Loading AI tools
artikel daftar Wikimedia Dari Wikipedia, ensiklopedia bebas
Deklarasi Balfour adalah pernyataan publik yang dikeluarkan oleh Pemerintah Inggris pada tahun 1917 selama Perang Dunia I, yang mengumumkan dukungannya terhadap pendirian "rumah nasional bagi bangsa Yahudi" di Palestina yang saat itu, merupakan wilayah Utsmaniyah dengan populasi Yahudi minoritas. Deklarasi tersebut dimuat dalam sebuah surat tertanggal 2 November 1917 dari Menteri Luar Negeri Inggris Arthur Balfour kepada Lord Rothschild, seorang pemimpin komunitas Yahudi Inggris, untuk disampaikan kepada Federasi Zionis Britania Raya dan Irlandia. Teks deklarasi tersebut dipublikasikan di media pada tanggal 9 November 1917.
Deklarasi Balfour | |
---|---|
Dibuat | 2 November 1917 |
Lokasi | British Library |
Penulis | Walter Rothschild, Arthur Balfour, Leo Amery, Lord Milner |
Penandatangan | Arthur James Balfour |
Tujuan | Mengukuhkan dukungan dari Pemerintah Inggris untuk pendirian "kediaman nasional" bagi bangsa Yahudi di Palestina, dengan dua syarat |
Segera setelah deklarasi perang terhadap Kekaisaran Ottoman pada bulan November 1914, Kabinet Perang Inggris mulai mempertimbangkan masa depan Palestina; dalam waktu dua bulan, sebuah memorandum diedarkan ke Kabinet oleh anggota Kabinet Zionis, Herbert Samuel, yang mengusulkan dukungan terhadap ambisi Zionis untuk mendapatkan dukungan dari orang-orang Yahudi dalam perang yang lebih luas. Sebuah komite dibentuk pada bulan April 1915 oleh Perdana Menteri Inggris H.H. Asquith untuk menentukan kebijakan mereka terhadap Kekaisaran Ottoman, termasuk Palestina. Asquith, yang mendukung reformasi pasca-perang Kekaisaran Ottoman, mengundurkan diri pada bulan Desember 1916; penggantinya, David Lloyd George, lebih memilih untuk memisahkan diri dari Kekaisaran. Negosiasi pertama antara Inggris dan Zionis terjadi pada sebuah konferensi pada 7 Februari 1917 yang dihadiri oleh Sir Mark Sykes dan para pemimpin Zionis. Diskusi-diskusi selanjutnya berujung pada permintaan Balfour, pada 19 Juni, agar Rothschild dan Chaim Weizmann menyerahkan rancangan deklarasi publik. Rancangan lebih lanjut dibahas oleh Kabinet Inggris selama bulan September dan Oktober, dengan masukan dari orang-orang Yahudi Zionis dan anti-Zionis tetapi tanpa perwakilan dari penduduk lokal di Palestina.
Pada akhir 1917, menjelang Deklarasi Balfour, perang yang lebih luas telah mencapai jalan buntu, dengan dua sekutu Inggris yang belum sepenuhnya terlibat: Amerika Serikat belum menderita korban, dan Rusia berada di tengah-tengah revolusi dengan kaum Bolshevik yang mengambil alih pemerintahan. Kebuntuan di Palestina selatan dipecahkan oleh Pertempuran Beersheba pada tanggal 31 Oktober 1917. Perilisan deklarasi akhir disahkan pada 31 Oktober; diskusi Kabinet sebelumnya telah merujuk pada manfaat propaganda yang dirasakan di antara komunitas Yahudi di seluruh dunia untuk upaya perang Sekutu.
Kata-kata pembuka dari deklarasi tersebut merupakan ekspresi publik pertama yang menunjukkan dukungan terhadap Zionisme oleh sebuah kekuatan politik besar. Istilah "rumah nasional" tidak memiliki preseden dalam hukum internasional, dan secara sengaja dibuat samar-samar mengenai apakah yang dimaksud dengan negara Yahudi. Batas-batas Palestina yang dimaksud tidak dijelaskan, dan pemerintah Inggris kemudian menegaskan bahwa kata-kata "di Palestina" berarti bahwa rumah nasional Yahudi tidak dimaksudkan untuk mencakup seluruh wilayah Palestina. Paruh kedua dari deklarasi tersebut ditambahkan untuk memuaskan para penentang kebijakan tersebut, yang telah mengklaim bahwa hal itu akan merugikan posisi penduduk lokal Palestina dan mendorong antisemitisme di seluruh dunia dengan "mencap orang Yahudi sebagai orang asing di tanah air mereka". Deklarasi tersebut menyerukan perlindungan hak-hak sipil dan agama bagi orang-orang Arab Palestina, yang merupakan mayoritas penduduk setempat, dan juga hak-hak dan status politik komunitas Yahudi di negara-negara lain di luar Palestina. Pemerintah Inggris mengakui pada tahun 1939 bahwa keinginan dan kepentingan penduduk setempat seharusnya diperhitungkan, dan pada tahun 2017 mengakui bahwa deklarasi tersebut seharusnya menyerukan perlindungan terhadap hak-hak politik warga Arab Palestina.
Deklarasi tersebut memiliki banyak konsekuensi jangka panjang. Deklarasi ini sangat meningkatkan dukungan populer untuk Zionisme dalam komunitas Yahudi di seluruh dunia, dan menjadi komponen inti dari Mandat Inggris untuk Palestina, dokumen pendirian Mandat Palestina. Hal ini secara tidak langsung menyebabkan munculnya Israel dan dianggap sebagai penyebab utama konflik Israel-Palestina yang sedang berlangsung, yang sering digambarkan sebagai konflik yang paling sulit diselesaikan di dunia. Kontroversi masih terjadi di sejumlah bidang, seperti apakah deklarasi tersebut bertentangan dengan janji-janji sebelumnya yang dibuat oleh Inggris kepada Sharif dari Mekkah dalam korespondensi McMahon-Hussein.
Dukungan politik yang mula-mula diberikan pemerintah Inggris terhadap pertambahan jumlah pemukim Yahudi di Palestina didasarkan atas beberapa kalkulasi geopolitik.[1][lower-roman 1] Dukungan awal ini dipelopori Lord Palmerston, dan pertama kali disuarakan pada tahun-tahun permulaan era 1840-an,[3] sesudah pemerintahan Suriah dan Palestina diserobot Muhammad Ali Pasya, Gubernur Mesir yang ingin lepas dari Kesultanan Utsmaniyah.[4][5] Prancis kian meluaskan pengaruhnya di Palestina maupun negeri-negeri lain di Timur Tengah, dan perannya selaku pelindung komunitas-komunitas Kristen Katolik mulai menguat, sementara Rusia sudah disegani sebagai pelindung komunitas-komunitas Kristen Ortodoks Timur di kawasan yang sama. Situasi seperti ini membuat Inggris tidak punya ruang lingkup pengaruh di Timur Tengah,[4] dan oleh karena itu perlu menemukan atau menciptakan suatu kaum yang dapat mereka "ayomi" di kawasan itu.[6] Pertimbangan-pertimbangan politik tersebut didukung oleh sentimen Kristen Injili yang bersimpati terhadap "kepulangan orang Yahudi" ke Palestina, yakni sentimen yang diusung anasir-anasir kalangan elit politik Inggris pada pertengahan abad ke-19, teristimewa Lord Shaftesbury.[lower-roman 2] Kementerian Luar Negeri Inggris secara aktif mendorong orang Yahudi untuk beremigrasi ke Palestina, misalnya melalui imbauan-imbauan Charles Henry Churchill, yang disampaikan lewat surat dalam rentang waktu 1841-1842, kepada Moses Montefiore, pemimpin komunitas Yahudi Inggris.[8][lower-alpha 1]
Ikhtiar-ikhtiar semacam ini bersifat pradini,[8] dan tidak membuahkan hasil.[lower-roman 3] Hanya 24.000 orang Yahudi yang bermukim di Palestina menjelang kemunculan Zionisme di kalangan komunitas Yahudi sedunia pada dua dasawarsa terakhir abad ke-19.[10] Perubahan mendadak geopolitik akibat meletusnya Perang Dunia I membuat kalkulasi-kalkulasi awal, yang sempat dibiarkan terbengkalai, menjadi titik tolak pembaharuan taksiran-taksiran stategis maupun tawar-menawar politik atas kawasan Timur Tengah dan Timur Jauh.[5]
Gerakan Zionisme muncul menjelang akhir abad ke-19 sebagai reaksi terhadap gerakan-gerakan antisemit dan nasionalis eksklusioner di Eropa.[11][lower-roman 4][lower-roman 5] Nasionalisme romantis di Eropa Tengah dan Eropa Timur turut membantu kelahiran Haskalah, sebuah gerakan "Pencerahan Yahudi", yang menimbulkan perpecahan di dalam komunitas Yahudi. Perpecahan ini mengakibatkan sebagian golongan menganggap Yahudi sebagai agama mereka, sementara sebagian lainnya menganggap Yahudi sebagai suku-bangsa atau bangsa mereka.[11][12] Pogrom-pogrom anti-Yahudi yang terjadi pada rentang waktu 1881–1884 di Kekaisaran Rusia mendorong penguatan identitas golongan yang kedua. Dari golongan ini muncul organisasi-organisasi perintis yang disebut Hobebei Tsion (Pencinta Sion), risalah Swa-Emansipasi yang ditulis oleh Leon Pinsker, dan gelombang pertama imigrasi besar-besaran orang Yahudi ke Palestina yang secara retrospektif diberi nama "Aliyah Pertama".[14][15][12]
