Loading AI tools
ilmu tentang seni dalam berbicara Dari Wikipedia, ensiklopedia bebas
Retorika (bahasa Belanda: retorica, bahasa Inggris: rhetoric) atau keterampilan berbicara adalah cabang dari ilmu dialektika yang membahas mengenai kemampuan dalam membuat argumen dalam bahasa sebagai alat di bidang ilmu etika.[1] Retorika (berasal dari bahasa Yunani: ῥήτωρ, rhêtôr, orator, teacher) adalah sebuah teknik pembujuk-rayuan menggunakan persuasi untuk menghasilkan bujukan baik terhadap karakter pembicara, emosional, atau argumen.[2] Seni ini berhubungan dengan kemampuan berbicara ataupun berbahasa yang dimiliki seseorang, dan bahkan merupakan kunci utamanya. Dari sisi historis, retorika dimaksudkan dengan apa yang ingin dicapai didasarkan bakat dan keterampilan sebagai kesenian berbicara dengan baik, hal inilah yang disebut retorika.[3] Awalnya Aristoteles mencetuskan dalam sebuah dialog sebelum The Rhetoric dengan judul 'Grullos' atau Plato menulis dalam Gorgias, secara umum ialah seni manipulatif atau teknik persuasi politik bersifat transaksional dengan menggunakan lambang untuk mengidentifikasi pembicara dengan pendengar melalui pidato, persuader (orang yang mempersuasi) dan yang dipersuasi saling bekerja sama dalam merumuskan nilai, kepercayaan dan pengharapan mereka.[4] Ini yang dikatakan Kenneth Burke (1969) sebagai konsubstansialitas dengan penggunaan media oral atau tertulis, bagaimanapun, definisi dari retorika telah berkembang jauh sejak retorika naik sebagai bahan studi di universitas. Dengan ini, ada perbedaan antara retorika klasik (dengan definisi yang sudah disebutkan di atas) dan praktik kontemporer dari retorika yang termasuk analisis atas teks tertulis dan visual. Misalnya, ketika seseorang menjadi pandai menggunakan retorika terhadap orang lain, orang itu akhirnya tanpa sadar menggunakannya pada diri sendiri.[5]
Seni berbicara ini dimiliki seseorang secara alami ataupun dengan menggunakan latihan khusus.[6] Keterampilan berbicara ini merupakan seni tentang berbicara yang merupakan sarana komunikasi dengan bahasa lisan meliputi proses penyampaian pikiran, ide, gagasan dengan tujusan melaporkan, menghibur, atau meyakinkan orang lain.[7]
Dalam proses penyampaian gagasan ada beberapa hal yang perlu diperhatikan, antara lain:[7]
Retorika adalah cabang dari dialetika yang membahas mengenai kemampuan dalam membuat argumen dalam bahasa. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata retorika (/re·to·ri·ka/ /rétorika/) merupakan keterampilan berbahasa secara efektif, atau studi tentang pemakaian bahasa secara efektif dalam karang-mengarang, dan atau seni berpidato yang muluk-muluk dan bombastis.[8]
Penggunaan retorika (dalam bahasa Inggris: "rhetoric") berarti seni berbicara atau menulis secara efektif.[9] Retorika juga diartikan sebagai studi tentang menulis atau berbicara sebagai sarana komunikasi atau persuasi.[10]
Secara penggunaan retorika dalam istilah public speaking oleh para ahli retorika, didefinisikan sebagai seni atau keahlian melalui berbicara ataupun berpidato yang perkembangannya telah ada sejak abad sebelum masehi.[11]
Retorika mengandung pengertian ilmiah yang ditandai oleh seperangkat ciri atau karakteristik keilmuannya, yaitu: 1) paradigma dan model berpikir yang bersifat umum, 2) penggunaan metode dan instrumen, dan 3) jangkauan permasalahannya. Untuk memenuhi karakteristik keilmuannya, maka terdapat tiga macam pertanyaan yang ditujukan pada retorika, yaitu: pertama, pertanyaan tentang apa hakikat retorika itu yang dikaji melalui ontologi retorika; kedua, pertanyaan tentang bagaimana retorika itu yang dikaji melalui epistemologi retorika; dan ketiga, pertanyaan tentang untuk apa retorika yang dapat dikaji melalui aksiologi retorika.[12]
Sistematis retorika yang pertama kali dibawa oleh orang-orang Syracuse, sekelompok orang Yunani di pulau Sicilia[13] daerah kekuasaan Yunani sekitar abad ke-5 SM. Seorang retorikus bernama Corax dan muridnya yang bernama Tissias menjelaskan retorika dalam buku yang ditulis dengan judul "Techne Logon" (seni kata-kata) sebagai teknik kemungkinan. Corax dan Tissias yang dikenal khalayak umum di Masa Retorika Attic (Semenanjung Attic, Yunani). Corax menerapkan dasar retorika yang digunakan dalam pidato kedalam 5 bagian yakni pengantar, uraian, argumen, penjelas tambahan, dan kesimpulan. Sedangkan muridnya Tissias memusatkan perhatian kepada dua aspek retorika yakni argumen dan kemungkinannya.[14]
Kepopulerannya di kota Atena adalah sebagai dua orang yang mengajarkan retorika kepada banyak orang yang memiliki keinginan yang dapat membuat menempati posisi atau jabatan tertentu di pemerintahan. Corax dan Tissias sebagai ahli retoris yang menyatakan bahwa retorika merupakan kemampuan berbicara di depan publik.[15] Di beberapa orang diberikan pelajaran mengenai retorika, tiga murid diantaranya yang bernama Gorgias, Lysias dan Isocrates mengembangkan corak retorika yang kemudian dikenal sebagai retorika sofis.
