Loading AI tools
Dari Wikipedia, ensiklopedia bebas
Bipedalisme adalah suatu bentuk pergerakan terestial yang mana suatu organisme bergerak dengan menggunakan dua tungkai belakang, atau kaki. Binatang atau mesin yang bergerak secara bipedal disebut dengan biped (/baɪpɛd/), artinya "dua kaki" (dari bahasa Latin bi untuk "dua" dan ped untuk "kaki"). Tipe-tipe dari pergerakan bipedal termasuk berjalan, berlari, atau melompat, pada dua apendiks (biasanya kaki)[1].
Secara relatif beberapa spesies modern adalah biped biasa dengan metode normal dari pergerakannya adalah dengan dua-kaki. Pada mamalia, kebiasaan bipedalisme telah berkembang beberapa kali, dengan macropod, tikus kangguru, dipodid, springhare [2] , tikus loncat, pangolin, dan kera hominina, sebagaimana berbagai kelompok lainnya yang telah punah berevolusi dengan ciri ini secara independen. Dalam periode Triassik beberapa grup dari archosauraurus (suatu grup yang mengikutkan leluhur dari buaya) mengembangkan bipedalisme; di antara turunannya semua bentuk awal dari dinosaurus, dan grup-grup awal lainnya adalah biped karena terbiasa atau eksklusif; burung diturunkan dari salah satu grup dinosaurus yang secara eksklusif bipedal.
Sejumlah besar spesies modern menggunakan pergerakan bipedal untuk waktu yang singkat. Beberapa spesies kadal yang bukan archosaurian bergerak secara bipedal saat berlari, biasanya saat menghindari ancaman. Banyak spesies primata dan beruang akan menggunakan gaya berjalan bipedal dengan tujuan untuk menggapai makanan atau mengeksplorasi lingkungannya. Beberapa spesies primata daratan, seperti Siamang dan Indriidae, secara ekslusif menggunakan perpindahan bipedal selama periode waktu yang singkat saat mereka di daratan. Banyak hewan yang mengangkat bagian bujurnya dengan kaki belakangnya saat bertarung atau bersenggama. Sejumlah kecil binatang berdiri dengan kaki belakangnya, dengan tujuan untuk menggapai makanan, untuk berjaga-jaga, untuk mengancam pesaing atau pemangsa, atau untuk berpose dalam perkawinan, tetapi tidak bergerak secara bipedal.
Kata bipedalisme diturunkan dari kata-kata Latin bi(s) 'dua (2)' dan ped- 'kaki', berlawanan dengan quadruped 'empat kaki'.
Zoologis sering melabelkan perilaku, termasuk bipedalisme, sebagai "ketaktentuan" (yaitu opsional) atau "keharusan" (binatang tersebut tidak memiliki alternatif lain yang pantas). Walaupun pemisahan ini tidak jelas - contohnya, manusia secara normal berjalan dan lari secara biped, tetapi hampir semua dapat merangkak dengan tangan dan lutut bila diperlukan. Bahkan ada laporan mengenai manusia yang secara normal berjalan dengan keempat kakinya (kaki dan tangan) tetapi lututnya berada di tanah, tetapi kasus ini adalah akibat dari kondisi seperti Sindrom Uner Tan—kelainan genetika neurologi yang sangat langka bukan perilaku normal. [3] Bahkan jika seseorang mengindahkan pengecualian yang disebabkan oleh suatu bentuk kecelakaan atau penyakit, masih banyak kasus tidak jelas lainnya, termasuk fakta bahwa manusia "normal" dapat merangkak dengan otot lengan dan lutut. Oleh karena itu artikel ini menghindari istilah "ketaktentuan" dan "keharusan", dan lebih berfokus pada rentang gaya pergerakan secara normal yang digunakan oleh berbagai kelompok binatang.
Ada sejumlah keadaan dari pergerakan yang secara umum dihubungkan dengan bipedalisme.
