Loading AI tools
salah satu kelompok marga Batak Dari Wikipedia, ensiklopedia bebas
Si Opat Pisoran atau Si Opat Pusoran (Surat Batak: ᯘᯪ ᯀᯬᯇᯖ᯲ ᯇᯪᯘᯬᯒᯉ᯲; ᯘᯪ ᯀᯬᯇᯖ᯲ ᯇᯮᯘᯬᯒᯉ᯲) merupakan pengelompokan marga-marga keturunan Guru Mangaloksa.[1]
Guru Mangaloksa adalah anak kedua dari Raja Hasibuan. Pada suatu hari, ia berburu ke hutan, kebetulan Guru Mangaloksa mahir menggunakan sumpit (ultop). Ketika sedang berburu, ia berhasil menyumpit seekor burung yang konon katanya sebesar kambing, namun burung tersebut tidak langsung mati, melainkan terbang. Guru Mangaloksa pun mengikuti burung tersebut, namun tanpa disadari, ia sudah semakin jauh dari kampung. Ketika dia sadar, dia tidak mengenal tempat itu. Namun tiba-tiba dia melihat asap, dan beliaupun mencari tahu asal asap itu. Dan akhirnya Guru Mangaloksa sampai lah ke Tarutung. Ternyata kampung tersebut milik marga Pasaribu.
Pada saat itu, kampung sedang dilanda teror. Di kampung tersebut sering didatangi burung rajawali berkepala tujuh yang suka memangsa anak-anak dan hewan ternak. Sudah banyak cara yang dilakukan Raja Pasaribu untuk mengusir burung tersebut, namun hasilnya sia-sia. Akhirnya Guru Mangaloksa yang pandai menggunakan sumpit dan juga sakti itu, menawarkan diri untuk membunuh burung tersebut. Dan akhirnya dia berhasil membunuh burung rajawali berkepala tujuh itu. Sebagai imbalan, Raja Pasaribu memberikan salah seorang putrinya untuk dijadikan istri oleh Guru Mangaloksa.
Setelah Guru Mangaloksa menikah dengan boru Pasaribu, Guru Mangaloksa berniat meminta sedikit tanah untuk bertani kepada mertuanya (Raja Pasaribu). Sehingga dia mengutus istrinya untuk menghadap sang raja. Namun ternyata terjadi salah paham, Guru Mangaloksa meminta sedikit tanah yang oleh Raja Pasaribu diartikan berbeda. Dia pun memberikan tanah dalam tandok (tempat beras/padi) untuk dibawa boru Pasaribu ke suaminya (Guru Mangaloksa).
Melihat hal itu, Guru Mangaloksa sakit hati terhadap mertuanya. Namun dia tidak ingin bertengkar dengan mertuanya. Akhirnya dia memikirkan sebuah siasat untuk mengelabui mertuanya dan menyuruh mereka untuk keluar dari kampung tersebut.
Guru Mangaloksa membuat seolah-olah kampung mereka sedang dikepung musuh, kemudian dia meletakkan poring (sebuah tanaman jika dipijak akan menimbulkan bunyi seperti letusan senjata). Ketika dia menyampaikan kabar bahwa kampung telah di kepung musuh, mertuanya pun panik dan berlari keluar. Tiba-tiba dia menginjak poring tadi, mertuanya mengira itu adalah suara letusan senapan (bodil) musuh. Akhirnya Guru Mangaloksa berhasil mengajak mertuanya mengungsi. Sejak kejadian itu ada ungkapan dalam masyarakat batak yaitu “Pasaribu na dilele ni poring (Pasaribu yang dikejar poring)”.
Dalam perjalanan ke pengungsian bersama mertuanya, Guru Mangaloksa meminta izin kepada mertuanya untuk kembali ke kampung untuk melihat keadaan, dan mertuanya pun merestui. Tiba di tepi Aek Situmandi, anak pertama Guru Mangaloksa dilahirkan. Anak itu diberi nama Si Raja Nabarat (yang akan menurunkan marga Hutabarat). "Na barat " , dalam bahasa Batak, berarti "yang berlawanan". Saat itu, Guru Mangaloksa menyadari perbuatannya sebelumnya terhadap mertuanya (hula-hula) sebenarnya berlawanan.[butuh rujukan]
Kemudian lahirlah anak kedua, yang dinamakan Si Raja Panggabean, yang berarti "sejahtera". Guru Mangaloksa melihat, walaupun dia telah berbuat salah terhadap mertua (hula-hula) nya, tetapi dia masih diberikan kesejahteraan (hagebeon).
Anak ketiga diberi nama Si Raja Hutagalung. Dan anak keempat diberi nama Si Raja Hutatoruan (yang akan menurunkan marga Hutapea dan Lumbantobing).
Adapun marga-marga Si Opat Pisoran dari keturunan Guru Mangaloksa adalah:
Seamless Wikipedia browsing. On steroids.
Every time you click a link to Wikipedia, Wiktionary or Wikiquote in your browser's search results, it will show the modern Wikiwand interface.
Wikiwand extension is a five stars, simple, with minimum permission required to keep your browsing private, safe and transparent.