Retorika pada abad ke-5 SM ketika kaum sofis melakukan perjalanan sebagai ahli seni yang berkeliling memberikan pelajaran retorika. Objek sentral dari perhatian mereka mengenai etos dan pathos, mereka mengesampingkan logos karena bagi mereka fungsi bahasa adalah untuk membujuk dan bukan untuk menjelaskan. Kemudian retorika dikembangkan oleh seorang ahli ilmu retorika sekaligus guru pertama retorika yang juga merupakan orang sofis bernama Georgias (485–380 SM), Georgias menjadikan retorika sebagai salah satu ilmu pengetahuan.[16] Ia memandang bahwa retorika sebagai alat membujuk yang efektif. Georgias mendapatkan banyak uang penghasilan dalam permainan kata retorikanya.[17] Retorika Georgias menekankan retorika pada teknik bicara spontan dan dimensi puitis didalam pengajarannya. Negeri itu sedang tumbuh sebagai Negara yang kaya.[18] Kelas pedagang cosmopolitan selain memiliki waktu luang lebih banyak, juga terbuka pada gagasan-gagasan baru.[18] Di Dewan Perwakilan Rakyat, di pengadilan, orang memerlukan kemampuan berpikir yang jernih dan logis, serta berbicara yang jelas dan persuasif.[18] Gorgias memenuhi kebutuhan “pasar” ini dengan mendirikan sekolah retorika. Gorgias menekankan dimensi bahasa yang puitis dan teknik berbicara impromptu.[18] Ia meminta bayaran yang mahal, sekitar 10 Drachma ( $ 10.000) untuk seorang murid saja.[18] Bersama Protagoras dan kawan-kawan, Gorgias berpindah dari satu kota ke kota yang lain.[18] Mereka adalah "dosen-dosen terbang".[18]
Ahli retorika dan seorang sofis lainnya bernama Protagoras berasal dari Abdera (490 SM-420 SM).[19] Di Yunani sekitar abad ke-5 sebelum masehi, Ia mengatakan bahwa setiap "kebenaran" didasarkan pada kebergantungan pada penggunaan retorika dan keterampilan berdebat.[20] Protagoras adalah yang paling berpengaruh dari sekelompok guru hukum dan retorika keliling yang dikenal sebagai kaum Sofis (dari bahasa Yunani: Sophia, yang berarti "kebijaksanaan"). Selama masa hidupnya, Protagoras memengaruhi pemikiran banyak pemuda lewat pemikirannya tentang retorika dan pengetahuan. Socrates dan Plato mengatakan kaum Sofis hanya sebagai ahli retorika, tetapi dengan Protagoras, ada langkah signifikan dalam etika menuju pandangan bahwa tidak ada yang absolut dan semua penilaian, termasuk penilaian moral, bersifat subjektif.[21]
Kemunculan Socrates (470-399 SM) sebagai seorang ahli filsafat sekaligus ahli pidato terkemuka, ia mendefiniskan retorika sebagai seni dalam menyampaikan pengetahuan sudah ada dan telah diyakini. Retorika tidak seharusnya sekadar omong kosong, tetapi harus digunakan untuk mencari kebenaran.[22]
Retorika yang diajarkan orang-orang sofis mendapatkan pertentangan Socrates dan Plato dan para filsuf lainnya terkhusus di dunia barat, karena berbagai tindakan para sofis. Plato memandang bahwa tindakan sofis tidak memiliki esensi dan tujuan pembicaraan yang jelas, hanya sekedar mengajar tiap orang untuk berbicara, yang seharusnya mereka fokus pada cara berbicara dan belajar mengenai apa yang harusnya diajarkan.[23] Tindakan yang demikian juga dikemukakan oleh sejarawan bernama Jacob Burckhardt (1898-1902) menyebut retorika zaman kuno sebagai "penyimpangan". Retorika Burckhardt merupakan gambaran dari perhatian dan minat dari zaman sebelumnya.