Loading AI tools
Dari Wikipedia, ensiklopedia bebas
Aji Pangeran Tumenggung Pranoto, biasa disingkat A.P.T. Pranoto dan awalnya bergelar Aji Raden Yudopranoto[1] (14 September 1906 – 19 Juni 1976), adalah Gubernur Kalimantan Timur yang pertama dan menjabat dari tahun 1957 hingga 1961. Semasa Perang Kemerdekaan, Pranoto bertindak sebagai kepala kepolisian Kesultanan Kutai. Meski demikian, dia bersimpati terhadap perjuangan kemerdekaan Indonesia.[2]
A.P.T. Pranoto | |
---|---|
Gubernur Kalimantan Timur ke-1 | |
Masa jabatan 9 Januari 1957 – 1961 | |
Presiden | Soekarno |
Pendahulu Jabatan baru | |
Residen Kalimantan Timur | |
Masa jabatan 25 September 1954 – 9 Januari 1957 | |
Pengganti Jabatan dihapuskan | |
Informasi pribadi | |
Lahir | Aji Addin 14 September 1906 Tenggarong, Hindia Belanda |
Meninggal | 19 Juni 1976 69) Samarinda, Kalimantan Timur, Indonesia | (umur
Partai politik | PIR-Hazairin Nahdhatul Ulama |
Suami/istri | Aji Maisarah gelar Aji Raden Puspo Kusumo |
Orang tua | Aji Muhammad Alimuddin (ayah) |
Almamater | Universitas Leiden |
Profesi | Politisi |
Sunting kotak info • L • B |
Pranoto kemudian menjabat sebagai Residen Kalimantan Timur pada tahun 1956, sebelum menjadi gubernur pada tahun berikutnya. Dia juga anggota Partai Persatuan Indonesia Raya (PIR) Hazairin, lalu beralih menjadi anggota Partai Nahdhatul Ulama (NU) setelah PIR dibubarkan.[3] Masa jabatannya berakhir ketika dia ditahan pada tahun 1961 atas tuduhan korupsi. Pranoto ditahan di Balikpapan, lalu dipindahkan ke Jakarta. Dia kemudian dibebaskan pada masa Orde Baru dan kembali ke Samarinda, di mana dia kelak meninggal dunia.[4][5]
Pranoto lahir di Tenggarong pada tanggal 14 September 1906 dengan nama Aji Addin. Dia merupakan putra ketujuh dari Sultan Aji Muhammad Alimuddin dan saudara tiri dari Aji Muhammad Parikesit, sultan Kutai yang terakhir.[2][6] Pranoto menjalani studi di OSVIA (Opleiding School voor Inlandsche Ambtenaren) di Makassar dan setelah lulus, bekerja sebagai juru tulis pemerintah kesultanan di Tenggarong. Kemudian, Pranoto menjadi kepala distrik di Kota Bangun dan Sangasanga dari tahun 1927 hingga 1930.[7] Dia diangkat menjadi Tumenggung (perdana menteri) pada tahun 1935.[3][6]
Pada masa Revolusi Nasional, Pranoto menjabat sebagai kepala kepolisian Kesultanan Kutai. Namun, akibat simpatinya terhadap kemerdekaan Indonesia, dia tidak pernah menindak tegas para pejuang dan dengan sengaja menutup mata terhadap aksi-aksi mereka. Bahkan, saat utusan Barisan Sadewa mendatanginya pada tahun 1946, Pranoto menegaskan sendiri bahwa kesultanan bersedia untuk mendukung mereka.[2][3]
Meski demikian, Pranoto tidak pernah menentang Belanda secara terang-terangan. Bahkan, dia masih menjalin hubungan yang baik dengan mereka. Pada tanggal 27 Agustus 1947, dia diangkat menjadi kesatria Orde Oranye-Nassau.[8] Pranoto pun hadir dalam acara peresmian Ereveld Balikpapan pada tanggal 30 November 1948.[9] Pada tahun 1949, dia menjadi anggota delegasi dari Kalimantan Timur, bersama dengan Aji Raden Afloes, Aji Pangeran Sosronegoro, dan Aji Raden Djokoprawiro, yang pergi ke Batavia untuk membahas perihal Negara Kalimantan Timur dengan BFO (Bijeenkomst voor Federaal Overleg)[10]
Selain itu, Pranoto juga melanjutkan studinya di Fakultas Indologie Universitas Leiden pada bulan Oktober 1947 selama sepuluh bulan. Pranoto berangkat dari Makassar ke Belanda dan tinggal di Huize Koetei di Wassenaar, sebuah rumah yang dibeli oleh pemerintah Belanda dengan bantuan kesultanan untuk dijadikan tempat tinggal keluarga kesultanan dan pelajar dari Kalimantan Timur di Belanda.[11] Setelah menyelesaikan studinya, dia kembali ke Kalimantan dan tiba di Balikpapan pada tanggal 10 Agustus 1948.[12]
