Loading AI tools
seorang sastrawan, penyair, dan tokoh teater Indonesia Dari Wikipedia, ensiklopedia bebas
Dr. (H.C.) Willibrordus Surendra Broto Narendra, S.S., M.A. (7 November 1935 – 6 Agustus 2009 ) atau dikenal sebagai W.S. Rendra adalah penyair, dramawan, aktor dan sutradara teater berkebangsaan Indonesia.
W.S. Rendra | |
---|---|
Lahir | Willibrordus Surendra Broto Narendra 7 November 1935 Solo, Hindia Belanda |
Meninggal | 6 Agustus 2009 73) Depok, Jawa Barat | (umur
Pekerjaan | Penulis, aktor, sutradara teater |
Bahasa | Indonesia |
Kebangsaan | Hindia Belanda Indonesia |
Pendidikan | Sastra Inggris, Universitas Gadjah Mada, American Academy of Dramatic Arts |
Periode | Angkatan '50 (1952–2009) |
Genre | Puisi, drama, terjemahan |
Tema | Politik, cinta, alam, dll. |
Aliran sastra | Simbolisme (masa awal) Realisme |
Karya terkenal | Blues untuk Bonnie |
Penghargaan | Anugerah Seni dari Pemerintah Republik Indonesia (1970), S.E.A. Write Award (1996), dll |
Pasangan | Sunarti Suwandi Raden Ayu Sitoresmi Prabuningrat Ken Zuraida |
Anak | Theodorus Setya Nugraha Andreas Wahyu Wahyana Daniel Seta Samuel Musa Clara Sinta Yonas Salya Sarah Drupadi Naomi Srikandi Rachel Saraswati Isaias Sadewa Maryam Supraba |
Kerabat | Raden Cyprianus Sugeng Brotoatmodjo Raden Ayu Catharina Ismadillah (orang tua), Adi Kurdi (adik ipar) |
Sejak muda dia menulis puisi, skenario drama, cerpen, dan esai sastra di berbagai media massa.[1] Dia pernah mengenyam pendidikan di Universitas Gajah Mada dan dari perguruan tinggi itu Rendra menerima gelar Doktor Honoris Causa.[2] Penyair yang kerap dijuluki sebagai "Burung Merak"[3] ini, pada tahun 1967 mendirikan Bengkel Teater di Yogyakarta. Melalui Bengkel Teater itu, Rendra melahirkan banyak seniman antara lain Sitok Srengenge, Radhar Panca Dahana, Adi Kurdi, dan lain-lain. Ketika kelompok teaternya kocar-kacir karena tekanan politik, ia memindahkan Bengkel Teater ke Depok, Oktober 1985.[4]
Rendra adalah anak dari pasangan R. Cyprianus Sugeng Brotoatmodjo dan Raden Ayu Catharina Ismadillah. Ayahnya adalah seorang guru bahasa Indonesia dan bahasa Jawa pada sekolah Katolik, Solo, di samping sebagai dramawan tradisional; sedangkan ibunya adalah penari srimpi di Keraton Surakarta Hadiningrat. Masa kecil hingga remaja Rendra dihabiskannya di kota kelahirannya.
Pernikahan Rendra dengan Sunarti Suwandi dan Sitoresmi Prabuningrat berakhir dengan perceraian, dan terakhir ia menikahi Ken Zuraida yang juga seniman teater. Dari ketiga istrinya, Rendra dikaruniai sebelas orang anak.
Bakat sastra Rendra sudah mulai terlihat ketika ia duduk di bangku SMP. Saat itu ia sudah mulai menunjukkan kemampuannya dengan menulis puisi, cerita pendek, dan drama untuk berbagai kegiatan sekolahnya. Bukan hanya menulis, ternyata ia juga piawai di atas panggung. Ia mementaskan beberapa dramanya dan tampil sebagai pembaca puisi yang berbakat.
Ia pertama kali memublikasikan puisinya di media massa pada tahun 1952 melalui majalah Siasat. Setelah itu, puisi-puisinya pun menghiasi berbagai majalah pada saat itu, seperti Kisah, Seni, Basis, Konfrontasi, dan Siasat Baru. Hal itu terus berlanjut seperti terlihat dalam majalah-majalah pada dekade selanjutnya, terutama majalah tahun 1960-an dan 1970-an.
Kaki Palsu adalah drama pertamanya, dipentaskan ketika SMP dan Orang-orang di Tikungan Jalan adalah drama pertamanya yang mendapat penghargaan dan hadiah pertama dari Kantor Wilayah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Yogyakarta. Pada saat itu ia sudah duduk di SMA. Penghargaan itu membuatnya sangat bergairah untuk berkarya. Prof. A. Teeuw, di dalam bukunya, Sastra Indonesia Modern II (1989), berpendapat bahwa dalam sejarah kesusastraan Indonesia modern Rendra tidak termasuk ke dalam salah satu angkatan atau kelompok seperti Angkatan 45, Angkatan 60-an, atau Angkatan 70-an.
Karya-karya Rendra tidak hanya terkenal di dalam negeri, tetapi juga di luar negeri. Banyak karyanya yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa asing, di antaranya bahasa Inggris, Belanda, Jerman, Jepang, dan India.
Ia juga aktif mengikuti festival-festival di luar negeri, di antaranya The Rotterdam International Poetry Festival (1971 dan 1979), The Valmiki International Poetry Festival, New Delhi (1985), Berliner Horizonte Festival, Berlin (1985), The First New York Festival Of the Arts (1988), Spoleto Festival, Melbourne, Vagarth World Poetry Festival, Bhopal (1989), World Poetry Festival, Kuala Lumpur (1992), dan Tokyo Festival (1995).
