Hak LGBT di Indonesia
From Wikipedia, the free encyclopedia
Kelompok lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT) di Indonesia menghadapi tantangan hukum dan prasangka yang tidak dialami oleh warga non-LGBT. Adat istiadat tradisional tidak menyetujui homoseksualitas dan berlintas-busana, yang berdampak pada kebijakan publik. Misalnya, pasangan sesama jenis di Indonesia, atau rumah tangga yang dikepalai oleh pasangan sesama jenis, dianggap tidak memenuhi syarat untuk mendapatkan perlindungan hukum yang lazim diberikan kepada pasangan lawan jenis yang menikah. Secara khusus, Indonesia tidak memiliki hukum sodomi[lower-alpha 1] dan saat ini tidak mengkriminalisasi perilaku homoseksual pribadi dan nonkomersial di kalangan orang dewasa.
Penyuntingan Artikel oleh pengguna baru atau anonim untuk saat ini tidak diizinkan. Lihat kebijakan pelindungan dan log pelindungan untuk informasi selengkapnya. Jika Anda tidak dapat menyunting Artikel ini dan Anda ingin melakukannya, Anda dapat memohon permintaan penyuntingan, diskusikan perubahan yang ingin dilakukan di halaman pembicaraan, memohon untuk melepaskan pelindungan, masuk, atau buatlah sebuah akun. |
Hak LGBT di Indonesia | |
---|---|
Aktivitas sesama jenis legal? | ilegal secara de facto, ilegal di provinsi Aceh [1][2] |
Hukuman: | "perbuatan cabul ilegal" |
Transeksual | Transgender boleh mengubah jenis kelamin dengan syarat tertentu |
Pengakuan pasangan sesama jenis | Tidak diakui |
Adopsi anak oleh pasangan sesama jenis | Tidak |
Karier militer | Tidak |
Perlindungan dari diskriminasi | Terbatas (Hanya untuk ujaran kebencian)[3] |
Hukum di Indonesia tidak secara spesifik melindungi komunitas LGBT terhadap diskriminasi dan kejahatan kebencian. Di Aceh, homoseksualitas merupakan sesuatu yang ilegal di bawah hukum syariat Islam, dan diancam dengan hukuman cambuk atau penjara. Saat ini, Indonesia tidak mengakui pernikahan sesama jenis. Pada Juli 2015, Menteri Agama, Lukman Hakim Saifuddin, menyatakan bahwa hal itu (red: pernikahan sesama jenis) sulit diterima di Indonesia, karena norma-norma agama yang menentang hal tersebut.[6] Pentingnya harmoni sosial di Indonesia menyebabkan penekanan kepada kewajiban (yang berlebihan) daripada hak, yang berarti bahwa hak asasi manusia bersama dengan hak-hak LGBT tergolong amat rapuh.[7] Namun, komunitas LGBT di Indonesia perlahan-lahan menjadi lebih terlihat dan aktif secara politik.
Orang-orang LGBT jarang melela ke keluarga dan teman-teman mereka karena mereka takut akan penolakan dan reaksi sosial. Namun demikian, walaupun terbilang langka, ada beberapa keluarga yang memahami dan menerima anggota keluarga mereka yang ternyata adalah orang LGBT.[8]
Berlainan dengan reputasi Indonesia sebagai negara dengan kelompok muslim yang moderat, dalam beberapa tahun terakhir, kelompok muslim yang fundamentalis dan radikal telah memperoleh lebih banyak dukungan. Akibatnya, orang-orang LGBT dan nonmuslim telah menghadapi intoleransi yang terus tumbuh, termasuk adanya serangan dan diskriminasi.[9] Di Surabaya, gay menjadi target razia oleh Satpol PP sejak tahun 2014.[10][11] Pada awal tahun 2016, orang-orang dan aktivis LGBT di Indonesia menghadapi perlawanan sengit; serangan homofobia dan ujaran kebencian, bahkan ujaran kebencian yang dikeluarkan oleh Pemerintah Indonesia.[12] Pada Februari 2016, Human Rights Watch mendesak Pemerintah Indonesia untuk membela hak-hak orang-orang LGBT dan secara terbuka mengutuk komentar-komentar pejabat yang dianggap diskriminatif.[13] Pada 2017, dua pria gay muda (usia 20 dan 23 tahun) dijatuhi hukuman, yakni dicambuk di muka umum di Aceh.[14][15] Pada 2017, polisi melancarkan beberapa serangan terhadap sebuah sauna gay dengan dalih pelanggaran UU Pornografi. Pada Mei 2017, 141 orang ditangkap untuk "pesta seks gay" di ibu kota Jakarta.[16] Serangan lain terjadi pada Oktober 2017, ketika kepolisian menggerebek sebuah sauna di Jakarta Pusat yang populer dengan komunitas gay, dan menangkap 51 orang. Interpretasi UU Pornografi yang terlalu luas, ditambah dengan kelambanan Pemerintah, telah menjadi senjata bagi polisi untuk menggunakannya dalam menargetkan orang-orang LGBT.[17] Pasangan lesbian, ditangkap karena pose tidak wajar di sosial media, menyatakan diperlakukan tidak menyenangkan oleh Satpol PP.[18] Pada Maret 2019, Rektor Universitas Sumatera Utara (USU), Prof. Runtung Sitepu, memberhentikan semua Pengurus Suara USU 2019.[19] Hal itu dikarenakan Suara USU menerbitkan cerpen tentang lesbian, mereka juga sempat diancam akan dituntut berdasarkan UU ITE.[20] Pada April 2019 di Kota Pontianak pada saat merayakan Hari Tari Sedunia di Taman Digulis, acara dibubarkan oleh ormas setempat karena mereka mengira acara itu merupakan pertunjukan dari kaum LGBT. Setelah dimintai pernyataan, semua yang terlibat dipulangkan, akan tetapi tarian semacam itu tidak boleh dimainkan lagi di Kota Pontianak.[21] Film Kucumbu Tubuh Indahku, walaupun telah dinyatakan lulus sensor oleh Lembaga Sensor Film dan dinyatakan layak untuk tampil di seluruh Indonesia,[22] tetap mendapat beberapa penolakan di Depok dan Kalimantan Barat, dengan alasan ingin menjaga masyarakat dari penyimpangan seksual.[23] Seorang polisi di Kota Semarang dipecat karena orientasi seksualnya.[24][25][26]