Pada 1896, seorang wartawan Yahudi berkewarganegaraan Austria-Hungaria bernama Theodor Herzl menerbitkan risalah berjudul Der Judenstaat ("Negara Yahudi" atau "Negara Orang Yahudi") yang menjadi kemudian landasan Zionisme politik. Dalam risalah ini, ia mengemukakan bahwa satu-satunya solusi bagi "masalah Yahudi" di Eropa, termasuk antisemitisme yang kian marak, adalah menciptakan sebuah negara bagi orang Yahudi.[16][17] Setahun kemudian, Theodor Herzl mendirikan Organisasi Zionis. Pada penyelenggaraan kongres pertamanya, Organisasi Zionis mengamanatkan pembentukan "kediaman bagi bangsa Yahudi di Palestina di bawah naungan hukum publik". Usulan langkah-langkah pelaksanaan amanat ini mencakup tindakan mempromosikan pemukiman orang Yahudi di Palestina, mengorganisasikan orang Yahudi di diaspora, mempertebal perasaan dan keinsyafan sebagai orang Yahudi, serta berancang-ancang untuk mendapatkan izin-izin yang diperlukan dari pemerintah.[17] Theodor Herzl wafat pada tahun 1904, 44 tahun sebelum lahirnya Negara Israel, negara Yahudi yang ia gagas. Sampai akhir hayatnya, ia tak kunjung mendapatkan kekuasaan politik yang diperlukan untuk menjalankan rencana-rencananya.[10]
Chaim Weizmann, pemimpin kaum Zionis yang kelak menjadi Presiden Organisasi Zionis Sedunia dan Presiden Israel yang pertama, hijrah dari Swiss ke Inggris pada tahun 1904. Ia berjumpa dengan Arthur Balfour dalam suatu pertemuan yang diatur oleh Charles Dreyfus, wakil konstituen Yahudi dalam tim kampanye Arthur Balfour. Pertemuan ini berlangsung sesudah Arthur Balfour meletakkan jabatan perdana menteri dan baru saja mulai berkampanye dalam rangka menghadapi Pemilihan Umum Inggris tahun 1906.[18][lower-roman 6] Sebelum itu pada tahun yang sama, Arthur Balfour berhasil memperjuangkan rancangan Undang-Undang Warga Asing dalam sidang parlemen dengan pidato-pidatonya yang berapi-api tentang perlunya membendung gelombang imigrasi pengungsi Yahudi dari Kekaisaran Rusia ke Inggris.[20][21] Dalam pertemuan ini, ia menanyakan alasan keberatan Chaim Weizmann terhadap Rancangan Uganda tahun 1903 yang justru didukung oleh Theodor Herzl, yakni rencana penyerahan sebagian dari wilayah protektorat Inggris di Afrika Timur untuk dijadikan wilayah otonom orang Yahudi. Rancangan Uganda ditawarkan kepada Theodor Herzl oleh Joseph Chamberlain, Menteri Urusan Tanah Jajahan dalam kabinet Arthur Balfour, selepas berkunjung ke Afrika Timur pada tahun 1903.[lower-roman 7] Menyusul kematian Theodor Herzl, rancangan ini ditolak lewat pemungutan suara dalam Kongres Zionis yang ketujuh pada tahun 1905,[lower-roman 8] sesudah dua tahun menjadi pokok perdebatan sengit di dalam Organisasi Zionis.[24] Chaim Weizmann menjawab pertanyaan Arthur Balfour dengan mengemukakan keyakinannya bahwa kecintaan orang Yahudi terhadap Yerusalem sebanding dengan kecintaan orang Inggris terhadap kota London.[lower-alpha 2]
Pada bulan Januari 1914, Chaim Weizmann berjumpa dengan Baron Edmond de Rothschild, anggota keluarga besar Rothschild cabang Prancis dan salah seorang penganjur utama gerakan Zionisme,[26] untuk membicarakan proyek pembangunan Universitas Ibrani di Yerusalem.[26] Kendati bukan bagian dari Organisasi Zionis Sedunia, Baron Edmond de Rothschild telah berjasa mendanai pembentukan koloni-koloni tani Yahudi Aliyah Pertama dan mengalihkannya kepada Asosiasi Kolonisasi Yahudi pada tahun 1899.[27] Tidak percuma Chaim Weizmann berkenalan dengan Baron Edmond de Rothschild karena beberapa bulan kemudian, putra sang baron, James de Rothschild, minta dipertemukan dengan Chaim Weizmann pada tanggal 25 November 1914. James de Rothschild berharap Chaim Weizmann bersedia membantunya memengaruhi orang-orang di lingkungan pemerintahan Inggris yang ia anggap dapat menerima rencana pendirian "Negara Yahudi" di Palestina.[lower-alpha 3][29] Melalui istri James de Rothschild, Dorothy de Rothschild, Chaim Weizmann berkenalan dengan Rózsika Rothschild, yang kemudian mengenalkannya kepada keluarga besar Rothschild cabang Inggris, teristimewa suaminya, Charles Rothschild, dan abang iparnya, Walter Rothschild, seorang ahli zoologi dan mantan anggota parlemen Inggris.[30] Nathan Rothschild, Baron Rothschild yang pertama, kepala keluarga besar Rothschild cabang Inggris, menjaga jarak aman dengan Zionisme, tetapi ia wafat pada bulan Maret 1915, dan gelar kebangsawanannya diwarisi oleh Walter Rothschild.[30][31]
Sebelum pencanangan Deklarasi Balfour, sekitar 8.000 dari 300.000 warga Yahudi Inggris adalah anggota organisasi kaum Zionis.[32][33] Di peringkat global, per 1913 (tahun data termutakhir prapencanangan Deklarasi Balfour), kira-kira 1% dari jumlah orang Yahudi sedunia adalah anggota organisasi kaum Zionis.[34]
Terhitung sampai tahun 1916, sudah empat abad lamanya Palestina menjadi bagian dari Kesultanan Utsmaniyah atau Kesultanan Utsmaniyah.[36] Nyaris sepanjang kurun waktu empat abad ini, orang Yahudi menjadi kaum minoritas di Palestina, yakni sekitar 3% saja dari keseluruhan populasi. Umat Islam merupakan bagian terbesar dari populasi Palestina, disusul oleh umat Kristen.[37][38][39][lower-roman 9]
Pemerintah Turki Utsmaniyah di Istambul mulai memberlakukan pembatasan-pembatasan terhadap imigrasi orang Yahudi ke Palestina menjelang akhir tahun 1882 setelah menyaksikan Aliyah Pertama yang berawal pada permulaan tahun itu.[41] Meskipun imigrasi orang Yahudi sedikit banyak menimbulkan ketegangan dengan populasi lokal Palestina, terutama dengan golongan saudagar dan pemuka masyarakat, pada tahun 1901, Gerbang Agung (pemerintah pusat Turki Utsmaniyah) memberi orang Yahudi hak yang sama dengan orang Arab untuk membeli tanah di Palestina, dan persentase orang Yahudi dari jumlah populasi Palestina pun meningkat menjadi 7% pada tahun 1914.[42] Pada waktu yang sama, seiring kian meningkatnya rasa tidak percaya terhadap Aliyah Kedua dan Kaum Muda Turki, yakni kaum nasionalis Turki yang telah berhasil menguasai pemerintahan Turki Utsmaniyah pada tahun 1908, gerakan nasionalisme Arab serta nasionalisme Palestina pun semakin bertumbuh, dan semangat anti-Zionisme menjadi unsur pemersatu di Palestina.[42][43] Para sejarawan tidak tahu apakah kekuatan-kekuatan penggerak ini pada akhirnya akan tetap menimbulkan konflik andaikata Deklarasi Balfour tidak pernah ada.[lower-roman 10]
Pada bulan Juli 1914, meletus perang di Eropa antara kubu Entente Tiga (Inggris, Prancis, Rusia) dan kubu Kekaisaran Sentral (Jerman, Austria-Hungaria, Turki Utsmaniyah).[45]
Kabinet pemerintahan Inggris pertama kali membahas Palestina dalam rapat tanggal 9 November 1914, empat hari sesudah Inggris memaklumkan perang terhadap Kesultanan Utsmaniyah. Wilayah Kesultanan Utsmaniyah ketika itu mencakup pula Mutasarifat Yerusalem, yakni daerah yang kerap disebut Palestina.[46] Dalam rapat tersebut, Menteri Keuangan Inggris David Lloyd George "mengungkit perihal akhir takdir Palestina".[47] David Lloyd George adalah pemilik firma hukum Lloyd George, Roberts and Co, yang sudah sejak satu dasawarsa sebelumnya menjalin hubungan kerja sama dengan Federasi Zionis Britania Raya dan Irlandia dalam penyusunan Rancangan Uganda.[48] David Lloyd George menjadi Perdana Menteri Inggris pada waktu pencanangan Deklarasi Balfour, dan menjadi pejabat yang bertanggung jawab atas terbitnya deklarasi tersebut.[49]
