Risiko nilai tukar adalah risiko yang terjadi pada hubungan mata uang dalam negeri dan mata uang asing akibat adanya fluktuasi perusahaan dalam ekonomi makro.[1] Oleh karena itu risiko nilai tukar sering disebut risiko valuta asing. Apabila terjadi fluktuasi kecil, maka nilai ketidakpastiannya relatif masih rendah dan wajar. Namun, apabila pergerakannya tidak terkontrol bisa mengakibatkan ketidakpastian ketika pengambilan keputusan ekonomi bagi bisnis. Dampak lainnya stabilitas keuangan perusahaan akan terganggu. Nilai tukar mampu memberikan informasi mengenai seluruh aspek yang ada dalam bisnis, mulai dari pendapatan, pembiayaan, operasional, hingga investasi. Apabila pergerakan mengarah kepada hal yang merugikan nilai tukar akan menghambat untuk mendapatkan keuntungan bagi perusahaan, juga berdampak dalam pergerakan arus kas dan nilai perusahaan. Hal yang mengakibatkan risiko nilai tukar, salah satunya fundamental dari pernawaran dan permintaan di pasar valuta asing.[2]

Risiko nilai tukar memang tidak bisa dihindari, perusahaan harus memiliki kesiapan bila sewaktu-waktu terjadi. Hal ini dikarenakan nilai tukar bersifat fluktuatif. Dampak dari pergerakan tersebut bisa menimbulkan risiko nilai tukar dan beberapa dampak lainnya. Pertama, depresiasi merupakan nilai suatu mata uang mengalami penurunan terhadap nilai mata uang asing dalam sistem nilai nilai tukar. Kedua, apresiasi merupakan naiknya nilai mata uang terhadap nilai mata uang asing dalam sistem nilai tukar. Ketiga, devaluasi merupakan kebijakan yang dibuat oleh suatu negara untuk menurunkan nilai mata uang terhadap mata uang asing. Keempat, revaluasi merupakan kebijakan yang dibuat oleh suatu negara agar menaikkan nilai mata uang terhadap mata uang asing.[3] Risiko nilai tukar terjadi akibat peranan beberapa pihak di antaranya, investor yang melakukan investasi pasar modal. Pengembalian yang dilakukan oleh perusahaan setelah investasi akan dipengaruhi oleh nilai tukar. Selain itu, aktivitas ekspor dan impor. Harga produk yang berasal dari pasar luar negeri akan berpengaruh terhadap kegiatan ekspor. Harga barang yang berasal dari luar negeri dan masuk ke pasar domestik akan mempengaruhi kegiatan impor. Perusahaan yang mendapatkan pinjaman dana dari luar negeri juga akan berpengaruh terhadap risiko nilai tukar. Apabila nilai tukar tersebut berubah, maka pengembalian utang dan pembayaran bunga akan mengikuti nilai pada waktu pelunasan.[2]

Jenis

Risiko transaksi

Risiko transaksi atau biasa disebut eksposur transaksi merupakan risiko yang dialami oleh perusahaan dikarenakan transaksi langsung dikarenakan oleh mata uang asing. Perusahaan yang mengalami risiko transaksi merupakan perusahaan yang biasa melakukan perdagangan internasional. Eksposur yanng meningkat mengakibatkan kerugian yang besar bagi perusahaan. Eksposur transaksi akan berpengaruh terhadap aliran kas jangka pendek. Kegiatan yang berpotensi menimbulkan risiko transaksi yaitu pinjaman luar negeri yang akan jatuh tempo.[4]

Risiko translasi

Eksposur translasi memiliki fokus utama mengenai perubahan di dalam kepemilikan laporan keuangan di ekuitas. Risiko translasi tidak berdampak terhadap arus kas perusahaan. Namun, risiko translasi berdapak terhadap profitabilitas perusahaan, serta berpengaruh terhadap harga saham.[5]

Risiko ekonomi

Risiko ekonomi berdampak terhadap perubahan nilai tukar. Dampak tersebut berpengaruh terhadap pendapatan dan biaya operasi. Pergerakan nilai tukar megakibatkan nilai tukar terhadap arus kas di masa depan, serta berpengaruh terhadap valuasi terhadap nilai perusahaan. Pergerakan ekonomi Indonesia dalam menghadapi risiko ini digerakkan oleh produk dalam negeri atau disebut produk domestik bruto.[6]

Faktor Pendukung

Perbedaan Angka Inflasi

Angka inflasi di setiap negara berbeda-beda, hal ini mengakibatkan desain perdangan internasional dan nilai tukar akan mengalami perubahan sesuai dengan kenaikan harga tersebut. Teori paritas daya beli atau disebut purchasing power parity-PPP merupakan teori yang yang membahas tentang korelasi antara nilai tukar dengan tingkat inflasi di dua negara yang memiliki nilai mata uang berbeda. Teori tersebut menyatakan apabila suatu negara mengalami inflasi akan berdampak terhadap daya beli masyarakat, di mana jumlah konsumen yang membeli produk domestik (produk dalam negeri), seimbang jumlahnya dengan minat daya beli masyarakat terhadap produk dari luar negeri.[7] Negara yang memiliki tingkat inflasi yang stabil lebih rendah, memiliki arti nilai mata uang di negara tersebut meningkat. Begitu pun dengan daya beli mengalami peningkatan terhadap mata uang lain. Berdasarkan data, negara yang memiliki angka inflasi yang rendah di antaranya Jerman, Swiss, dan Jepang. Negara yang memiliki angka inflasi yang tinggi akan mengalami depresiasi, yang merupakan bagian dari risiko nilai tukar.[8] Apabila di suatu negara mengalami fenomena kenaikan harga secara terus-menerus dalam jangka waktu tertentu, bisa diartikan bahwa negara tersebut mengalami inflasi. Pengukurannya bisa menggunakan teknik indeks harga, seperti melihat indeks biaya hidup. Indeks harga perdangan besar, dan GNP deflatori.[9] Oleh karena itu, terjadinya inflasi bisa dikategorikan sebagai faktor pendukung terjadinya risiko nilai tukar.[7]