Mayoritas vertebrata yang hidup di daratan adalah quadruped. Di antaramamalia, bipedalisme adalah suatu metode normal dari pergerakan di darat dalam berbagai kelompok dari primata (misalnya lemur, siamang dan Hominina), pada macropod (kangguru, kangguru kecil, dll.), dan pada sejumlah kecil kelompok roden, termasuk kangguru rat, gerbil dan spring hare. Semua burung adalah biped di atas tanah, suatu fitur yang diturunkan dari leluhur dinosaurus-nya dan crocodilian. [4] Banyak spesies dari kadal menjadi bipedal saat bergerak lari, kecepatan penuh, termasuk kadal tercepat di dunia, iguana berekor duri (genus Ctenosaura). Tidak ada fosil atau mahluk hidup amfibi bipedal yang diketahui.
Kebanyakan hewan bipedal bergerak dengan bagian belakangnya hampir horizontal, menggunakan ekornya yang panjang untuk menyeimbangkan berat badannya. Versi primata dari bipedalisme adalah tidak biasa karena bagian belakangnya hampir tegak lurus (tegak lurus sempurna pada manusia).
Manusia, siamang dan burung-burung besar berjalan dengan mengangkat satu kaki bergantian. Kebanyakan macropod, burung-burung kecil, kukang dan hewan pengerat yang bipedal bergerak dengan menghentakkan kedua kaki secara bersamaan. Kangguru pohon mampu menggunakan kedua bentuk pergerakan, biasanya mengganti kaki saat bergerak secara arboreal (berpindah di/dan antara pohon) dan meloncat dengan kedua kaki secara bersamaan saat di daratan.
Burung yaitu bipedal saat tidak terbang. Semua dinosaurus dipercaya keturunan leluhur bipedal, mungkin mirip dengan Eoraptor. Pergerakan bipedal juga berevolusi ulang di sejumlah keturunan dinosaurus lainnya seperti iguanodon. Beberapa anggota keturunan crocodilian yang punah, sebuah kelompok turunan dari dinosaurus dan burung, juga berevolusi secara bipedal -- crocodile berkerabat dengan triassic, Effigia okeeffeae, juga dipercaya bipedal. [5] Ptreosaurus dulu dianggap bipedal, tetapi jejak terbaru menunjukkan semuanya bergerak secara quadrupedal.
Pergerakan bipedal kurang umum pada mamalia, kebanyakan secara quadrupedal. Semua primata memiliki kemampuan bipedal, walaupun kebanyakan spesies menggunakan pergerakan quadrupedal di daratan. Di samping primata, macropod (kangguru, wallabi dan kerabatnya), kangguru rat, springhare dan beberapa primata seperti sifaka dan sportive lemur, semua berpindah secara bipedal. Hanya sedikit mamalia selain primata yang bergerak secara bipedal dengan mengganti gaya kaki daripada meloncat. Pengeculian pada pangolin darat dan kanguru pohon pada beberapa keadaan.
Banyak primata dapat berdiri tegak lurus dengan kaki belakangnya tanpa penopang. Simpanse, bonobo, siamang [6] dan babun [7] memperlihatkan bentuk bipedalisme yang lebih berkembang. [butuh klarifikasi] Simpanse dan bonobo yang terluka mampu bipedalisme berkelanjutan. [8] Gelada, walau sering secara quadrupedal, akan bergerak antara tempat makanan yang dekat dengan berjongkok, membentuk suatu lokomosi bipedal . Tiga primata kurungan, salah satunya kera Natasha [9] dan dua simpanse, Oliver dan Poko (simpanse), ditemukan bergerak secara bipedal [butuh klarifikasi]. Natasha berpindah ke bipedalisme secara ekslusif setelah sebuah penyakit, sementara Poko ditemukan dalam kurungan yang tinggi, sempit. [10] [11] Oliver balik lagi berjalan dengan kepalan tangan setelah mengalami radang sendi.
Sebagai tambahan, primata selain-manusia terkadang bergerak bipedal saat membawa makanan. Salah satu hipotesis untuk bipedalisme pada manusia adalah ia berevolusi sebagai suatu hasil bertahan hidup yang sukses pada saat membawa makanan untuk membaginya dengan anggota kelompok lainnya, [12] walaupun ada hipotesis lainnya, seperti yang didiskusikan di bawah.