Berkat simpatinya terhadap kemerdekaan Indonesia, Pranoto dapat menaiki tangga birokrasi dengan mudah. Dia diangkat sebagai bupati yang diperbantukan kepada Gubernur Kalimantan pada tanggal 26 Agustus 1952.[2][6] Dia kemudian bergabung dan menjadi pengurus Partai PIR (Persatuan Indonesia Raya) di Kalimantan Timur, memberi dukungan terhadap Aji Raden Djokoprawiro yang saat itu menjadi anggota DPR mewakili partai tersebut dan juga sesama bangsawan Kutai. Saat terjadi perpecahan di tubuh PIR, Pranoto bergabung dengan fraksi Hazairin.[13]
Melalui bantuan dari Djokoprawiro dan Hazairin serta kedudukannya sebagai pejabat senior dalam jajaran pamong praja, dia diangkat menjadi Residen Kalimantan Timur pada tanggal 25 September 1954 oleh Gubernur Kalimantan, R.T.A. Milono, yang juga seorang anggota PIR.[14][15][16] Pengangkatan tersebut ditentang oleh banyak pihak. Semua partai politik kecuali PIR menolak pengangkatan tersebut. Anang Sulaiman, seorang pimpinan PNI di Samarinda, menganggap Pranoto tidak cakap dalam mengurus wilayah Kutai dan meragukan kapasitasnya sebagai residen. Sikap Pranoto yang dipandang proswapraja dan menganaktirikan Bulungan dan Berau juga menjadi faktor lain ketidakpopulerannya.[14] Meski demikian, karirnya tidak surut. Dia kemudian ditunjuk sebagai pelaksana tugas (Plt) Gubernur Kalimantan Timur yang pertama pada tanggal 9 Januari 1957 dan baru secara resmi dilantik menjadi gubernur pada tahun 1959.[2][3]
Akibat afiliasinya terhadap kelompok pro-swapraja, Pranoto sudah ditentang sejak awal masa jabatannya. Menjelang kedatangannya dari Banjarmasin ke Balikpapan pada tanggal 18 Januari 1957, tersebar desas-desus bahwa Pranoto akan diculik oleh sekelompok orang. Sekalipun tidak terjadi, selama perjalanan dari Balikpapan ke Samarinda, rombongan Pranoto mendapat beberapa sambutan yang tidak ramah, seperti sebuah poster yang bertuliskan "kami tidak setuju dengan gubernur eks-NICA".[17]
Selain itu, Pranoto juga harus menghadapi isu penyelundupan kopra. Menurut laporan dari pemerintah daerah, selama bulan Juni hingga Juli 1958, kurang lebih 10.000 ton kopra diselundupkan dari Kalimantan Timur ke Tawau. Perdagangan gelap ini memerlukan setidaknya 500 kapal untuk menjalankan operasinya dan membuat pemerintah pusat mengalami kerugian sebesar Rp 4 juta. Pranoto, yang sejak lama menentang praktik ini, berupaya untuk menindak tegas dengan meminta bantuan tambahan kapal patroli dari pemerintah pusat.[18][19]
Pranoto juga dihadapkan dengan kasus korupsi oleh Bataafsche Petroleum Maatschappij (BPM) yang menyebabkan kerugian besar bagi negara, di mana dia berjanji akan melakukan penyelidikan.[20] Pada tahun 1958, ia sempat diisukan menjadi komisaris PT Shell Indonesia di Balikpapan sebagai bagian dari program indonesianisasi yang dilakukan oleh Shell, yakni program untuk mengganti sebagian besar pegawai perusahaan berkebangsaan asing dengan pegawai Indonesia.[21]
Masa pemerintahannya juga diwarnai beberapa kemajuan. Untuk memajukan perekonomian daerah, Pranoto berhasil memperoleh izin untuk menetapkan Tarakan sebagai pelabuhan terbuka. Selain itu, dia juga berhasil meneken perjanjian dagang dengan Polandia untuk ekspor kopra dengan imbalan bantuan pinjaman materiil untuk pembangunan pabrik dan empat buah kapal dagang, masing-masing berkapasitas 600 ton. Pranoto juga mengadakan perjanjian konsesi ekstraksi minyak dengan Amerika Serikat.[18] Dia juga berjasa dalam mendirikan Balai Wartawan di Samarinda.[6][22]