[24] Dalam penggambarannya, Ia menggambarkan kaum sofis dengan cara yang agak negatif walau ketidaksetujuan seperti itu masih membuktikan keyakinan dasar kontra-modernnya. Burckhardt mencatat titik awal filosofis para sofis, "bahwa tidak ada persepsi yang benar dan umumnya valid, tidak ada pengetahuan, hanya imajinasi, yang dengan sendirinya dapat dipertahankan"; dan bahwa mereka “mungkin pantas mendapatkan banyak pujian sebagai pelopor sikap skeptis terhadap bukti persepsi".[25]
Teknik retorika oleh Aristoteles di Yunani (384- 322 SM), dikemukakan dalam bukunya berjudul "The Art of Rhetoric". Aristoteles mengatakan bahwa "retorika adalah padanan (penggunaan istilah harfiah: antistrophe) dari dialektika".[26] Ia membahas mengenai retorika itu sendiri sebagai salah satu teknik yang disebut “bujuk-rayu” yang artinya persuasi baik terhadap karakter dan emosional seorang komunikator.[27] Aristoteles merupakan seorang murid didikan filsuf besar Yunani bernama Plato (427-347) dengan berlandasan pemikiran Plato, ia mengembangkan teknik dengan tujuan retorika dapat lebih efektif. Plato yang juga murid dari “bapak filsuf dunia” yakni Socrates (469-399 SM) yang memperkenalkan teori Lima Hukum Retorika (The Five Canons of Rhetoric) yang kemudian diprakarsai oleh Aristoteles. Dengan retorika klasik Socrates dan Plato, Aristoteles menjadikan lima tahap teknik menyusun pidato atau ceramah menggunakan teknik lima hukum retorika yang dikelompokan pada tahap yakni Penemuan (inventio), Penyusunan (dispositio), Gaya (elocutio), Memori (memoria), serta Penyampaian (pronuntitio).[28]
Dalam doktrin retorika Aristoteles [29] terdapat tiga teknis alat persuasi politik yaitu deliberatif, forensik dan demonstratif. Retorika deliberatif memfokuskan diri pada apa yang akan terjadi dikemudian bila diterapkan sebuah kebijakan saat sekarang. Retorika forensik lebih memfokuskan pada sifat yuridis dan berfokus pada apa yang terjadi pada masa lalu untuk menunjukkan bersalah atau tidak, pertanggungjawaban atau ganjaran. Retorika demonstratif memfokuskan pada epideiktik, wacana memuji atau penistaan dengan tujuan memperkuat sifat baik atau sifat buruk seseorang, lembaga maupun gagasan.[30]
Sejak munculnya penggunaan retorika mulai dari zaman Yunani, retorika dikaitkan dengan kenegarawanan karena pada umumnya terlibat dalam politik dan tidak lepas dari para pemikir. Demosthenes (384-322 SM) merupakan pemikir yang dikenal sebagai sarjana rajanya orator masa Yunani-Romawi. Berbeda dengan Isocrates, ia menginginkan agar Yunani bebas dari kekuasaan Macedonia. Demosthenes lebih memfokuskan retorika melalui perkataan dari lisannya dibandingkan bagaimana ekspresi wajahnya ataupun bahasa tubuhnya di depan khalayak (pendengar).[31]
Munculnya istilah retorika di Romawi ditandai runtuh simbol kejayaan Yunani digantikan oleh kekaisaran Romawi Kuno. Retorika merupakan hal yang didatangkan dan dibumikan oleh Romawi atas kemenangan ekspansi militer mereka ke Yunani. Romawi mempelajari perkembangan budaya Yunani, salah satunya ilmu berbicara, pidato berbekal pengetahuan teoritis yang mengandung retorika.[32] Retorika dikembangkan dan diperkenalkan oleh dua orang filsuf legendaris yakni Cicero dan Quintilianus.