Mamalia lain melakukan bipedalisme secara terbatas, bukan untuk berpindah tempat. Sejumlah hewan, seperti tikus, rakun, dan berang-berang akan menjongkok dengan kaki belakangnya untuk memanipulasi suatu objek tetapi kembali ke empat kaki saat bergerak (berang-berang juga bergerak secara bipedal jika memindahkan kayu untuk bendungannya). Beruang akan bertarung dengan posisi bipedal untuk menggunakan kaki depannya sebagai senjata. Tupai darat dan meerkat akan berdiri dengan kaki belakang untuk melihat keadaan sekelilingnya, tetapi tidak berjalan secara bipedal. Anjing dapat berdiri atau bergerak dengan dua kaki jika dilatih, atau cacat lahir atau kecelakaan menghalangi ke-quadrupedalisme-annya. Kijang gerenuk berdiri dengan kaki belakangnya saat makan dari pohon, seperti juga pada Kungkang Besar Darat dan chalicothere. Sigung tutul juga akan bipedalism saat terancam, mengangkat kaki depannya saat menghadapi penyerang supaya kelenjer anal-nya, mampu menyemprotkan minyak untuk penyerangan, menghadap ke penyerangnya.
Bipedalisme tidak diketahui pada amfibi. Di antarareptil selain-archosaurus bipedalisme sangat jarang, tetapi ditemukan pada kadal yang berlari tegak seperti agamids dan kadal monitor. Banyak spesies reptil juga mengadopsi bipedalism saat bertarung. [13] Salah satu genus dari kadal basilisk dapat lari secara bipedal di atas air pada jarak tertentu. Di antarahewan arthropod, kecoak diketahui bergerak secara bipedal pada kecepatan tinggi . Bipedalisme sangat jarang ditemukan selain pada hewan darat, walau paling tidak ada dua tipe oktopus yang berjalan secara bipedal di laut menggunakan dua dari tangannya, membolehkan sisa tangan lainnya digunakan sebagai meng-kamuflase-kan oktopus sebagai kumpulan ganggang atau sebagai buah kelapa yang mengambang. [14]
Keterbatasan dan keeksklusifan bipedalisme dapat memberikan suatu spesies beberapa keuntungan. Bipedalisme mengangkat kepala; hal ini membuat pandangan yang lebih luas untuk mendeteksi bahaya atau sumber makanan yang lebih jauh, akses ke air yang lebih dalam bagi hewan yang mengarungi air dan membolehkan hewan mencapai sumber makanan yang tinggi dengan mulutnya. Sementara tungkai yang tidak bergerak menjadi bebas untuk digunakan, termasuk manipulasi (pada primata dan hewan-pengerat), terbang (pada burung), menggali (pada treggiling-besar), bertarung (pada beruang dan kadal besar) atau kamuflase (pada beberapa spesies oktopus). Kecepatan maksimum bipedal tampak lebih kurang cepat dari kecepatan maksimum pergerakan quadrupedal dengan tulang belakang yang fleksibel -- Burung unta mencapai kecepatan 65 km/h (40 mph) dan kangguru merah 70 km/h (43 mph), sementara cheetah dapat mencapai 100 km/h (62 mph). [15] [16] Kemampuan bipedal pada kangguru rat dihipotesiskan untuk membantu performansi berpindah [butuh klarifikasi], yang dapat membantu melarikan diri dari pemangsa. [17] [18]
Bipedalisme memiliki sejumlah keuntungan adaptif, dan telah berevolusi secara sendiri pada sejumlah garis keturunan.
Biped yang pertama kali diketahui yaitu bolosaurid Eudibamus yang fosilnya berusia 290 juta tahun lalu. [19] [20]
Kaki-belakangnya yang panjang, kaki-depan pendek, dan sendi khasnya memperlihatkan bipedalisme. Spesies ini punah sebelum dinosaurus ada.
Terpisah dari Eudibamus, beberapa spesies kadal modern telah mengembangkan kemampuan untuk berlari dengan kaki-belakangnya.