Kedudukan Pranoto sebagai Gubernur sangat menguntungkan golongan bangsawan Kutai. Dia mengangkat Aji Raden Padmo, sesama bangsawan dan anggota PIR, sebagai Bupati Kabupaten Kutai yang pertama pada tanggal 20 Januari 1960. Pada hari yang sama, Pranoto juga mengangkat beberapa kepala daerah yang hampir semua berasal dari kalangan bangsawan, seperti Aji Raden Sayid Mohammad sebagai Wali Kota Balikpapan, Aji Raden Muhammad Ayub sebagai Bupati Berau, dan Andi Tjatjo gelar Datuk Wihardja sebagai Bupati Bulungan. Hanya Kapten Soedjono A.J. selaku Wali Kota Samarinda yang bukan berasal dari golongan bangsawan.[23] Setelah pembubaran PIR-Hazairin pada masa Demokrasi Terpimpin, Pranoto bergabung dengan Partai NU (Nahdhatul Ulama).[3] Selain itu, selaku Gubernur, Pranoto juga menjabat sebagai pengurus daerah Front Nasional di Kalimantan Timur pada tahun 1961.[24]
Menguatnya kedudukan bangsawan tidak disukai oleh golongan pejuang yang antifeodal dan terpusat di Balikpapan dan Samarinda. Mereka terlibat dalam persaingan politik dengan para bangsawan. Sebagian besar dari para pejuang di Samarinda tergabung dalam PNI, sedang di Balikpapan didominasi oleh Murba. Untuk menandingi Pranoto, PNI menunjuk Inche Abdul Muis, yang juga seorang anggota partai, sebagai Kepala Daerah Kalimantan Timur. Penunjukkan ini dipermudah dengan dominasi PNI di parlemen provinsi. PNI menggunakan UU Nomor 1 Tahun 1957 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah, yang mewajibkan Gubernur bekerja sama dengan seorang Kepala Daerah dalam menjalankan pemerintahan, sebagai dasar hukum untuk penunjukkan ini.[2][25]
Selain golongan pejuang, Pranoto juga tidak disukai oleh pihak militer, terutama Pangdam IX/Mulawarman, Kolonel Soehario Padmodiwirio yang antifeodal dan dekat dengan golongan kiri. Jenderal Abdul Haris Nasution juga memandang negatif Pranoto, menganggapnya "menyeleweng" sejak dia hendak mengangkat Pangdam sebelumnya, Kolonel Hartojo, menjadi seorang pangeran. Izin yang diberikan oleh Pranoto kepada Bupati Bulungan saat itu, Andi Tjatjo, untuk bebas bepergian ke Tawau juga menambah rasa curiga Soehario padanya.[26] Soehario juga menganggap Pranoto bertanggung jawab atas nasib malang para transmigran dari Jawa Tengah di Petung, yang alih-alih mengerjakan lahan pertanian, terpaksa mengerjakan proyek pemasangan pipa minyak BPM dari Tanjung ke Balikpapan dan diterlantarkan begitu saja sehingga sebagian besar terpaksa mengemis di Balikpapan.[27]
Akibat tuntutan DPRD Kalimantan Timur, pada tahun 1961, ia diberhentikan dari jabatannya.[28] Pada bulan Februari 1962, Pranoto ditahan oleh pihak kepolisian atas tuduhan tindak pidana korupsi penggelapan uang negara sebesar Rp 13 juta.[a] Pranoto mulai ditahan di RTM (Rumah Tahanan Militer) Budi Utomo di Jakarta pada tanggal 22 Februari 1962 dan di sana ia diinterogasi.[30] Ia kemudian dipindah pada awal April 1963 ke Rutan Balikpapan di kawasan Stalkuda untuk menunggu persidangannya. Pihak kejaksaan telah menyita uang sebanyak Rp 30.032 dan sebuah cek bernilai Rp 1.190.389 sebagai barang bukti.[31] Meskipun tuduhan tersebut terbukti benar, namun menurut Harun Nafsi, yang sebenarnya dilakukan Pranoto adalah membagi-bagikan uang tersebut kepada kawan-kawan dan sekutunya yang benar-benar memerlukan uang. Hal ini sudah menjadi kebiasaannya saat masih menjadi pejabat kesultanan.[4]
Untuk menggantikan Pranoto, Soehario mengusulkan Abdoel Moeis Hassan, salah seorang calon yang diusung PNI, kepada Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Ipik Gandamana.[32] Pranoto akhirnya dibebaskan dari tahanan pada awal masa Orde Baru dan kembali ke Samarinda. Di sana, dia tinggal di Perumahan Voorfo bersama keluarganya. Ia meninggal di kediamannya pada tanggal 19 Juni 1976.[5][6]
