Hak-hak reproduktif
From Wikipedia, the free encyclopedia
Hak-hak reproduktif adalah hak dan kebebasan terkait dengan aspek reproduksi dan kesehatan reproduksi yang bervariasi di berbagai belahan dunia.[1] Organisasi Kesehatan Dunia mendefinisikan hak-hak reproduktif sebagai berikut:
Hak-hak reproduktif ditopang oleh pengakuan hak dasar semua pasangan dan individu untuk menentukan secara bebas dan bertanggung jawab jumlah, jarak dan pemilihan waktu untuk anak mereka dan untuk dapat memperoleh informasi dan cara untuk melakukannya, dan hak untuk mencapai standar kesehatan seksual dan reproduktif tertinggi. Hak-hak ini juga termasuk hak semua orang untuk membuat keputusan mengenai reproduksi tanpa diskriminasi, paksaan dan kekerasan.[2]
Hak |
---|
Perbedaan teoretis |
|
Hak asasi manusia |
Berdasarkan penerima |
Kelompok hak lainnya |
Hak-hak reproduktif perempuan dapat mencakup beberapa atau semua hak berikut: hak untuk melakukan aborsi secara aman dan sesuai dengan jalur hukum; hak untuk melakukan pengaturan kelahiran; kebebasan dari sterilisasi paksa; hak untuk mendapat kesehatan reproduktif yang berkualitas baik; dan hak pendidikan dan akses agar dapat membuat pilihan reproduktif yang bebas dan berpengetahuan.[3] Hak-hak reproduktif juga dapat mencakup hak untuk memperoleh pendidikan mengenai penyakit menular seksual dan aspek-aspek seksualitas lainnya, serta perlindungan dari praktik yang berbahaya seperti khitan pada perempuan.[1][3][4][5]
Hak-hak reproduktif mulai berkembang sebagai hak asasi manusia di Konferensi Internasional mengenai Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tahun 1968.[4] Proklamasi Tehran yang dihasilkan dari konferensi tersebut merupakan dokumen internasional pertama yang mengakui salah satu dari hak-hak tersebut dengan menyatakan bahwa "orang tua memiliki hak asasi manusia untuk menentukan secara bebas dan bertanggung jawab atas jumlah dan jarak antara anak-anak mereka."[4][6] Namun, proses perumusan hak-hak tersebut di dalam perjanjian internasional yang mengikat secara hukum berlangsung lamban. Maka dari itu, beberapa hak sudah diakui sebagai bagian dari hukum internasional yang mengikat, tetapi hak-hak lain hanya terbatas di rekomendasi-rekomendasi yang tidak mengikat, sehingga hanya berstatus sebagai soft law dalam hukum internasional. Bahkan masih ada hak yang belum diterima oleh seluruh komunitas internasional dan hanya terbatas pada aktivis-aktivis HAM.[7] Maka isu mengenai hak-hak reproduktif adalah salah satu isu HAM yang paling diperdebatkan di dunia akibat perbedaan agama dan budaya.[8]