Bipedalisme juga berevolusi secara terpisah di antara dinosaurus. Dinosaurus terpisah dari leluhurnya archosaur sekitar 230 juta tahun lalu selama periode Pertengahan ke Akhir Triassic, diperkirakan 20 juta tahun setelah Kejadian Kepunahan Permian-Trassic menghabiskan sekitar 95% semua kehidupan di Bumi. [21] [22] Penanggalan Radiometric terhadap fosil dari genus sebelum dinosaurus Eoraptor masih ada dalam catatan fosil pada saat sekarang. Paleontologis percaya Eoraptor menyerupai leluhur umum dari semua dinosaurus; [23] jika benar, sifat-sifatnya menyatakan bahwa dinosaurus pertama bertubuh kecil, pemangsa bipedal. [24] Penemuan ornithodiran primitif, mirip-dinosaurus, seperti Marasuchus dan Lagerpeton di Argentina pada lapisan Middle Triassic mendukung pandangan ini; analisis dari fosil yang ditemukan menyatakan bahwa hewan-hewan tersebut benar bertubuh kecil, pemangsa bipedal.
Sejumlah mamalia akan berposisi bipedal pada situasi tertentu seperti saat memberi makanan atau bertarung. Sejumlah kelompok mamalia yang masih hidup telah berkembang secara bipedalisme secara sendiri sebagai bentuk perpindahan utama mereka—sebagai contoh manusia, trenggiling besar dan Kungkang Besar Darat yang telah punah, sejumlah spesies hewan-pengerat yang meloncat dan macropod. Manusia, bentuk bipedalisme telah dipelajari secara mendalam didokumentasikan di seksi selanjutnya. Macropod dipercaya telah berevolusi bipedal loncat hanya sekali dalam evolusi meraka, pada suatu waktu sekitar 45 juta tahun lalu. [25]
Paling kurang ada sekitar dua-belas hipotesis yang berbeda tentang bagaimana dan kenapa bipedalisme berevolusi pada manusia, dan juga beberapa debat mengenai waktunya. Bipedalisme berkembang baik sebelum otak besar manusia atau perkembangan alat batu. [26] Spesialisasi bipedalisme ditemukan pada fosil Australopithecus dari 4,2-3,9 juta tahun lalu. [27] Bukti terbaru terkait seksual dimorfisme (perbedaan fisik antara jantan dan betina) pada manusia modern pada pinggang tulang-belakang telah ditemukan saat primata pra-modern seperti Australopithecus africanus. Dimorfisme ini dilihat sebagai adaptasi secara evolusi dari betina memikul pinggang menahan lebih baik selama kehamilan, sebuah adaptasi yang mana primata selain-bipedal tidak memerlukannya. [28] [29] Hipotesis yang berbeda tidak saling-mendukung dan sejumlah kekuatan tertentu mungkin telah berperan bersama untuk membuat manusia mencapai bipedalisme. Sangat penting untuk membedakan antara adaptasi untuk bipedalisme dan adaptasi untuk berlari, yang terjadi kemudian.
Alasan yang mungkin untuk evolusi bipedalisme pada manusia termasuk membebaskan tangan untuk penggunaan alat dan membawa, seksual dimorfisme dalam memperoleh makanan, perubahan pada iklim dan habitat (dari hutan ke savana) yang menguntungkan posisi mata yang tinggi, dan untuk mengurangi jumlah kulit yang terbuka terhadap matahari tropis.