Usaha-usaha politik Chaim Weizmann mengalami kemajuan pesat.[lower-alpha 4] Pada tanggal 10 Desember 1914, ia berjumpa dengan Herbert Samuel, anggota kabinet pemerintahan Inggris dan seorang Yahudi sekuler yang sudah mempelajari Zionisme.[51] Herbert Samuel merasa tuntutan-tuntutan Chaim Weizmann terlampau bersahaja.[lower-alpha 5] Selang dua hari kemudian, Chaim Weizmann sekali lagi bertatap muka dengan Arthur Balfour setelah terakhir kali bertemu pada tahun 1905. Arthur Balfour sudah berada di luar lingkungan pemerintahan semenjak kekalahannya dalam pemilihan umum tahun 1906, tetapi masih menjadi anggota senior Partai Konservatif yang kala itu menjadi Kubu Oposisi Resmi.[lower-alpha 6]
Sebulan kemudian, Herbert Samuel mengedarkan sebuah memorandum bertajuk Masa Depan Palestina kepada kolega-koleganya di kabinet. Memorandum ini berisi pernyataan yang berbunyi: "Saya yakin bahwa solusi bagi masalah Palestina yang sangat dapat diterima oleh para pemimpin dan pendukung gerakan Zionisme di seluruh dunia adalah aneksasi Palestina oleh Kekaisaran Inggris".[54] Herbert Samuel membahas isi selembar salinan dari memorandumnya ini dengan Nathan Rothschild pada bulan Februari 1915, sebulan sebelum Nathan Rothschild wafat.[31] Memorandum ini merupakan dokumen resmi pertama yang memuat pengajuan permintaan dukungan bagi orang Yahudi sebagai salah satu prasyarat perang.[55]
Sejumlah diskusi lebih lanjut menyusul kemudian, termasuk pertemuan-pertemuan pendahuluan dalam kurun waktu 1915–1916 antara Lloyd George, yang diangkat menjadi menteri urusan kelengkapan perang pada bulan Mei 1915,[56] dan Chaim Weizmann, yang diangkat menjadi penasihat ilmiah untuk kementerian tersebut pada bulan September 1915.[57][56] Tujuh belas tahun kemudian, dalam Kenang-Kenangan Perang yang ditulisnya, Lloyd George menyebut pertemuan-pertemuan tersebut sebagai "sumber dan cikal bakal" Deklarasi Balfour. Pernyataan Lloyd George ini telah dibantah para sejarawan.[lower-alpha 7]
Menjelang akhir tahun 1915, Komisaris Tinggi Inggris untuk Mesir, Henry McMahon, bersurat-suratan sebanyak sepuluh kali dengan Syarif Mekah, Husain bin Ali Alhasyimi. Melalui surat-suratnya Henry McMahon berjanji kepada Husain bin Ali Alhasyimi untuk mengakui kemerdekaan bangsa Arab "di dalam wilayah dengan tapal-tapal batas yang diusulkan Syarif Mekah" sebagai imbalan atas kesediaan Husain bin Ali Alhasyimi untuk mengobarkan pemberontakan melawan Kesultanan Utsmaniyah. Kawasan yang dikecualikan dari wilayah yang dijanjikan tersebut adalah "sebagian wilayah Suriah" yang terletak di sebelah barat "Distrik Damsyik, Distrik Hums, Distrik Hamah, dan Distrik Halab".[67][lower-alpha 9] Selama beberapa dasawarsa pasca-Perang Dunia I, ruang lingkup kawasan pesisir yang dikecualikan ini menjadi pokok perdebatan sengit[69] karena Palestina terletak di sebelah barat daya Damsyik dan tidak disebutkan secara gamblang.[67]
Bangsa Arab bangkit memberontak melawan Kesultanan Utsmaniyah pada tanggal 5 Juni 1916,[70] dengan berpegang pada mufakat quid pro quo yang dicapai lewat hubungan surat-menyurat antara Henry McMahon dan Husain bin Ali Alhasyimi.[71] Meskipun demikian, kurang dari tiga pekan sebelum pemberontakan meletus, pemerintah Inggris, pemerintah Prancis, dan pemerintah Rusia diam-diam telah menyepakati Persetujuan Sykes–Picot, yang kemudian hari disebut Arthur Balfour sebagai "metode yang sepenuhnya baru" untuk memecah-belah kawasan Timur Tengah, manakala kesepakatan tahun 1915 "tampaknya sudah lekang dari ingatan orang".[lower-alpha 10]
Kesepakatan antara Inggris dan Prancis ini dirundingkan pada akhir tahun 1915 dan awal tahun 1916 antara Sir Mark Sykes dan François Georges-Picot. Pokok-pokok kesepakatan utama masih berbentuk draf dalam memorandum bersama yang diterbitkan pada tanggal 5 Januari 1916.[73][74] Mark Sykes adalah anggota Parlemen Inggris dari Partai Konservatif yang berhasil menduduki posisi yang cukup berpengaruh terhadap kebijakan Inggris terkait Timur Tengah, mulai sejak diangkat menjadi anggota Panitia De Bunsen dan menggagas pembentukan Biro Arab pada tahun 1915.[75] François Georges-Picot adalah diplomat Prancis yang pernah menjadi konsul jenderal di Beirut.[75] Isi kesepakatan mereka adalah penetapan batas-batas ruang lingkup pengaruh dan kekuasaan di Asia Barat yang diusulkan untuk dibentuk andaikata Entente Tiga berhasil mengalahkan Kesultanan Utsmaniyah dalam Perang Dunia I.[76][77] Sejumlah besar kawasan yang didiami bangsa Arab dibagi-bagi menjadi bakal wilayah administratif Inggris dan bakal wilayah administratif Perancis. Palestina diusulkan untuk dijadikan wilayah internasional,[76][77] dengan bentuk administrasi pemerintahan yang akan ditetapkan sesudah berkonsultasi dengan Rusia dan Husain bin Ali Alhasyimi.[76] Draf bulan Januari ini mengetengahkan kepentingan-kepentingan umat Kristen maupun umat Islam, dan menyebutkan pula bahwa "anggota-anggota komunitas Yahudi di seluruh dunia memiliki keprihatinan yang sungguh-sungguh dan sentimental terhadap masa depan negeri itu."[74][78][lower-alpha 11]
Sebelum memorandum bersama ini diterbitkan, belum ada negosiasi aktif dengan kaum Zionis, tetapi Mark Sykes sudah menginsafi keberadaan Zionisme, dan berhubungan baik dengan Moses Gaster – mantan Presiden Federasi Zionis Inggris[80] – dan boleh jadi sudah pernah membaca memorandum kabinet tahun 1915 yang disusun oleh Herbert Samuel.[78][81] Pada tanggal 3 Maret, ketika Mark Sykes dan François Georges-Picot masih berada di Petrograd, Lucien Wolf, sekretaris Panitia Gabungan untuk Luar Negeri (panitia bentukan organisasi-organisasi Yahudi untuk memperjuangkan kepentingan orang Yahudi di luar negeri), mengajukan draf pernyataan jaminan kepada Kementerian Luar Negeri Inggris. Pernyataan jaminan ini disiapkan agar sewaktu-waktu dapat diterbitkan Blok Sekutu untuk mendukung aspirasi-aspirasi orang Yahudi. Isi draf tersebut adalah sebagai berikut:
Bilamana Palestina sudah tercakup di dalam ruang lingkup pengaruh Inggris atau Prancis seusai perang, maka pemerintah Inggris atau Prancis sekali-kali tidak boleh menyepelekan nilai sejarah negeri itu bagi komunitas Yahudi. Masyarakat Yahudi harus dapat hidup aman sentosa, menikmati kebebasan sipil dan beragama, hak-hak politik yang setara dengan masyarakat lain, kemudahan-kemudahan yang berpatutan dalam urusan imigrasi dan kolonisasi, serta keistimewaan-keistimewaan warga kotapraja di kota-kota dan koloni-koloni tempat tinggal mereka jika dipandang perlu.
Pada tanggal 11 Maret, telegram-telegram [lower-alpha 12] dikirimkan atas nama Sir Edward Grey kepada duta-duta besar Inggris di Rusia dan Prancis. Telegram-telegram ini berisi pemberitahuan yang harus disampaikan kepada pihak-pihak yang berwenang di Rusia dan Prancis. Pernyataan jaminan termasuk dalam isi pemberitahuan, demikian pula pernyataan berikut ini:
Rancangan ini dapat saja dibuat lebih menarik di mata mayoritas orang Yahudi andaikata mereka dijanjikan bahwa apabila seiring berlalunya waktu masyarakat koloni Yahudi di Palestina sudah cukup kuat untuk menghadapi masyarakat Arab maka mereka dapat dibenarkan untuk mengambil alih penanganan urusan-urusan dalam negeri Palestina (kecuali atas Yerusalem dan tempat-tempat suci).