Perbedaan Suku Bunga

Bank sentral memiliki kewenangan untuk mempengaruhi nilai suku bunga. Kewenangan tersebut, berpengaruh kepada inflasi dan nilai tukar mata uang. Apabila nilai suku bunga yang diberikan lebih tinggi, negara yang memberikan pinjaman (kreditur) akan mengalami keuntungan. Hal ini mengakibatkan penarikan modal asing dan nilai tukar mengalami kenaikan. Sebaliknya, apabila suku bunga yang diberikan oleh suatu negara rendah akan mengakibatkan penurunan nilai tukar.[8] Bank sentral yang menjadi acuan di seluruh dunia yaitu the Fed Bank yang ada di Amerika. Bank sentral tersebut yang memutuskan tingkat suku bunga yang ada di Amerika. Keputusan yang dikeluarkan bank sentral tersebut berpengaruh terhadap kondisi pasar modal di seluruh dunia, dan nilai suku bunga menjadi acuan dasar bagi pengusaha untuk melakukan investasi. Apabila terjadi kenaikan suku bunga, mengakibatkan para pemberi modal (investor) akan mengambik dananya dan menyimpannya dalam bentuk deposito. Hal ini mengakibatkan pasar uang tidak stabil, terutama negara berkembang.[10] Sebagai contoh, di tahun 2018 Amerika Serikat memberikan pengumuman tentang tingkat suku bunga mengalami kenaikan. Hal ini berpengaruh kepada negara berkembang, seperti Indonesia dengan latar belakang kondisi ekonomi yang sering mengalami fluktuasi. Dampak langsung yang dirasakan oleh masyarakat yaitu, kepemilikan uang tunai sebagai simbol kepemilikan nilai tukar yang sah di Indonesia. Dampaknya, nilai tukar mampu mempengaruhi permintaan uang secara positif dalam kurun waktu yang pendek, dan berpengaruh negatif dalam kurun waktu yang lama.[11]

Defisit Akun Berjalan

Defisit akun berjalan adalah kondisi tingkat tabungan nasional mengalami penurunan, sedangkan tingkat investasi di suatu negara tersebut mengalami kenaikan. Hal ini sering terjadi di negara berkembang.[12] Pengukurannya bisa menggunakan neraca transaksi berjalan. Teknik tersebut bisa mengontrol tentang transaksi barang, transfer uang, pendapatan faktor produksi, dan jasa.[13] Kondisi defisit bisa terjadi apabila suatu negara lebih banyak melakukan pengeluaran dana dengan melakukan aktivitas perdagangan di pasar luar negeri, sedangkan jumlah pendapatan negaranya lebih seuikit. Dampaknya, negara tersebut harus menutupi defisitnya dengan cara meminjam modal kepada sumber negara asing. Contohnya dengan cara memasok mata uang asing, dibandingkan dengan mata uang negaranya sendiri serta melakukan penjualan ekspor.[8]

Utang Publik

Terjadinya utang publik yang besar dikarenakan oleh pembayaran defisit yang besar. Hal ini mengakibatkan para investor tidak ingin menanam modal di negara tersebut. Utang yang semakin besar mengakibatjan inflasi di negara tersebut.[8] Di tahun 2019, Bank Dunia mencatat utang luar negeri Indonesia tahun 2020 sebesar US$ 402,8 miliar, yang meningkat 5,9% dari tahun sebelumnya. Di bulan April 2021, utang pemerintah meningkat menjadi 1,6%, sedangkan utang dari pihak swasta tumbuh negatif -4,2%.[14] Dampak dari peningkatan utang luar negeri akan mempengaruhi stabilitas ekonomi suatu negara, dan rentan akan permasalahan moneter dan permasalahan negara dari pihak eksternal.[15]

Stabilitas Politik dan Kinerja Ekonomi

Indeks stabilitas politik merupakan alat ukur yang mengukur indeks suatu negara berdasarkan standar pemerintahan, berkas konstitusional, pengaruhnya terhadap Hak Asasi Manusia, dan keadaan demokrasi di negara tersebut. Lembaga yang menerbitkan indeks ini yaitu Bank Dunia. Cara pengukurannya melihat dari pelaksanaan kebijakan yang dibuat oleh pemerintah di negara tersebut.[16] Negara yang memiliki stabilitas politik dan kinerja ekonomi yang baik, akan menarik negara lain untuk menanamkan modalnya. Aktivitas politik di negara yang banyak konfliknya akan berdampak terhadap hilangnya kepercayaan terhadap pergerakan mata uang dan pemodalan.[8] Apabila berita mengenai stabilitas politik dan kinerja ekonomi positif, maka harga saham juga akan baik. Perjalanan sejarah pasar saham memiliki siklus yang matang, salah satunya ketika momen Pemilihan Presiden.[17]

Referensi

Wikiwand in your browser!

Seamless Wikipedia browsing. On steroids.

Every time you click a link to Wikipedia, Wiktionary or Wikiquote in your browser's search results, it will show the modern Wikiwand interface.

Wikiwand extension is a five stars, simple, with minimum permission required to keep your browsing private, safe and transparent.