Menurut teori savana, hominines turun dari pohon dan beradaptasi dengan hidup di savana dengan berjalan tegak pada dua kaki. Teori ini menyarankan bahwa hominid purba terpaksa mengadaptasi pergerakan bipedal di savana terbuka setelah mereka meninggalkan pohon. Pada kenyataannya, hipotesis pergantian-denyut-nya Elizabeth Vrba mendukung teori savana dengan menjelaskan mengecilnya wilayah hutan dikarenakan pemanasan dan pendinginan global, yang memaksa hewan keluar ke tanah berumput dan menyebabkan hominid untuk memperoleh bipedilitas. [30]
Sebetulnya, adaptasi bipedal yang telah dimiliki hominines digunakan di savana. Catatan fosil memperlihatkan bahwa hominines bipedal purba masih beradaptasi dengan memanjat pohon pada saat mereka juga berjalan tegak. Fosil hominine yang ditemukan di lingkungan berumput mengarahkan para antropologis untuk percaya hominine hidup, tidur, berjalan tegak, dan mati hanya di lingkungan tersebut karena tidak ada fosil hominine ditemukan di wilayah hutan. Namun, fosilisasi adalah kejadian yang langka—kondisinya harus tepat supaya sebuah organisme yang mati menjadi fosil untuk ditemukan oleh seseorang nantinya, yang juga kejadian yang langka. Fakta bahwa tidak ada fosil hominine ditemukan di hutan tidak secara langsung mengarah ke kesimpulan bahwa tidak ada hominine yang pernah mati di sana. Karena meyakinkannya teori savana menyebabkan hal ini diabaikan lebih dari ratusan tahun. [31]
Beberapa fosil yang ditemukan memperlihatkan bahwa masih adanya adaptasi pada hidup pepohonan. Contohnya, Lucy, Australopithecus afarensis paling terkenal, ditemukan di Hadar, Etiopia, yang mungkin berhutan pada masa kematian Lucy, memiliki jari melengkung yang masih memberikan dia kemampuan untuk menggenggam cabang pohon, tetapi dia jalan dengan bipedal. "Little Foot", kumpulan dari tulang kaki Australopithecus africanus, memiliki perbedaan ukuran jempol dan juga kekuatan pergelangan kaki untuk berjalan tegak. "Little Foot" dapat memegang sesuatu menggunakan kakinya seperti kera, seperti cabang pohon, dan mereka bipedal. Serbuk purba yang ditemukan di tanah di lokasi tempat fosil-fosil tersebut ditemukan menyarankan bahwa wilayah tersebut dulunya ditutupi oleh tanaman dan hanya baru-baru ini menjadi gurun gersang seperti sekarang.[30]
Penjelasan lainnya adalah campuran savana dan hutan meningkatkan perjalanan darat oleh proto-manusia antara gugusan pohon, dan bipedalisme memberikan efisiensi yang lebih besar untuk perjalanan jarak jauh antara gugusan-gugusan tersebut daripada quadrupedalisme. [32] [33]
Hipotesis postur saat memberikan makanan baru-baru ini didukung oleh Dr. Kevin Hunt, seorang profesor di Universitas Indiana. Hipotesis ini menyatakan bahwa simpanse hanya bipedal saat mereka makan. Sementara saat di tanah, mereka menggapai buah-buahan yang menggantung di pohon kecil dan saat di pohon, bipedidalisme digunakan dengan mencapai dahan yang melebihi atas kepala. Pergerakan bipedal ini mungkin telah berkembang menjadi kebiasaan karena sangat cocok untuk mendapatkan makanan. Juga, Hunt berhipotesis bahwa pergerakan ini dibantu dengan evolusi tangan-bergantung-nya simpanse, karena pergerakan ini sangat efektif dan efisien dalam mendapatkan makanan. Saat menganalisis anatomi fosil, Australopithecus afarensis memiliki fitur tangan dan pundak yang mirip dengan simpanse, yang menandakan tangan-bergantung. Juga, panggul Australopithecus dan bagian belakang tungkai sangat memperlihatkan indikasi bipedalisme, tetapi fosil ini juga mengindikasikan pergerakan perpindahan yang sangat tidak efisien dibandingkan dengan manusia. Karena alasan ini, Hunt berargumen bahwa bipedalisme berkembang sebagai suatu postur memakan di daratan daripada postur berjalan.