Sesudah membaca telegram ini, Mark Sykes pun berdiskusi dengan François Georges-Picot. Ia mengusulkan (dengan merujuk kepada memorandum Herbert Samuel[lower-alpha 13]) pembentukan sebuah negara kesultanan bangsa Arab di bawah perlindungan Prancis dan Inggris, beberapa cara mengatur kewenangan atas tempat-tempat suci, dan pendirian sebuah badan usaha untuk membeli tanah bagi masyarakat koloni Yahudi, yang nantinya akan menjadi warga negara kesultanan tersebut dengan hak-hak yang setara dengan orang Arab.[lower-alpha 14]
Tak lama sesudah pulang dari Petrograd, Mark Sykes memberi arahan kepada Herbert Samuel, yang kemudian memberi arahan kepada Moses Gaster, Chaim Weizmann, dan Nahum Sokolow dalam sebuah pertemuan. Catatan tertanggal 16 April dalam buku harian Moses Gaster berisi uraian sebagai berikut: "Kami ditawari wilayah kondominium Prancis-Inggris di Palest[ina]. Penguasanya berbangsa Arab demi menjaga perasaan orang Arab, tetapi di dalam undang-undang dasarnya termaktub sebuah piagam untuk kaum Zionis yang mendapuk Inggris sebagai penjamin dan pihak akan mendukung kami setiap kali timbul pergesekan... Tawaran ini pada praktiknya merupakan realisasi paripurna dari program Zionis kami. Meskipun demikian, kami bersiteguh meminta piagam yang bersifat nasional, kebebasan berimigrasi, serta otonomi dalam negeri, dan pada saat yang sama juga hak-hak kewarganegaraan penuh bagi [tidak terbaca] dan orang-orang Yahudi di Palestina."[83] Mark Sykes sendiri menganggap butir-butir Persetujuan Sykes-Picot sudah basi, bahkan sebelum ditandatangani. Dalam sepucuk surat pribadi yang ia tulis pada bulan Maret 1916, Mark Sykes mengungkapkan hasil penalarannya bahwa "kaum Zionislah yang kini menjadi kunci situasi".[lower-roman 12][85] Baik Prancis maupun Rusia ternyata tidak menyukai isi draf pernyataan jaminan, dan Lucien Wolf akhirnya diberitahu pada tanggal 4 Juli bahwa "sekarang bukanlah saat yang tepat untuk mengeluarkan pernyataan apapun." [86]
Ikhtiar-ikhtiar semasa Perang Dunia I ini, termasuk Deklarasi Balfour, kerap ditelaah bersamaan oleh para sejarawan karena adanya potensi ketidakselarasan, baik yang nyata maupun yang terbayang, antara satu ikhtiar dengan ikhtiar lain, khususnya dalam hal rencana pengaturan Palestina.[87] Meminjam kata-kata Profesor Albert Hourani, pendiri Pusat Kajian Timur Tengah di St Antony's College, Oxford, "perdebatan seputar tafsir kesepakatan-kesepakatan ini adalah perdebatan yang tidak bakal berkesudahan, karena kesepakatan-kesepakatan ini memang sengaja disusun sedemikian rupa sehingga dapat memunculkan lebih dari satu macam tafsir."[88]
Dari sudut pandang politik Inggris, Deklarasi Balfour lahir lantaran Perdana Menteri Herbert Henry Asquith beserta kabinetnya digantikan oleh Perdana Menteri Lloyd George beserta kabinetnya pada bulan Desember 1916. Sekalipun Herbert Henry Asquith dan Lloyd George sama-sama berasal dari Partai Liberal dan sama-sama membentuk kabinet pemerintahan koalisi di masa perang, Lloyd George dan menteri luar negerinya, Arthur Balfour, ingin agar wilayah Kesultanan Utsmaniyah dipecah-belah seusai perang, sementara Herbert Henry Asquith dan menteri luar negerinya, Sir Edward Grey, ingin agar Kesultanan Utsmaniyah cukup direformasi saja.[89][90]
Dua hari sesudah menjabat, Lloyd George menyampaikan kepada Jenderal Robertson, Kepala Staf Angkatan Bersenjata Kekaisaran Inggris, bahwa ia menginginkan kemenangan besar, lebih bagus lagi kalau Yerusalem juga dapat direbut, demi menciptakan kesan yang mampu memukau opini publik Inggris.[91] Lloyd George lantas bergegas menggelar rapat kabinet perang guna merencanakan "kampanye militer lebih lanjut ke dalam wilayah Palestina begitu Al Arisy berhasil diamankan."[92] Tekanan dari Lloyd George terhadap Jenderal Robertson yang bersikap ragu-ragu menghasilkan perebutan daerah Sinai yang selanjutnya disatukan kembali dengan wilayah Mesir, jajahan Inggris. Dengan merebut Al Arisy pada bulan Desember 1916 dan Rafah pada bulan Januari 1917, pasukan Inggris akhirnya sampai di tapal batas selatan wilayah Kesultanan Utsmaniyah.[92] Situasi buntu di kawasan selatan Palestina bermula setelah pasukan Inggris dua kali gagal merebut Gaza antara tanggal 26 Maret sampai tanggal 19 April.[93] Kegiatan kampanye militer di Sinai dan Palestina tertahan untuk sementara waktu, dan pasukan Inggris baru dapat bergerak memasuki wilayah Palestina pada tanggal 31 Oktober 1917.[94]
Menyusul pergantian kabinet pemerintahan Inggris, Mark Sykes diangkat menjadi Sekretaris Kabinet Perang yang bertanggung jawab menangani urusan-urusan Timur Tengah. Kendati sudah kenal baik dengan Moses Gaster,[lower-roman 13] Mark Sykes berusaha untuk bertemu dengan pemimpin-pemimpin kaum Zionis lainnya semenjak bulan Januari 1917. Pada akhir bulan itu, ia sudah berkenalan dengan Chaim Weizmann dan rekan seperjuangannya, Nahum Sokolow, wartawan sekaligus eksekutif Organisasi Zionis Sedunia yang hijrah ke Inggris pada permulaan Perang Dunia I.[lower-roman 14]
Dengan mengaku bertindak atas nama pribadi, Mark Sykes mengadakan serangkaian diskusi mendalam dengan jajaran pimpinan kaum Zionis pada tanggal 7 Februari 1917.[lower-alpha 15] Hubungan yang pernah terjalin antara Inggris dengan "orang Arab" lewat surat-menyurat turut dibahas dalam pertemuan ini. Menurut catatan Nahum Sokolow, Mark Sykes mengemukakan bahwa "orang Arab menegaskan kalau bahasa harus dijadikan tolok ukur [dalam menentukan siapa yang berhak menjadi penguasa di Palestina] dan [berdasarkan tolok ukur tersebut] dapat saja mengklaim seantero wilayah Suriah dan Palestina. Kendati demikian, orang Arab bisa diatur, apalagi jika mereka mendapat dukungan dari orang Yahudi dalam urusan-urusan lain."[97][98][lower-alpha 16] Sampai dengan saat itu kaum Zionis belum tahu apa-apa tentang Persetujuan Sykes–Picot, meskipun sudah curiga.[97] Salah satu sasaran yang hendak dicapai Mark Sykes adalah menggerakkan Zionisme untuk menjadikan Inggris sebagai negara yang berwenang mengatur urusan luar negeri Palestina, sehingga ada alasan untuk membela diri jika digugat Prancis.[100]
Selagi Kabinet Perang Inggris sibuk menggelar rapat-rapat pembahasan yang kelak melahirkan Deklarasi Balfour, Perang Dunia I telah sampai pada tahap buntu. Di Front Barat, Blok Sentral mula-mula unggul pada musim semi tahun 1918,[101] sebelum akhirnya diungguli Blok Sekutu untuk seterusnya sejak bulan Juli 1918.[101] Sekalipun sudah memaklumkan perang terhadap Jerman pada musim semi tahun 1917, Amerika Serikat belum ditimpa kerugian akibat perang sehingga tidak melibatkan diri secara aktif. Ketika korban-korban pertama berjatuhan di pihak Amerika Serikat pada tanggal 2 November 1917,[102] Presiden Woodrow Wilson masih saja berharap dapat menghindari pengerahan kontingen-kontingen besar prajurit ke medan perang.[103] Angkatan bersenjata Rusia diketahui terusik oleh revolusi yang tengah melanda Rusia dan peningkatan dukungan terhadap faksi Bolsyewik. Kendati demikian, Pemerintahan Sementara Rusia yang dikepalai Aleksander Kerenski masih melibatkan diri dalam peperangan. Rusia baru menarik diri sesudah revolusi mencapai tahap paripurna pada tanggal 7 November 1917.[104]
Arthur Balfour melangsungkan pertemuan dengan Chaim Weizmann di kantor Kementerian Luar Negeri Inggris pada tanggal 22 Maret 1917. Dua hari kemudian, Chaim Weizmann mengungkapkan bahwa pertemuan tersebut adalah "kali pertama saya berbincang secara mendalam dengan beliau".[105] Dalam pertemuan ini, Chaim Weizmann mengemukakan bahwa kaum Zionis lebih suka jika Palestina dijadikan wilayah protektorat Inggris alih-alih wilayah protektorat Amerika Serikat, wilayah protektorat Prancis, atau wilayah administrasi internasional. Arthur Balfour menyambut baik pernyataan ini, tetapi mewanti-wanti bahwa "bisa saja timbul masalah dengan Prancis dan Italia".[105]
