Loading AI tools
Dari Wikipedia, ensiklopedia bebas
Prof. Dr. Raden Benedictus Slamet Muljana (21 Maret 1929 – 2 Juni 1986 ),[1] adalah seorang filolog dan sejarawan dari Indonesia.
Artikel ini membutuhkan rujukan tambahan agar kualitasnya dapat dipastikan. |
Biografi | |
---|---|
Kelahiran | 21 Maret 1929 Yogyakarta |
Kematian | 2 Juni 1986 (57 tahun) Jakarta |
Data pribadi | |
Pendidikan | Universitas Gadjah Mada Universitas Indonesia |
Kegiatan | |
Pekerjaan | sejarawan |
Slamet Muljana memperoleh gelar B.A. dari Universitas Gadjah Mada tahun 1950, gelar M.A. dari Universitas Indonesia tahun 1952, gelar Doktor Sejarah dan Filologi dari Universitas Louvain, Belgia, tahun 1954, serta menjadi profesor pada Universitas Indonesia sejak tahun 1958.
Slamet Muljana pernah mengajar di Universitas Gadjah Mada, IKIP Bandung (Universitas Pendidikan Indonesia sekarang), Akademi Penerangan, dan Akademi Jurnalistik. Selain itu ia juga pernah mengajar di luar negeri, antara lain, Wolfgang Goethe Universitat (Frankfurt, Jerman), State University of New York (Albany, Amerika Serikat), dan Nanyang University of Singapore (Singapura). Serta ia pernah pula menjabat sebagai direktur Institut untuk Bahasa dan Kebudayaan di Singapura, serta menjadi anggota dewan kurator pada Institute of Southeast Asian Studies di Singapura.
Buku-buku hasil karya Slamet Muljana yang pernah diterbitkan, antara lain:
"Sekali fakta sejarah itu ditemukan, fakta itu tidak akan dapat diubah. Meskipun fakta sejarah itu mungkin terlalu pedas untuk dirasakan, ilmu sejarah tetap mengejar-ngejarnya".
— Tulis Slamet Muljana dalam kata pengantar bukunya.[2]
Karya-karya Slamet Muljana dalam ilmu Sejarah tidak jarang mengundang kontroversi dari para pembacanya. Misalnya dalam buku Runtuhnja keradjaan Hindu-Djawa dan timbulnja negara-negara Islam di Nusantara (1968) dengan berani ia menyatakan bahwa Walisongo adalah para ulama keturunan Tionghoa. Pendapat tersebut mengundang reaksi keras karena kepercayaan masyarakat yang sudah terlanjur kuat, bahwa anggota-anggota Walisongo adalah keturunan Arab. Tidak hanya itu, pemerintah Orde Baru bahkan melarang terbit buku tersebut, karena saat itu sedang maraknya sentimen anti Tiongkok. Slamet Muljana mendasarkan pendapatnya tersebut pada kronik Tionghoa dari klenteng Sam Po Kong. Namun demikian sejarawan lainnya Agus Sunyoto membantahnya dengan mengatakan bahwa kronik Tionghoa tersebut hanyalah fiktif belaka.[3] Penelitian baru tahun 2017 berkesimpulan bahwa kronik Tionghoa dari Semarang dan Cirebon, yang banyak dikutip dalam karyanya, merupakan hoax atau palsu, dibuat pada masa modern di abad ke-20.[4]
Karya Slamet Muljana yang lain juga berani menentang pendapat umum. Dalam buku Sriwijaya (1960), ia berpendapat bahwa Rakai Panangkaran adalah anggota keluarga Syailendra yang telah mengalahkan keturunan Sanjaya. Padahal pendapat umum mengatakan kalau Rakai Panangkaran adalah putra Sanjaya yang menjadi bawahan Syailendra.
Seamless Wikipedia browsing. On steroids.
Every time you click a link to Wikipedia, Wiktionary or Wikiquote in your browser's search results, it will show the modern Wikiwand interface.
Wikiwand extension is a five stars, simple, with minimum permission required to keep your browsing private, safe and transparent.