Salah satu teori pada asal mula bipedalisme yaitu model perilaku yang digambarkan oleh C. Owen Lovejoy, dikenal sebagai "provisioning jantan". [34] Lovejoy memberikan teori bahwa evolusi bipedalisme terkait dengan monogami. Dihadapkan pada rentang kandungan yang lama dan tingkat reproduktif yang rendah pada kera, hominid awal melakukan hubungan-berpasangan yang membuat kegiatan berorang-tua mengarah ke mengasuh anak. Lovejoy mengajukan bahwa provisioning makanan pada jantan akan meningkatkan ketahanan anak dan meningkatkan tingkat reproduktif pasangan. Maka yang jantan akan meninggalkan pasangan dan anaknya untuk mencari makanan dan kembali membawa makanan di tangannya berjalan dengan kakinya. Model ini didukung oleh reduksi ("feminisasi") dari gigi taring jantan pada hominid awal seperti Sahelanthropus tchadensis [35] dan Ardipithecus ramidus, [36] yang juga bersamaan dengan dimorfisme ukuran tubuh yang rendah pada Ardipithecus [37] dan Australopithecus, [38] menyatakan suatu reduksi perilaku antagonistik pada hominid awal. [39] Sebagai tambahan, model ini didukung oleh sejumlah sifat manusia modern yang berkaitan dengan ovulasi tertutup (payudara besar yang permanen, hilangnya tonjolan seksual) dan rendahnya kompetisi sperma (ukuran testis yang cukup, jumlah sperma yang rendah) yang berpendapat menolah adaptasi terbaru terhadap sistem reproduktif poligini. [39]
Namun, model ini menimbulkan kontroversi, saat yang lain beralasan bahwa hominid awal yang bipedal merupakan poligini. Di antarakebanyakan primata monogami, jantan dan betina hampir berukuran sama. Dengan seksual dimorfisme sangat minim, dan penelitan lain telah menyarankan bahwa Australopithecus afarensis jantan memiliki berat dua-kali betinanya. Namun, modelnya Lovejoy berdasarkan pada rentang provisioning yang besar pada jantan akan menutupi (untuk menghindari bersaing dengan betina dalam sumber makanan yang mereka dapatkan sendiri) akan menyebabkan peningkatan ukuran tubuh untuk mengurangi risiko dimangsa. [40] Lebih lanjut, saat suatu spesies semakin bipedal, kaki tertentu akan membantu bayi mudah menempel pada ibunya—menghambat kebebasan ibunya [41] dan itu menyebabkan si ibu dan anaknya lebih bergantung pada sumber makanan yang dikumpulkan oleh yang lain. Primata modern yang monogimi seperti siamang condong ber-wilayah, tetapi bukti fosil menandakan bahwa Australopithecus afarensis hidup di kelompok besar. Namun, saat siamang dan hominid telah mengurangi seksual dimorfisme pada taring, siamang betina membesarkan ('maskulinisasi') taringnya supaya mereka dapat membagi secara aktif dalam wilayah pertahanan rumah mereka. Malahan, reduksi gigi taring pada hominid jantan konsisten dengan berkurangnya agresi antar-jantan pada suatu kelompok primata.
Penelitan terbaru terhadap Ardipithecus ramidus yang berusia 4,4 juta tahun menyatakan bipedalisme, memungkinkan bahwa bipedalisme berevolusi sangat awal pada homininae dan berkurang pada simpanse dan gorila saat mereka lebih berspesialisasi. Menurut Richard Dawkins dalam bukunya "The Ancestor's Tale", simpanse dan bonobo merupakan turunan dari spesies gracile tipe Australopithecus sementara gorila diturunkan dari Paranthropus. Kera-kera tersebut mungkin telah bipedal, tetapi mereka kehilangan kemampuan mereka saat kembali ke habitat arboreal, barangkali oleh australopithecines yang kemudian menjadi kita (lihat Homininae). Homininae awal seperti Ardipithecus ramidus mungkin telah memiliki tipe bipedalisme arboreal yang kemudian secara sendiri berevolusi ke arah berjalan-kepalan pada simpanse dan gorila[42] dan ke arah berjalan dan berlari pada manusia modern (lihat gambar). Juga diusulkan bahwa salah satu penyebah Punahnya Neanderthal adalah kurang efisien saat berlari.