Arah kebijakan Pracis sehubungan dengan Palestina pada khususnya dan Negeri Syam pada umumnya menjelang pencanangan Deklarasi Balfour mula-mula sejalan dengan butir-butir Persetujuan Sykes-Picot, tetapi mulai simpang siur sejak tanggal 23 November 1915 setelah Prancis mengendus adanya pembicaraan antara Inggris dan Syarif Mekah.[106] Sebelum tahun 1917, hanya Inggris yang bertempur di tapal batas selatan Kesultanan Utsmaniyah, mengingat Mesir jajahan Inggris memang berbatasan langsung dengan wilayah Kesultanan Utsmaniyah, lagipula Prancis masih disibukkan oleh pertempuran Front Barat yang berlangsung di negaranya.[107][108] Italia, yang mulai melibatkan diri dalam Perang Dunia I sesudah menandatangani Perjanjian London pada bulan April 1915, baru ikut turun tangan di Timur Tengah sesudah mencapai kesepakatan dengan Prancis dan Inggris dalam konferensi yang diselenggarakan di Saint-Jean-de-Maurienne pada bulan April 1917. Dalam konferensi ini, Lloyd George mengemukakan gagasan menjadikan Palestina sebagai negara protektorat Inggris , tetapi gagasan ini "ditanggapi dengan sangat dingin" oleh Prancis maupun Italia.[109][110][lower-alpha 17] Pada bulan Mei dan Juni 1917, Prancis dan Italia menurunkan detasemen-detasemennya untuk membantu Inggris yang sedang giat memperbesar kekuatan tempurnya dalam rangka mempersiapkan diri untuk menyerang Palestina sekali lagi.[107][108]
Pada awal bulan April, Mark Sykes dan François Georges-Picot sekali lagi ditunjuk menjadi negosiator utama. Kali ini keduanya diutus ke Timur Tengah selama sebulan penuh untuk melakukan pembicaraan-pembicaraan lebih lanjut dengan Syarif Mekah dan pemimpin-pemimpin Arab lainnya.[111][lower-alpha 18] Pada tanggal 3 April 1917, Mark Sykes menemui Lloyd George, Lord Curzon, dan Maurice Hankey untuk menerima surat tugas sehubungan dengan misi yang diembannya, yakni berusaha agar Prancis tidak menarik dukungannya sekaligus berusaha agar "tidak mencelakai pergerakan kaum Zionis maupun peluangnya untuk berkembang di bawah pengayoman Inggris , tidak membuat janji politik apapun dengan orang Arab, khususnya janji politik yang berkaitan dengan Palestina".[113] Sebelum bertolak ke Timur Tengah, François Georges-Picot, melalui Mark Sykes, mengundang Nahum Sokolow ke Paris untuk menatar para pejabat pemerintah Prancis agar paham akan Zionisme.[114] Mark Sykes, yang sudah melapangkan jalan lewat surat-menyurat dengan François Georges-Picot,[115] tiba beberapa hari sesudah Nahum Sokolow sampai ke Paris. Sebelum Mark Sykes tiba, Nahum Sokolow telah menemui François Georges-Picot dan pejabat-pejabat pemerintah Prancis lainnya, dan berhasil meyakinkan Kementerian Luar Negeri Prancis untuk menerima, sebagai bahan kajian, sebuah pernyataan sasaran-sasaran kaum Zionis "sehubungan dengan kumudahan-kemudahan kolonisasi, otonomi komunal, hak-hak berbahasa, dan pembentukan sebuah badan usaha Yahudi berpiagam pemerintah."[116] Mark Sykes melanjutkan perjalanannya ke Italia dan melangsungkan pertemuan dengan Duta Besar Inggris maupun wakil pemerintah Inggris di Vatikan untuk sekali lagi melapangkan jalan bagi Nahum Sokolow.[117]
Nahum Sokolow diberi kesempatan audiensi dengan Paus Benediktus XV pada tanggal 6 Mei 1917.[118] Menurut catatan jalannya audiensi yang ditulis Nahum Sokolow, yakni satu-satunya keterangan tentang pertemuan tersebut yang diketahui oleh para sejarawan, Sri Paus secara umum mengungkapkan simpati dan dukungannya terhadap proyek kaum Zionis.[119][lower-roman 15] Pada tanggal 21 Mei 1917, Angelo Sereni, ketua Panitia Paguyuban-Paguyuban Bani Israel,[lower-alpha 19] memperkenalkan Nahum Sokolow kepada Sidney Sonnino, Menteri Luar Negeri Italia. Ia juga diberi kesempatan bertatap muka dengan Paolo Boselli, Perdana Menteri Italia. Atas arahan Sidney Sonnino, sekretaris jenderal Kementerian Luar Negeri Italia mengirim sepucuk surat yang, kendati tidak dapat mengungkapkan pandangan pribadinya mengenai kebajikan-kebajikan sebuah program yang berkaitan dengan semua negara anggota Blok Sekutu, "secara umum" menyatakan bahwa ia tidak menentang klaim-klaim sah orang Yahudi.[125] Dalam perjalanan pulangnya, Nahum Sokolow sekali lagi berjumpa dengan pejabat-pejabat Prancis dan berhasil mendapatkan selembar surat tertanggal 4 Juni 1917 dari Kepala Bagian Urusan Politik Kementerian Luar Negeri Prancis Jules Cambon, yang berisi pernyataan simpati terhadap perjuangan kaum Zionis.[126] Surat ini tidak dipublikasikan, tetapi disimpan di kantor Kementerian Luar Negeri Inggris.[127][lower-roman 16]
Sesudah Amerika Serikat melibatkan diri dalam Perang Dunia I pada tanggal 6 April, Menteri Luar Negeri Inggris Arthur Balfour memimpin rombongan Misi Balfour ke Washington D.C. dan New York, tempat ia singgah selama sebulan, dari pertengahan bulan April sampai pertengahan bulan Mei. Selama melawat ke Amerika Serikat, ia menyempatkan diri untuk berdiskusi tentang Zionisme dengan Louis Brandeis, seorang tokoh Zionis terkemuka dan sekutu dekat Presiden Woodrow Wilson yang telah diangkat menjadi salah seorang Hakim Agung Amerika Serikat setahun sebelumnya.[lower-alpha 20]
Pada tanggal 13 Juni 1917, Kepala Bagian Urusan Timur Tengah Kementerian Luar Negeri Inggris Ronald Graham telah dapat memastikan bahwa ketiga politikus paling relevan – Perdana Menteri, Menteri Luar Negeri, dan Wakil Parlementer Menteri Luar Negeri Lord Robert Cecil – semuanya menghendaki agar Inggris mendukung pergerakan kaum Zionis.[lower-alpha 21] Pada hari yang sama, Chaim Weizmann menyurati Ronald Graham untuk memperjuangkan dikeluarkannya sebuah deklarasi terbuka.[lower-alpha 22][131][132]
Dalam suatu pertemuan pada tanggal 19 Juni, Arthur Balfour meminta Lord Rothschild dan Chaim Weizmann untuk mengajukan suatu rumusan deklarasi.[133] Sepanjang beberapa minggu berikutnya, panitia negosiasi kaum Zionis menyiapkan selembar draf deklarasi yang terdiri atas 143 patah kata, tetapi Mark Sykes, Ronald Graham, maupun Lord Rothschild menilai draf tersebut terlalu menjurus ke hal-hal yang sensitif.[134] Di lain pihak, Kementerian Luar Negeri Inggris juga menyiapkan selembar draf, yang digambarkan pada tahun 1961 oleh Harold Nicolson, selaku orang yang terlibat langsung dalam penyusunannya, sebagai usulan penciptaan "suaka bagi orang-orang Yahudi yang menjadi korban penindasan".[135][136] Draf yang disusun oleh Kementerian Luar Negeri Inggris ditolak mentah-mentah oleh kaum Zionis sehingga tidak jadi dipakai. Tak selembar pun salinan draf ini dapat ditemukan di kumpulan arsip Kementerian Luar Negeri Inggris .[135][136]
Sesudah berdiskusi lebih lanjut dengan pihak kementerian, Lord Rothschild akhirnya merevisi draf yang disiapkan kaum Zionis sehingga menjadi lebih singkat, hanya mengandung 46 patah kata, dan mengirimkannya kepada Arthur Balfour pada tanggal 18 Juli.[134] Draf ini diterima Kementerian Luar Negeri Inggris dan diajukan kepada kabinet untuk dipertimbangkan secara resmi.[137]
Pada tanggal 31 Oktober 1917, Kabinet Perang Inggris memutuskan untuk mengeluarkan deklarasi. Keputusan ini diambil sebagai tindak lanjut dari hasil diskusi dalam empat kali rapat kabinet perang (termasuk rapat tanggal 31 Oktober) yang digelar dalam tempo dua bulan.[137] Demi membantu memperlancar diskusi, Sekretariat Kabinet Perang Inggris dipimpin oleh Maurice Hankey dan dibantu para Sekretaris Pembantu[138][139] – terutama Mark Sykes dan Leo Amery, rekan separtai Mark Sykes di Parlemen Inggris yang juga pro-Zionis – mengumpulkan perspektif-perspektif pihak luar untuk diajukan kepada kabinet perang. Perspektif-perspektif pihak luar tersebut mencakup pandangan-pandangan para pejabat pemerintahan, pandangan-pandangan para sekutu dalam Perang Dunia I – teristimewa pandangan Presiden Woodrow Wilson – serta pernyataan-pernyataan pandangan resmi yang diajukan pada bulan Oktober oleh enam orang tokoh pimpinan kaum Zionis dan empat orang pemuka masyarakat Yahudi non-Zionis.[137]
Sebelum mengeluarkan deklarasi, para pejabat Inggris dua kali meminta persetujuan President Amerika Serikat Woodrow Wilson. Ketika pertama kali dimintai persetujuannya pada tanggal 3 September, President Woodrow Wilson menolak dengan alasan waktunya belum tepat. Ia baru memberikan persetujuan setelah diminta untuk kedua kalinya pada tanggal 6 Oktober.[140]
Petikan-petikan dari notula keempat rapat Kabinet Perang Inggris berikut ini memperlihatkan faktor-faktor utama yang menjadi bahan pertimbangan para menteri:
Deklasifikasi arsip pemerintah Inggris telah memungkinkan para ahli untuk mengetahui keseluruhan proses penyusunan draf Deklarasi Balfour. Dalam bukunya yang terbit pada tahun 1961 dan kerap dijadikan sumber rujukan, Leonard Stein membeberkan empat draft terdahulu Deklarasi Balfour.[145]