Pranoto menikah dengan seorang wanita bernama Aji Maisarah gelar Aji Raden Puspo Kusumo. Pasangan tersebut dikaruniai 17 anak. Di kalangan masyarakat, Pranoto dikenal sebagai pribadi yang ramah dan kooperatif. Menurut putrinya, Aji Juwita Kirana, dia selalu mengulurkan tangannya untuk memberi bimbingan kepada siapa pun, termasuk keluarganya. Selain itu, Pranoto juga selalu berusaha untuk menyelesaikan permasalahannya sendiri.[2][6]
Saat masih menjabat sebagai kepala distrik Kota Bangun, Pranoto terlibat dalam penganiayaan seorang mandor bernama Salman bin Hadji Demang di Tenggarong. Kejadian tersebut berlangsung pada malam tanggal 14 Februari 1928 di kediaman seorang Raden Soedjono sekitar pukul delapan hingga sembilan malam.[7] Saat kejadian, Salman hendak mencari anak buahnya untuk mengangkut muatan perahu seperti yang diperintahkan atasannya. Sebab itu, dia hendak menemui salah seorang kenalannya, Soemo, di kediaman Raden Soedjono. Setibanya di sana, dia ditahan oleh empat orang, termasuk Pranoto yang saat itu membawa sebilah mandau. Mereka menahannya dengan dalih perselisihan di masa lalu antara Salman dengan keluarga sultan.[33]
Tak lama kemudian, terjadi bentrok antara kedua belah pihak. Salman ditahan oleh salah seorang tersangka, lalu dipukul oleh Aji Pangeran Soemantri (bernama asli Aji Mohammad Ilyasin), dengan sebalok kayu hingga kakinya patah. Setelah jatuh ke tanah, dia ditendang lagi oleh tersangka yang lain, Aji Bambang Mohammad Saleh. Kemudian, datang beberapa orang ke lokasi, termasuk sultan sendiri dan seorang bernama Bambang Djanidin. Djanidin mengejek Salman dengan mengatakan bahwa dia akan mati pada malam itu, dan seandainya mereka bertemu pada hari kemarin, dia seharusnya mati saat itu juga. Salman lalu tak sadarkan diri, sebelum akhirnya dibawa ke rumah sakit dan berhasil siuman.[7][33]
Setelah dua tahun berlalu, kasus ini akhirnya dibawa ke meja hijau. Saat persidangan, Soemantri berdalih bahwa dia hanya menahan Salman, bukan memukulnya. Soemantri juga mengatakan bahwa dia mendengar dari Pranoto bahwa ada seorang tahanan yang kabur dan bersembunyi di kolong rumah Raden Soedjono. Karena itu, dia langsung bergegas untuk mencari Salman dan keduanya terlibat cekcok. Pranoto lalu pergi mencari bantuan dan setelah kembali, menemui keduanya sudah jatuh ke tanah. Dia membangunkan Soemantri dan karena tidak mengenali Salman di kegelapan, menendangnya berkali-kali.[33]
Namun, ketika ditanya oleh jaksa penuntut mengenai apa yang ia pikir dilakukan oleh Salman di bawah rumah Soedjono, dia tidak bisa menjawab. Dia juga tak bisa menjelaskan mengapa Salman dianiaya jika tidak ada dasar yang jelas. Jaksa juga menunjukkan bahwa kaki Salman patah bukan karena ditendang, tetapi karena pukulan balok kayu. Awalnya, Pranoto dituntut dua bulan penjara oleh jaksa. Akan tetapi, oleh pengadilan di Surabaya dia hanya divonis bayar denda sebesar ƒ200 (dua ratus gulden).[33][34][35]
Pada tahun 1932, Pranoto dibuang oleh pemerintah kolonial bersama dengan dua orang lainnya, Aji Raden Afloes dan Aji Bambang Hassan, karena terbukti melakukan penggelapan uang. Pranoto dan Hassan dibuang ke Muara Teweh, sedangkan Afloes dibuang ke Kuala Kurun. Mereka tiba di Banjarmasin pada tanggal 21 Juni 1932 setelah diangkut dengan kapal SS Van Diemen.[36][37]
Nama Pranoto diabadikan sebagai nama bandar udara internasional di Samarinda, Bandar Udara Internasional APT Pranoto yang dibuka pada tanggal 24 Mei 2018. Selain itu, namanya juga diabadikan sebagai nama sebuah jalan utama di Kecamatan Samarinda Seberang.
Seamless Wikipedia browsing. On steroids.
Every time you click a link to Wikipedia, Wiktionary or Wikiquote in your browser's search results, it will show the modern Wikiwand interface.
Wikiwand extension is a five stars, simple, with minimum permission required to keep your browsing private, safe and transparent.