Joseph Jordania dari Universitas Melbourne baru-baru ini (2011) menyatakan bahwa bipedalisme adalah salah satu elemen utama dari strategi bertahan dari hominid awal, berdasarkan pada aposematisme, atau menampilkan peringatan dan intimidasi terhadap pemangsa dan pesaing dengan sinyal visual dan suara yang berlebihan. Menurut model ini, hominid mencoba tampak terlihat dan bersuara sekeras mungkin selama memungkinkan. Beberapa perkembangan morfologi dan perilaku digunakan untuk memperoleh hasil ini: postur bipedal tegak-lurus, kaki yang panjang, rambut panjang melingkar di atas kepala, lukisan tubuh, pergerakan tubuh secara bersamaan saat menggertak, suara yang keras dan ritme yang sangat keras saat bernyanyi/menghentak/menambur pada subjek eksternal. [43] Perpindahan yang lambat dan kuatnya bau tubuh (keduanya merupakan karakteristik pada hominid dan manusia) adalah fitur lain yang digunakan spesies aposematic untuk memperlihatkan ketak-profitabilitas mereka terhadap pemangsa.
Ada berbagai ide yang mempromosikan perubahan tertentu pada perilaku sebagai kunci yang mengarahkan evolusi bipedalisme pada hominid. Sebagai contohnya, Wescott (1967) dan kemudian Jablonski & Chaplin (1993) menyatakan bahwa ancaman bipedal menampilkan bisa jadi transisi perilaku yang menyebabkan suatu kelompok kera mulai mengadopsi postur bipedal lebih sering. Yang lainnya (e.g. Dar 1925) telah memberikan ide bahwa kebutuhan untuk lebih waspada terhadap pemangsa bisa menjadi motivasi awal. Dawkins (e.g. 2004) telah beralasan bahwa ia dapat bermulai sebagai suatu bentuk gaya yang tertangkap dan kemudian meningkat lewat seleksi seksual. Dan ia telah dinyatakan (e.g. Tanner 1981:165) bahwa tampilan phallic jantan bisa menjadi insentif awal.
Model thermoregulatory menjelaskan asal mula bipedalisme sebagai salah satu teori paling sederhana yang lebih maju, tetapi mampu dijelaskan. Dr. Peter Wheeler, seorang profesor evolosionari biologi, mengajukan bahwa bipedalism menyebabkan beberapa area permukaan tubuh lebih tinggi dari atas tanah yang mengakibatkan penurunan panas yang didapat dan membantu menghilangnya panas. Saat hominid tinggi dari tanang, organisme tersebut mendapatkan kecepatan angin dan temperatur yang lebih disukai. Selama musim panas, tiupan angin yang keras mengakibatkan tingkat berkurangnya panas, yang mengakibatkan organisme tersebut lebih nyaman. Juga, Wheeler menjelaskan bahwa postur vertikal mengurangi tingkat pencahayaan matahari langsung sedangkan quadrupedalisme membuka tingkat pencahayaan tubuh yang lebih. Analisis dan interpretasi dari Ardipithecus mengungkap bahwa hipotesis ini membutuhkan modifikasi mempertimbangkan bahwa lingkungan hutan dan tanah berhutan mendahului praadaptasi pada tingkat-awal bipedalisme pada hominid perbaikan lebih lanjut terhadap bipedalisme oleh tekanan seleksi alam. Hal ini membolehkan ekploitasi lebih efisien terhadap kondisi ekologikal niche lebih panas, daripada kondisi panas sebagai stimulus awal bipedalism secara hipotesis.
Charles Darwing menulis bahwa "Manusia tidak akan mendapatkan posisi dominannya pada saat sekarang di dunia tanpa penggunaan tangannya, yang mana sangat mengagumkan beradaptasi terhadap tindak kepatuhan dari keinginannya" Darwin (1871:52) dan banyak model asal mula bipedal berdasarkan garis pemikirin ini. Gorden Hewes (1961) menyatakan bahwa membawa daging "pada jarak yang cukup jauh" (Hewes 1961:689) adalah faktor utama. Isaac (1978) dan Sinclair et al. (1986) memberikan modifikasi terhadap ide ini sebagaimana Lovejoy (1981) dengan 'model provisioning'-nya yang telah dijelaskan di atas. Lainnya, seperti Nancy Tanner (1981) telah menyarnakan bahwa membawa bayi adalah kuncinya, sementara yang lain menyarankan alat-alat batu dan senjata mengendalikan perubahan. [44]
Beberapa teori telah diajukan mengenai pengaruh air terhadap bipedalisme pada manusia. Hipotesis kera akuatik, dipromosikan beberapa dekade oleh Elaine Morgan, mengajukan bahwa berenang, menyelam dan sumber makanan air memberikan pengaruh yang kuat terhadap banyak aspek pada evolusi manusia, termasuk bipedalisme. [45] Hal ini tidak diterima atau dianggap bukan sebagai teori yang serius di antara komunitas ahli antropologi. [46] [47]
Teori lainnya menyatakan bahwa mengarungi dan eksploitasi sumber makanan di air [48] atau makanan cadangan saat krisis [49] ) mungkin telah memberikan tekanan secara evolusi pada leluhur manusia yang mendorong adaptasi yang kemudian membantu bipedalisme secara penuh.