Kegiatan penyusunan draf berawal dari petunjuk yang diberikan Chaim Weizmann kepada tim penyusun draf Zionis mengenai tujuan-tujuannya melalui sepucuk surat tertanggal 20 Juni 1917, sehari sesudah pertemuannya dengan Lord Rothschild dan Arthur Balfour. Ia mengusulkan agar deklarasi tersebut harus memuat penegasan dari pemerintah Inggris akan "keyakinan, kemauan, atau niatnya untuk mendukung kehendak kaum Zionis menciptakan kediaman nasional di Palestina; menurut hemat saya, soal kekuasaan suzeranitas tidak perlu disinggung-singgung karena dapat mengganggu hubungan baik antara Inggris dan Prancis; deklarasi ini harus merupakan deklarasi Zionis."[89][146]
Sebulan sesudah menerima draf ringkas yang diajukan Lord Rothschild pada tanggal 12 Juli, Arthur Balfour mengusulkan sejumlah amandemen yang lebih bersifat teknis.[145] Amandemen-amandemen yang lebih substantif termuat dalam dua draf berikutnya, yakni draf yang diajukan pada akhir bulan Agustus oleh Alfred Milner, salah seorang dari kelima anggota mula-mula kabinet perang Lloyd George dengan jabatan menteri tanpa portofolio,[lower-roman 17] dan draf yang diajukan pada awal bulan Oktober oleh Alfred Milner dan Leo Amery. Dalam draf yang diajukan pada akhir bulan Agustus, cakupan geografi disusutkan dari seluruh Palestina menjadi "di Palestina", sementara dalam draf yang diajukan pada awal bulan Oktober, tercantum tambahan dua "klausa pengaman".[145]
Daftar draf Deklarasi Balfour yang diketahui beserta perubahan dari draf ke draf | ||
---|---|---|
Draf | Teks | Perubahan |
Draf awal dari kaum Zionis Bulan Juli 1917[147] |
Pemerintahan Sri Baginda, sesudah mempertimbangkan sasaran-sasaran Organisasi Zionis, menerima prinsip pengakuan Palestina menjadi kediaman nasional bangsa Yahudi, dan hak bangsa Yahudi untuk membangun kehidupan berbangsa di Palestina di bawah perlindungan yang akan dibentuk saat perdamaian disepakati sesudah perang dimenangkan. Pemerintahan Sri Baginda, demi terwujudnya prinsip ini, memandang penting pemberian otonomi dalam negeri kepada bangsa Yahudi di Palestina, kebebasan berimigrasi bagi bangsa Yahudi, dan pembentukan sebuah Badan Usaha Kolonisasi Nasional Yahudi untuk menangani usaha pemukiman kembali serta pengembangan ekonomi negeri itu. |
|
Draf Lord Rothschild Tanggal 12 Juli 1917[147] |
1. Pemerintahan Sri Baginda menerima Prinsip bahwa Palestina harus direkonstitusi menjadi tanah air bangsa Yahudi. 2. Pemerintahan Sri Baginda akan berusaha sekuat dayanya untuk menjamin terlaksananya maksud ini serta akan mendiskusikan metode-metode dan cara-cara yang diperlukan dengan Organisasi Zionis.[145] |
1. Pemerintahan Sri Baginda [*] menerima prinsip 2. Pemerintahan Sri Baginda [*] akan berusaha sekuat dayanya untuk menjamin terlaksananya maksud ini serta akan mendiskusikan metode-metode dan cara-cara yang diperlukan dengan Organisasi Zionis. |
Draf Arthur Balfour Pertengahan bulan Agustus 1917 |
Pemerintahan Sri Baginda menerima prinsip bahwa Palestina harus direkonstitusi menjadi tanah air bangsa Yahudi, dan akan berusaha sekuat daya untuk menjamin terlaksananya maksud ini serta akan bersiap sedia untuk mempertimbangkan saran apa saja yang berkenaan dengan hal tersebut yang ingin diajukan Organisasi Zionis kepadanya.[145] | |
Draf Alfred Milner Akhir bulan Agustus 1917 |
Pemerintahan Sri Baginda menerima prinsip bahwa segala macam peluang harus dibuka bagi pembentukan tanah air bangsa Yahudi, dan akan berusaha sekuat dayanya untuk memudahkan terlaksananya maksud ini serta akan bersiap sedia untuk mempertimbangkan saran apa saja yang berkenaan dengan hal tersebut yang ingin diajukan organisasi-organisasi kaum Zionis kepadanya.[145] | Pemerintahan Sri Baginda menerima prinsip bahwa |
Draf Alfred Milner dan Leo Amery Tanggal 4 Oktober 1917 |
Pemerintahan Sri Baginda memandang baik pembentukan Palestina sebagai tanah air ras Yahudi, dan akan berusaha sekuat dayanya untuk memudahkan terlaksananya maksud ini, dengan keinsyafan bahwa tak satu pun langkah pelaksanaannya akan mencederai hak-hak sipil dan beragama komunitas non-Yahudi di Palestina, maupun hak-hak dan status politik yang dinikmati di negara manapun oleh para Yahudi yang sudah puas dengan kewarganegaraan yang dimilikinya saat ini.[145] | Pemerintahan Sri Baginda |
Versi akhir | Pemerintahan Sri Baginda memandang baik pembentukan Palestina sebagai tanah air bangsa Yahudi, dan akan berusaha sekuat daya untuk memudahkan terlaksananya maksud ini, dengan keinsafan bahwa tak satu pun langkah pelaksanaannya akan mencederai hak-hak sipil dan beragama komunitas non-Yahudi di Palestina, maupun hak-hak dan status politik yang dinikmati orang Yahudi di negara manapun. | Pemerintahan Sri Baginda memandang baik pembentukan Palestina sebagai tanah air |
Penulis-penulis terkemudian telah memperdebatkan siapa sesungguhnya "tokoh utama" dalam penyusunan Deklarasi Balfour. Dalam bukunya, The Anglo-American Establishment, yang terbit tahun 1981 sesudah ia wafat, Carroll Quigley, profesor sejarah di Universitas Georgetown, memaparkan pandangannya bahwa Lord Milnerlah yang berjasa menyusun Deklarasi Balfour.[lower-roman 18] Baru-baru ini, William D. Rubinstein, Profesor Sejarah Zaman Modern di Universitas Aberystwyth, Wales, mengemukakan bahwa Leo Amerylah penyusun utama Deklarasi Balfour.[150] Sahar Huneidi mengungkap dalam bukunya bahwa William Ormsby-Gore, dalam laporan yang ia susun untuk diserahkan kepada John Shuckburgh, mengaku telah menyusun draf akhir Deklarasi Balfour bersama-sama dengan Leo Amery.[151]
Versi deklarasi yang telah disepakati, satu kalimat yang hanya terdiri dari 67 kata,[152] dikirim pada tanggal 2 November 1917 dalam sebuah surat singkat dari Balfour kepada Walter Rothschild, untuk dikirim ke Federasi Zionis Britania Raya dan Irlandia.[153] Deklarasi tersebut berisi empat klausul, dimana dua klausul pertama berjanji untuk mendukung "pendirian sebuah rumah nasional bagi bangsa Yahudi di Palestina", diikuti dengan dua klausul "perlindungan"[154][155] sehubungan dengan "hak-hak sipil dan agama dari komunitas-komunitas non-Yahudi yang ada di Palestina", dan "hak-hak dan status politik yang dinikmati oleh orang-orang Yahudi di negara manapun juga".[153]
"Kata-kata dalam dokumen ini dipilih dengan sangat cermat, dan frasa kabur 'kediaman nasional bagi orang Yahudi' dapat dianggap lumayan tidak mengkhawatirkan... Namun kekaburan makna frasa tersebut telah menjadi sumber masalah sedari awal. Orang-orang berjabatan tinggi telah menggunakan bahasa yang sangat longgar dengan penuh perhitungan untuk menyampaikan maksud yang berbeda dari maksud yang dapat dipahami dari kata-kata tersebut menurut tafsir yang lebih moderat. President Woodrow Wilson menghilangkan segala keraguan terkait maksud kata-kata tersebut dengan mengedepankan pemahamannya sendiri, ketika berbicara kepada para pemuka masyarakat Yahudi di Amerika pada bulan Maret 1919. 'Saya semakin yakin bahwa bangsa-bangsa sekutu, dengan dukungan bulat dari pemerintah dan rakyat kami, setuju bahwa di Palestina harus diasaskan sebuah persemakmuran Yahudi,' ujarnya.[lower-alpha 23] Mendiang Presiden Roosevelt pernah menyatakan bahwa perihal 'Palestina harus dijadikan sebuah Negara Yahudi' sepatutnya dijadikan salah satu syarat perdamaian Blok Sekutu. Tuan Winston Churchill sudah berwacana tentang 'Negara Yahudi' dan Tuan Bonar Law sudah mengemukakan perihal 'pengembalian Palestina kepada orang Yahudi' dalam sidang parlemen." [157][lower-alpha 24]
Laporan Komisi Palin, bulan Agustus 1920[159]
Istilah "rumah nasional" sengaja dibuat rancu,[160] tidak memiliki nilai hukum atau preseden dalam hukum internasional,[161] sehingga maknanya tidak jelas jika dibandingkan dengan istilah lain seperti "negara".[161] Istilah ini sengaja digunakan sebagai pengganti "negara" karena adanya penentangan terhadap program Zionis di dalam Kabinet Inggris.[161] Menurut sejarawan Norman Rose, para arsitek utama deklarasi tersebut merenungkan bahwa sebuah Negara Yahudi akan muncul pada waktunya, sementara Komisi Kerajaan Palestina menyimpulkan bahwa kata-kata tersebut merupakan "hasil kompromi antara para Menteri yang merenungkan pendirian akhir dari sebuah Negara Yahudi dan yang tidak."[162][lower-roman 19]
