah Perdjuangan Pattimura (Sejarah Pertempuran Pattimura). Ia meneliti silsilah Matulessy dan menemukan bahwa kakeknya bergelar Pattimura (patih: pangeran; murah: murah hati). Itulah sebabnya gelar leluhur ini juga menjadi milik cucunya. Atas otoritas Johannes Latuharhary, Sapija, dan sejarawan nasionalis lainnya, . Thomas Matulessy bergelar Kapitan Pattimura dikukuhkan sebagai pahlawan Nasional Republik Indonesia pada tahun 1973 melalui Keputusan Presiden nomor 87/TK, oleh Pemerintah Indonesia sebagai bentuk penghormatan kepadanya.[39][40]
Nama Pattimura kini diabadikan sebagai nama Universitas Pattimura, Kodam XV/Pattimura dan Bandar Udara Internasional Pattimura di Ambon.[41] Dan juga Kapal Perang Indonesia KRI Kapitan Patimura (371)[42] beserta di Gambar Mata Uang Republik Indonesia Rp1.000 Thomas Matulessy[43], Kapitan Pattimura Emisi 2000-2016. dan jalan, serta patung; ada juga jalan-jalan yang dinamai menurut namanya di seluruh indonesia. Di Wierden, Belanda, sebuah jalan di lingkungan Maluku dinamai Pattimura.[44]
Dalam salah satu tulisan dari A.Y. Patty pada Harian Mena Moeria (1924) yang berjudul "Hiduplah Gunung Frikadel" (Bld. Frikandel sama dengan perkedel). Ini dianggap sebagai penghinaan kepada Hindia Belanda, karena itu merupakan tempat rahasia di mana Thomas Matulessy dan pasukannya membantai tentara Belanda.
lokasi itu berada di bawah gunung Saniri, tepatnya di bagian belakang lokasi Kuburan Cina saat ini. Istilah Pirkadel, begitulah dikatakan dalam dialeg Tuhahanya, artinya perkedel. Jadi kita bisa membayangkan bagaimana peristiwa peperangan itu sendiri, dan mengapa tulisan A.Y. Patty menimbulkan kemarahan Belanda saat itu.[45]
Goenong Frekadel, 1898 Gunung/bukit Frekadel (vorkadel, porkadel) ini pertama kali ditulis dalam arsip Belanda pada tanggal 9 September 1815. Nama bukit ini disebut dalam sebuah laporan milik Letnan 2 Laut Jan Janszoon Boelen yang bertugas di kapal perang (fregat) Maria Reijsbergen. Jurnal ini berisi catatan harian dari tanggal 9 September 1815 – 10 Agustus 1819.
Nama gunung/bukit ini muncul lagi pada arsip tanggal 16 Maret 1829, berupa proses verbal atau interogasi terhadap para pelaku pemberontakan Saparua tahun 1829 yang dibuat oleh Asisten Residen Saparoea – Haruku, Johanes van der Ebb. Menurut isi laporan itu, gunung ini dijadikan tempat pertemuan merancang pemberontakan., Johannes van der Ebb menulis namanya Goenong Frekadel.
Nama gunung/bukit ini muncul lagi pada arsip tanggal 25 September 1829, yang garis besarnya tentang proses verbal para pelaku pemberontakan. Prof. Karl Martin, seorang ahli geologi mendeskripsikan gunung/bukit Frekadel sbg berikut : Pada bagian “tengah” negeri Saparua, di sebelah timur gunung/bukit Rila, terdapat sebuah gunung/bukit yang bernama Frekadel, tingginya lebih kurang 130 Meter. Di sebelah barat daya dari bukit ini, terdapat gunung/bukit Kayu Putih Besar (Kajuputi besar), tingginya lebih kurang 180 Meter. “Kaki” gunung/bukit ini akan berakhir pada lokasi Benteng Duurstede dan Tanjung Torano yang berlokasi di dekat pantai.
Bukit/gunung Kayu Putih Besar inilah yang sekarang dikenal sebagai Gunung Saniri.[46]
Identitas Kapitan Pattimura sudah berulang kali ditentang oleh sebagian kalangan dengan menyatakan bahwa nama aslinya adalah Ahmad Lussy. Klaim ini pertama sekali mencuat ke publik oleh publikasi Ahmad Mansur Suryanegara. Namun, tidak ada dokumen primer yang memuat nama Ahmad Lussy.[47] Menurut sejarawan dari Universitas Pattimura, Jhon Pattiasina, Thomas Matulessy dan Ahmad Lussy adalah dua orang yang berbeda. Thomas Matulessy berasal dari Saparua, tempat Pemberontakan Pattimura berlangsung pada 1817. Sedangkan, Ahmad Lussy berasal dari Hualoy, Amalatu, Seram Bagian Barat. Ahmad Lussy bertugas memimpin pasukan dari Hualoy menuju Saparua untuk bergabung dalam Pemberontakan Pattimura.[48]
Seamless Wikipedia browsing. On steroids.
Every time you click a link to Wikipedia, Wiktionary or Wikiquote in your browser's search results, it will show the modern Wikiwand interface.
Wikiwand extension is a five stars, simple, with minimum permission required to keep your browsing private, safe and transparent.