Pergerakan bipedal terjadi dalam sejumlah cara, dan membutuhkan adaptasi mekanis dan neurologi. Beberapanya dijelaskan di bawah.
Energi-efisien berarti berdiri secara bipedal mengikutkan pengaturan keseimbangan yang konstan, dan tentu saja hal ini harus menghindari koreksi berlebihan. Kesulitan yang berhubungan dengan berdiri sederhana secara tegak-lurus pada manusia ditandai dengan meningkatnya risiko jatuh terjadi pada yang lebih tua, bahkan dengan reduksi minimal dalam sistem kontrol keefektifan.
Berjalan dikarakterisasikan dengan suatu pergeran "pendulum terbalik" dengan tubuh bertopang pada kaki pada setiap langkah. [50] Piring tenang dapat digunakan untuk mengukur energi kinetis dan potensi seluruh tubuh, dengan berjalan memperlihatkan hubungan di luar-fase yang mengindikasikan pertukaran antara keduanya. [50] Menariknya, model ini berlaku kepada semua organisme yang berjalan tanpa memperhatikan jumlah kakinya, dan maka perpindahan bipedal tidak berbeda dalam hal pergerakan seluruh-tubuh. [51]
Pada manusia, berjalan terdiri dari beberapa proses terpisah: [50]
Berlari dikategorikan sebagai suatu pergerakan massa-pegas. [50] Kinetis dan energi potensial dilakukan secara bertahap, dan energi disimpan dan dikeluarkan dari tungkai yang berbentuk pegas selama kontak telapak kaki. [50] Selanjutnya, kinetis seluruh tubuh mirip dengan hewan yang memiliki tungkai yang berlebih. [51]
Bipedalisme membutuhkan otot kaki yang kuat, terutama di paha. Dibandingkan dengan unggas domestikasi dengan otot kaki yang bagus, dengan sayap yang kecil dan bertulang. Begitu pula pada manusia, otot quadricep (paha depan) dan hamstring (urat lutut) pada kedua pahanya sangat penting untuk aktivitas bipedal sehingga kakinya lebih besar daripada bisep pada tangan.
Biped juga memiliki kemampuan bernapas saat berlari. Manusia biasanya bernapas setiap melangkah saat sistem aerobik-nya berfungsi. Selama berlari, pada saat sistem anaerobik terhentak, napas menjadi lambat sampai sistem anaerobic tidak dapat lagi meneruskan lari.
Selama abad 20, robot bipedal sangat susah dibuat dan pergerakan robot hanya melibatkan roda, tapak, atau beberapa kaki. Murah dan kecilnya kekuatan komputer baru-baru ini telah membuat robot dengan dua-kaki lebih memungkinkan. Robot biped yang terkenal yaitu ASIMO, HUBO dan QRIO. Baru-baru ini, dipacu oleh suksesnya membuat robot yang pasif keseluruhan, berjalan secara bipedal tanpa tenaga, [52] pekerjaan terhadap mesin tersebut telah mulai menggunakan prinsip yang diperoleh dari kajian pergerakan pada manusia dan hewan, yang terkadang bergantung pada mekanisme pasif untuk mengurangi konsumsi tenaga.
Seamless Wikipedia browsing. On steroids.
Every time you click a link to Wikipedia, Wiktionary or Wikiquote in your browser's search results, it will show the modern Wikiwand interface.
Wikiwand extension is a five stars, simple, with minimum permission required to keep your browsing private, safe and transparent.