Interpretasi terhadap kata-kata tersebut telah diupayakan dalam korespondensi yang mengarah ke versi final deklarasi. Sebuah laporan resmi kepada Kabinet Perang yang dikirim oleh Sykes pada 22 September mengatakan bahwa Zionis tidak ingin "mendirikan sebuah Republik Yahudi atau bentuk negara apa pun di Palestina atau di bagian mana pun di Palestina", melainkan lebih memilih suatu bentuk protektorat seperti yang diatur dalam Mandat Palestina.[lower-alpha 25] Sebulan kemudian, Curzon membuat sebuah memorandum[165] yang diedarkan pada tanggal 26 Oktober 1917 di mana ia membahas dua pertanyaan, yang pertama mengenai makna frasa "Rumah Nasional untuk ras Yahudi di Palestina"; ia mencatat bahwa ada beberapa pendapat yang berbeda, mulai dari negara yang sepenuhnya berdiri sendiri sampai ke pusat spiritual bagi orang-orang Yahudi.[166]
Bagian pers Inggris berasumsi bahwa negara Yahudi dimaksudkan bahkan sebelum Deklarasi difinalisasi.[lower-roman 20] Di Amerika Serikat pers mulai menggunakan istilah "Rumah Nasional Yahudi", "Negara Yahudi", "republik Yahudi" dan "Persemakmuran Yahudi" secara bergantian.[166]
Ahli perjanjian internasional, David Hunter Miller yang hadir pada konferensi dan kemudian mengkompilasikan sebuah dokumen ringkasan 22 volume, menyediakan sebuah laporan kepada Seksi Intelijen dari Delegasi Amerika untuk Konferensi Perdamaian Paris Tahun 1919 yang memberikan rekomendasi "bahwa akan dibentuk sebuah negara terpisah di Palestina", dan "itu akan menjadi kebijakan dari Liga Bangsa-Bangsa untuk mengakui bahwa Palestina sebagai sebuah Negara Yahudi sesegera mungkin, setelah pada faktanya itu merupakan sebuah Negara Yahudi".[168] [169] Laporan ini lebih lanjutnya menyarankan bahwa sebuah Negara Palestina Independen dibawah Mandat Liga Bangsa-Bangsa melalui Inggris dapat dibentuk. Pemukiman yahudi dapat diizinkan dan didukung di negaranya dan tempat-tempat suci di negara ini akan berada dibawah kendali Liga Bangsa-Bangsa.[169] Memang the Inquiry, kemudiannya memberikan keterangan positif tentang kemungkinan dibentuknya negara Yahudi yang nantinya akan dibuat di Palestina jika kebutuhan data demografinya telah ada.[169]
Sejarawan Matthew Jacobs kemudian menuliskan bahwa pendekatan AS terhambat dikarenkan oleh "kurangnya pengetahuan khusus tentang wilayah tersebut" dan "seperti pekerjaan Inquiry di Timur Tengah, laporannya atas Palestina sangatlah cacat" dan " diperkirakan merupakan hasil tertentu dari konflik". Dia kemudian mengutip Miller, menuliskan tentang sebuah laporan atas sejarah dan pengaruh dari Zionis, " sangat tidak memadai dari sisi manapun dan harus dianggap tidak lebih dari sebagai bahan untuk laporan-laporan di masa depan".[170]
Lord Robert Cecil pada tanggal 2 Desember 1918, memastikan dalam sebuah pertemuan bahwa pemerintah sepenuhnya memaksudkan bahwa "Judea adalah untuk Yahudi."[168] Yair Auron berpendapat bahwa Cecil, yang dulunya merupakan Wakil Sekretaris Untuk Urusan Luar Negeri yang mewakili Pemerintah Inggris pada perayaan Federasi Zionis Inggris, menyatakan "kemungkinan telah melampaui arahannya" dan berkata (dia mengutip Stein) "harapan kami adalah Negara-negara Arab untuk bangsa Arab, Armenia untuk bangsa Armenia dan Yudea adalah untuk bangsa Yahudi".[171]
Pada bulan Oktober, Neville Chamberlain ketika memimpin sebuah pertemuan Zionis mendiskusikan sebuah "Negara Zionis Baru".[168] Pada waktu itu, Chamberlain merupakan Anggota Parlemen daerah pemilihan Ladywood, Birmingham; memanggil kembali peristiwa tersebut pada Tahun 1939, setelah Chamberlain menyetujui Buku Putih 1939, Badan Telegraf Yahudi mencatat bahwa perdana menteri telah memiliki "mengalami perubahan pikiran yang nyata dalam 21 tahun intervensi"[172], setahun kemudian pada perayaan Deklarasi yang kedua kalinya, Jenderal Jan Smuts mengatakan bahwa "akan menebus janjinya ... dan negara Yahudi yang besar pada akhirnya akan bangkit."[168] Dalam nada yang sama, Churchill beberapa bulan kemudian menyatakan:
Jika memungkinkan, akan dibentuk dalam kehidupan kita sebuah Negara Yahudi yang terletak di tepi Negara Yordania dibawah perlindungan Inggris yang mungkin terdiri dari tiga atau empat juta orang yahudi, sebuah peristiwa yang akan menjadi sejarah dunia yang dari setiap sudut pandang akan bermanfaat.[173]
Pada tanggal 22 Juni 1921 saat pertemuan dengan Kabinet Imperial, Churchill ditanya oleh Perdana Menteri Arthur Meighen tentang makna dari rumah nasional. Churchill menjawab "Jika dalam perjalanan bertahun-tahun mereka(para Yahudi) menjadi mayoritas di negara ini, mereka secara alami akan mengambil alih ... pro rata dengan Arab. Kami membuat permintaan yang sama bahwa kami tidak akan membuat orang Arab meninggalkan tanahnya atau menyerang hak-hak politik dan sosialnya".[174]
Merespon Curzon pada bulan Januari 1919, Balfour menulis "Weizmann tidak pernah mengajukan sebuah klaim kepada Pemerintahan Palestina Yahudi. Seperti sebuah klaim yang dalam pendapat saya jelas tidak dapat diterima dan secara pribadi saya tidak berfikir kita seharusnya melangkah lebih jauh dari deklarasi aslinya yang saya buat untuk Tuan Rothschild." [175] Dalam bulan Februari 1919, Prancis mengeluarkan sebuah pernyataan bahwa tidak akan menjadi sebuah penentangan dalam menempatkan Palestina dibawah Perwalian Inggris dan Pembentukan sebuah Negara Yahudi. Freidman lebih lanjut mencatat bahwa sikap Prancis terus berubah[168]; Yehuda Blum, ketika mendiskusikan "perilaku tidak bersahabat Prancis terhadap pergerakan nasional Yahudi" mencatat bahwa isi dari laporan yang dibuat oleh Robert Vansittart (seorang pemimpin dari Delegasi Inggris dalam Konfrensi Perdamaian Paris) terhadap Curzon pada bulan November 1920 yang berbunyi :
(Prancis) telah menyetujui Rumah Nasional Yahudi (menggunakan huruf kapital dalam sumbernya), bukan sebuah Negara Yahudi. Mereka meyakini bahwa kami mengarahkan langsung menuju yang terakhir (maksudnya mengarahkan pada Negara Yahudi), dan hal yang paling terakhir yang mereka lakukan adalah memperluas negara disebabkan mereka menolak kebijakan kami [176].
Menteri Luar Negeri Yunani mengatakan kepada editor organisasi Pro-Israel Salonica Jewish bahwa " dalam upaya pembentukan Negara Yahudi, telah dilakukan pertemuan di Yunani dengan rasa simpati yang tulus.... Sebuah Palestina Yahudi akan menjadi sekutu Yunani"[168]. Di Swiss, dalam sejumlah catatan para sejarawan termasuk Prof. Tobler, Forel-Yvorne dan Rogaz, mendukung ide untuk membentuk negara Yahudi dengan salah satu dari mereka menyebut bahwa pembentukan itu sebagai "sebuah hak suci dari orang yahudi". Ketika di Jerman, para pejabat dan banyak jurnalis mengambil makna dari Deklarasi tersebut bahwa Inggris mendukung pembentukan sebuah negara untuk para orang yahudi.[168] Pejabat pemerintah Inggris, termasuk Churchill, memperjelas bahwa Deklarasi ini tidak bermaksud untuk mengubah keseluruhan daerah Palestina menjadi sebuah Rumah Nasional Yahudi, "tetapi seperti sebuah rumah yang harus dibentuk di Palestina"[lower-roman 21]. Amir Faisal, Raja Suriah dan Irak, membuat sebuah pernyataan perjanjian resmi tertulis bersama Pemimpin Zionis Chaim Weizmann, yang dirancang oleh T.E. Lawrence, dimana mereka akan mencoba untuk membangun sebuah hubungan damai dengan bangsa Arab dan Yahudi di Palestina[177]. Perjanjian antara Faisal dan Weizmann 3 Januari 1919 tersebut berumur pendek untuk kerja sama Arab-Yahudi dalam pengembangan tanah air Yahudi di Palestina. Faisal memang memperlakukan Palestina secara berbeda dalam perwakilannya di Konferensi Perdamaian pada 6 Februari 1919 dengan mengatakan "Palestina, karena sifatnya yang universal, (harus) dibiarkan di satu sisi untuk pertimbangan bersama semua pihak yang terkait" [178][179]. Perjanjian itu tidak pernah dilaksanakan. Dalam surat berikutnya yang ditulis dalam bahasa Inggris oleh Lawrence untuk tanda tangan Faisal, dia menjelaskan:
Kami merasa bahwa bangsa Arab dan Yahudi adalah saudara se-ras, telah menderita akibat penindasan serupa di tangan kekuatan yang lebih kuat dari diri mereka sendiri, dan secara kebetulan bahagia telah mampu mengambil langkah pertama menuju pencapaian cita-cita nasional mereka bersama. Kami orang Arab, terutama yang terpelajar di antara kami, dengan simpati terdalam melihat gerakan Zionis ... Kami akan melakukan yang terbaik, sejauh yang kami ketahui, untuk membantu mereka melalui hal tersebut. Kami akan mengucapkan selamat datang kepada orang-orang Yahudi.