Pada tahun 1967, sepulang dari Amerika Serikat, ia mendirikan Bengkel Teater yang sangat terkenal di Indonesia dan memberi suasana baru dalam kehidupan teater di tanah air. Namun sejak 1977 ia mendapat kesulitan untuk tampil di muka publik baik untuk mempertunjukkan karya dramanya maupun membacakan puisinya. Kelompok teaternya pun tak pelak sukar bertahan. Untuk menanggulangi ekonominya Rendra hijrah ke Jakarta, lalu pindah ke Depok. Pada 1985, Rendra mendirikan Bengkel Teater Rendra yang masih berdiri sampai sekarang dan menjadi basis bagi kegiatan keseniannya. Bengkel teater ini berdiri di atas lahan sekitar 3 hektar yang terdiri dari bangunan tempat tinggal Rendra dan keluarga, serta bangunan sanggar untuk latihan drama dan tari. Di lahan tersebut tumbuh berbagai jenis tanaman yang dirawat secara asri, sebagian besar berupa tanaman keras dan pohon buah yang sudah ada sejak lahan tersebut dibeli, juga ditanami baru oleh Rendra sendiri serta pemberian teman-temannya. Puluhan jenis pohon antara lain, jati, mahoni, eboni, bambu, turi, mangga, rambutan, jengkol, tanjung, singkong, dan lain-lain.
Profesor Harry Aveling, seorang pakar sastra dari Australia yang besar perhatiannya terhadap kesusastraan Indonesia, telah membicarakan dan menerjemahkan beberapa bagian puisi Rendra dalam tulisannya yang berjudul “A Thematic History of Indonesian Poetry: 1920 to 1974”. Karya Rendra juga dibicarakan oleh seorang pakar sastra dari Jerman bernama Profesor Rainer Carle dalam bentuk disertasi yang berjudul Rendras Gedichtsammlungen (1957—1972): Ein Beitrag Zur Kenntnis der Zeitgenossichen Indonesischen Literatur. Verlag von Dietrich Reimer in Berlin: Hamburg 1977.
Beberapa puisinya telah digubah menjadi musik klasik, baik dalam format tembang puitik maupun paduan suara oleh komponis dan pianis Ananda Sukarlan .
Baru pada usia 24 tahun, ia menemukan cinta pertama pada diri Sunarti Suwandi. Dari wanita yang dinikahinya pada 31 Maret 1959 itu, Rendra mendapat lima anak: Theodorus Setya Nugraha, Andreas Wahyu Wahyana, Daniel Seta, Samuel Musa, dan Clara Sinta. Romantisme percintaan mereka memberi inspirasi Rendra sehingga lahir beberapa puisi yang kemudian diterbitkan dalam satu buku Empat Kumpulan Sajak.
Pada tahun 1971, Raden Ayu Sitoresmi Prabuningrat ditemani oleh kakaknya R. A. Laksmi Prabuningrat, keduanya adalah putri darah biru Keraton Yogyakarta mengutarakan keinginannya untuk menjadi murid Rendra dan bergabung dengan Bengkel Teater. Tak lama kemudian Rendra melamar Sito untuk menjadi istri kedua, dan Sito menerimanya. Peristiwa itu, tak pelak lagi, mengundang berbagai komentar sinis seperti mengenai masuknya Rendra menjadi Islam hanya untuk poligami. Tetapi alasan yang lebih prinsipil bagi Rendra, karena Islam bisa menjawab persoalan pokok yang terus menghantuinya selama ini, yakni kemerdekaan individual sepenuhnya. "Saya bisa langsung beribadah kepada Allah tanpa memerlukan pertolongan orang lain. Sehingga saya merasa hak individu saya dihargai," katanya sambil mengutip ayat Al-Qur'an, yang menyatakan bahwa Allah lebih dekat dari urat leher seseorang. Dari Sitoresmi, ia mendapatkan empat anak: Yonas Salya, Sarah Drupadi, Naomi Srikandi, dan Rachel Saraswati.
Sang Burung Merak kembali mengibaskan keindahan sayapnya dengan mempersunting Ken Zuraida, istri ke-3 yang memberinya dua anak, yaitu Isaias Sadewa dan Maryam Supraba. Tetapi pernikahan itu harus dibayar mahal karena tak lama sesudah kelahiran Maryam, Rendra diceraikan Sitoresmi pada 1979, dan Sunarti pada tahun 1981.
Sejak tahun 1977 ketika ia sedang menyelesaikan film garapan Sjumanjaya, Yang Muda Yang Bercinta ia dicekal pemerintah Orde Baru. Semua penampilan di muka publik dilarang. Ia menerbitkan buku drama untuk remaja berjudul Seni Drama untuk Remaja dengan nama Wahyu Sulaiman. Tetapi di dalam berkarya ia menyederhanakan namanya menjadi Rendra saja sejak 1975.
Tahun | Judul | Peran | Keterangan |
---|---|---|---|
1972 | Cintaku Jauh di Pulau | Bondan | |
1977 | Terminal Cinta | Joki Tobing | |
Yang Muda yang Bercinta | Sony | ||
Al Kautsar | Saiful Bachri | ||
2007 | Lari dari Blora | Simbah | |
2008 | Kantata Takwa | Film dokumenter |
Seamless Wikipedia browsing. On steroids.
Every time you click a link to Wikipedia, Wiktionary or Wikiquote in your browser's search results, it will show the modern Wikiwand interface.
Wikiwand extension is a five stars, simple, with minimum permission required to keep your browsing private, safe and transparent.