Ketika surat tersebut diajukan kepada Komisi Shaw di tahun 1929, Rustam Haidar berbicara kepada Amir Faisal di Baghdad dan membalas "bahwa ia tidak ingat kalau sudah pernah menulis hal semacam itu" [180]. Pada bulan Januari 1930, Haidar menulis pada sebuah koran di Baghdad bahwa Amir Faisal "menemukan bahwa itu lebih aneh daripada menjadikan itu sebuah masalah yang dikaitkan kepadanya karena ia tidak ada waktu untuk mempertimbangkan dalam mengizinkan bangsa lain untuk berbagi tanah air di sebuah negara arab".
Pernyataan bahwa tanah air seperti itu akan ditemukan "di Palestina" daripada "dari Palestina" juga disengaja.[181] Usulan draf deklarasi yang terkandung dalam surat Rothschild tanggal 12 Juli kepada Balfour mengacu pada prinsip "bahwa Palestina harus dibentuk kembali sebagai Rumah Nasional orang-orang Yahudi." [182] Dalam teks terakhir, setelah amandemen Lord Milner, kata "dibentuk kembali" dihapus dan kata "itu" diganti dengan "dalam". [183] [184]
Dengan demikian, teks ini menghindari penetapan keseluruhan Palestina sebagai Rumah Nasional orang-orang Yahudi, yang mengakibatkan kontroversi di tahun-tahun mendatang mengenai ruang lingkup yang dimaksud, khususnya sektor Zionisme Revisionis , yang mengklaim keseluruhan Palestina Wajib dan Emirat Transyordania sebagai Tanah Air Yahudi [183] Hal ini diklarifikasi oleh Buku Putih Churchill tahun 1922, yang menulis bahwa "ketentuan deklarasi yang dimaksud tidak mempertimbangkan bahwa Palestina secara keseluruhan harus diubah menjadi Rumah Nasional Yahudi, tetapi bahwa Rumah tersebut harus didirikan 'di Palestina." [185]
Deklarasi tersebut tidak memasukkan batas geografis apapun untuk Palestina.[186] Setelah perang berakhir, tiga dokumen – deklarasi, Korespondensi Hussein-McMahon dan Perjanjian Sykes-Picot – menjadi dasar negosiasi untuk menetapkan batas-batas Palestina.[187]
"Namun, jika persyaratan ketat dari Pernyataan Balfour dipatuhi ... hampir tidak diragukan lagi bahwa Program Zionis ekstrem harus dimodifikasi secara besar-besaran. Karena "rumah nasional bagi orang-orang Yahudi" tidak sama dengan membuat Palestina menjadi sebuah Negara Yahudi; juga tidak dapat mendirikan Negara Yahudi seperti itu tanpa pelanggaran berat atas "hak-hak sipil dan keagamaan komunitas non-Yahudi yang ada di Palestina." Fakta itu muncul berulang kali dalam konferensi Komisi dengan perwakilan Yahudi, bahwa para Zionis menantikan perampasan total penduduk Palestina non-Yahudi saat ini, dengan berbagai bentuk pembelian."
Laporan Komisi King–Crane Commission , Agustus 1919 [188]
Klausul pengamanan pertama deklarasi tersebut merujuk pada perlindungan hak-hak sipil dan agama non-Yahudi di Palestina. Klausul tersebut telah disusun bersama dengan perlindungan kedua oleh Leo Amery dalam konsultasi dengan Lord Milner, dengan maksud untuk "melakukan langkah yang wajar untuk menemui para penentang, baik Yahudi maupun pro-Arab, tanpa merusak substansi dari deklarasi yang diusulkan".[189] [190]
Kaum "non-Yahudi" merupakan 90% dari populasi Palestina; [191] dalam kata-kata Ronald Storrs , Gubernur Militer Inggris di Yerusalem antara tahun 1917 dan 1920, komunitas mengamati bahwa mereka "tidak begitu banyak disebut, baik sebagai orang Arab, Muslim atau Kristen, tetapi disatukan di bawah kategori negatif dan definisi yang memalukan tentang 'Komunitas Non-Yahudi' dan diturunkan ke ketentuan yang lebih rendah". [192] [193] Komunitas juga mencatat bahwa tidak ada referensi untuk melindungi "status politik" atau hak politik mereka, seperti yang ada dalam perlindungan selanjutnya terkait dengan orang Yahudi di negara lain. [192] [193]Perlindungan ini sering dikontraskan dengan komitmen terhadap komunitas Yahudi, dan selama bertahun-tahun berbagai istilah digunakan untuk menyebut kedua kewajiban ini sebagai pasangan;[194] [195] pertanyaan yang sangat panas adalah apakah kedua kewajiban ini memiliki "bobot yang sama", dan pada tahun 1930 status yang sama ini dikonfirmasi oleh Komisi Mandat Permanen dan oleh pemerintah Inggris dalam kertas putih Passfield .[196]
Balfour menyatakan pada Februari 1919 bahwa Palestina dianggap sebagai kasus pengecualian di mana, mengacu pada penduduk setempat, "kami dengan sengaja dan berhak menolak untuk menerima prinsip penentuan nasib sendiri ," [197] meskipun ia menganggap bahwa kebijakan tersebut memberikan penentuan nasib sendiri kepada orang Yahudi.[198] Avi Shlaim menganggap deklarasi ini sebagai "kontradiksi terbesar".[199] Prinsip penentuan nasib sendiri ini telah dideklarasikan dalam berbagai kesempatan setelah deklarasi – Empat Belas Poin Januari 1918 dari Presiden Wilson , Deklarasi McMahon ke Tujuh pada bulan Juni 1918, Deklarasi Anglo-Prancis November 1918 ,yang telah membentuk sistem mandat . , Frederic Maugham [200] Dalam memo Agustus 1919, Balfour mengakui ketidakkonsistenan di antara pernyataan-pernyataan ini, dan selanjutnya menjelaskan bahwa Inggris tidak berniat berkonsultasi dengan penduduk Palestina yang ada.[201] Hasil dari konsultasi Komisi Penyelidikan Raja-Bangau Amerika yang sedang berlangsung tentang penduduk setempat – yang telah ditarik oleh Inggris – dirahasiakan selama tiga tahun hingga laporan tersebut bocor pada tahun 1922.[202] Pemerintah Inggris selanjutnya telah mengakui hal ini kekurangan, khususnya komite tahun 1939 yang dipimpin oleh Lord Chancellor , yang menyimpulkan bahwa pemerintah tidak "bebas mengatur Palestina tanpa memperhatikan keinginan dan kepentingan penduduk Palestina", [203] dan pernyataan bulan April 2017 oleh Menteri Luar Negeri Inggris Baroness Anelay yang diakui pemerintah bahwa "Deklarasi seharusnya menyerukan perlindungan hak politik komunitas non-Yahudi di Palestina, khususnya hak mereka untuk menentukan nasib sendiri." [204]
Klausul pengamanan kedua adalah komitmen bahwa tidak ada yang boleh dilakukan yang dapat merugikan hak-hak komunitas Yahudi di negara lain di luar Palestina. [205] Rancangan asli Rothschild, Balfour, dan Milner tidak menyertakan kerangka pengaman ini, yang disusun bersama dengan kerangka pengaman sebelumnya pada awal Oktober, [205] untuk mencerminkan tentangan dari anggota komunitas Anglo-Yahudi yang berpengaruh. [205] Lord Rothschild mengambil pengecualian atas ketentuan tersebut atas dasar bahwa hal itu mengandaikan kemungkinan bahaya bagi non-Zionis, yang dia bantah.[206]
The Conjoint Foreign Committee of the Board of Deputies of British Jewish and the Anglo-Jewish Association menerbitkan surat di The Times pada 24 Mei 1917 berjudul Views of Anglo-Jewry , ditandatangani oleh presiden kedua organisasi tersebut, David Lindo Alexander dan Claude Montefiore , yang menyatakan pandangan mereka bahwa: "pendirian kewarganegaraan Yahudi di Palestina, yang didasarkan pada teori tunawisma ini, pasti memiliki efek di seluruh dunia yang mencap orang Yahudi sebagai orang asing di tanah air mereka, dan merongrong posisi mereka yang diperoleh dengan susah payah sebagai warga negara dan warga negara dari tanah ini." [207] Ini diikuti pada akhir Agustus oleh Edwin Montagu, seorang Yahudi anti-Zionis yang berpengaruh dan Sekretaris Negara untuk India , dan satu-satunya anggota Yahudi dari Kabinet Inggris, yang menulis dalam memorandum Kabinet bahwa: "Kebijakan Pemerintah Yang Mulia adalah anti-Semit dan akan membuktikan dasar bagi anti-Semit di setiap negara di dunia.
Seamless Wikipedia browsing. On steroids.
Every time you click a link to Wikipedia, Wiktionary or Wikiquote in your browser's search results, it will show the modern Wikiwand interface.
Wikiwand extension is a five stars, simple, with minimum permission required to keep your browsing private, safe and transparent.