Marcus Tullius Cicero (106-43 SM) dikenal banyak orang Roma sebagai pembicara hebat, seorang profesor retorika Republik Romawi.[33] Cicero dianggap sebagai salah satu ahli retorika terkenal sebagai orator, dan gaya tulisannya berpengaruh kuat di dunia bagian barat.[34] Ia juga banyak dikenal sebagai seorang filsuf yang membawa perkembangan filsafat Yunani ke Roma, ke bahasa Latin, dan ke tradisi barat (filsafat barat) untuk pertama kalinya dalam pidato, surat dan dialognya.[35] Adapun bentuk interpretasi dirinya yang terkenal ditampilkan di "De Natura Deorum" dan "De Divinatione".[36] Cicero memandang bahwa retorika meliputi dua tujuan utama yakni anjuran dan penolakan (dissuasio). Dari penggabungan kedua hal itu, dapat ditemui pada berbagai pidato oleh orator-orator Romawi.[37] Pengajaran retorika klasik kepada murid berfokus pengaturan argumen dan struktur teks dalam berpidato (seperti, ekspresi wajah atau mimik). Dalam Dispositio, kanon retorika klasik yang membahas teknik argumen penyusunan penulisan dan bicara dalam bagian-bagian pidato atau ceramah agar tertata secara baik. Ia membagi kedalam enam elemen penting yang penulisan pidato yakni pembukaan (exordium), narasi terkait fakta (narratio), pembagian berbagai situasi maupun topik (partitio), kehadiran bukti (confirmatio), evaluasi kekeliruan pada kejadian (reprehensio), dan penutup (peroratio).[38]
Marcus Fabius Quintilianus (35 SM-97 M) merupakan seorang guru yang ahli dalam berbicara atau berkata sekaligus orang yang berhasil membahas mengenai beberapa fakta Socrates, sebagai seorang guru orator, Quintilianus memfokuskan keyakinannya dalam pendidikan dengan peletakan pada kesempurnaan dan kemampuan yang ada pada manusia berekspresi sebagai dasar pendidikan atau pengajarannya.[39] Quintilian menggambarkan retorika sebagai "kefasihan yang dipersonifikasikan".
Dalam perkembangan pendidikan agama Kristen, salah satunya seorang bapa gereja bernama St. Agustinus yang memiliki kontribusi penting dan mendominasi abad pertengahan. Agustinus (354–430 M) dilahirkan di Afrika Utara, tidak jauh dari Hippo Regius, tepatnya Tagaste. Ia memulai pendidikannya di kampung halamannya di Tagaste, dan kemudian belajar retorika dan filsafat di Kartago. Setelah itu, ia kembali ke kampung halamannya dan menjadi guru retorika. Kepindahannya ke Kartago pada tahun 372 sekaligus menjadikan dia sebagai guru ilmu retorika di sana.[40] Ia mengeksplorasi penggunaan retorika baru dalam Buku Keempat dari De Doctrina Christiana yang membahas bahwa konsep dasar dari apa yang akan menjadi homiletika, retorika khotbah. Agustinus memulai buku ini dengan menanyakan mengapa "kekuatan kefasihan, yang begitu mujarab dalam memohon baik untuk tujuan yang salah atau hak", tidak boleh digunakan untuk tujuan yang benar (IV. 3).
Abad Pertengahan berlangsung selama seribu tahun (400-1400). Di negara bagian Eropa dengan selang waktu yang lama menjadikan warisan peradaban Yunani diabaikan. Pertemuan orang Eropa dengan Islam yang mengembangkan khazanah Yunani dalam Perang Salib yang mengakibatkan Renaisans. Salah seorang pemikir Renaisans yang menarik kembali minat orang pada retorika adalah Peter Ramus. Ramus menemukan bahwa seni retorika dan logika tercakup dalam keduanya retorika dan logika Inventio dan dispositio.[41] Inventio dan dispositio dimasukkannya sebagai bagian logika. Sedangkan retorika hanyalah berkenaan dengan elocutio dan pronuntiatio saja. Taksonomi Ramus berlangsung selama beberapa generasi.
Retorika oleh Roger Bacon (1214-1219) dihubungkan Renaisans dengan retorika modern, ia mengemukakan dengan menggunakan metode eksperimental, tetapi juga pentingnya pengetahuan tentang proses psikologis dalam studi retorika. Ia menyatakan, "... kewajiban retorika ialah menggunakan rasio dan imajinasi untuk menggerakkan kemauan secara lebih baik". Rasio, imajinasi, kemauan adalah ilmu-ilmu dalam psikologi yang kelak menjadi kajian utama ahli retorika modern.[42]
Aliran pertama retorika hingga masa modern dalam penekanan terhadap proses psikologis, dikenal sebagai aliran epistemologis. Epistemologi membahas tentang "teori pengetahuan" yang meliputi asal-usul, sifat, metode, dan batasan pengetahuan manusia.[43] Para pemikir epistemologis berupaya mengkaji retorika klasik sebagai sorotan perkembangan psikologi kognitif (seperti,pembahasan terkait proses mental). George Campbell (1719-1796) dalam buku pertamanya yang berjudul "Philosophy of Rhetoric", ia menggunakan metode psikologi guru dengan mempelajari Aristoteles. Psikologi departemen mencoba menjelaskan empat departemen perilaku manusia—atau departemen jiwa manusia: penyebab pemahaman, ingatan, imajinasi, sensasi, dan kemauan keras. Menurut definisi Campbell, retorika harus menunjuk pada upaya "mencerahkan pemahaman, menyenangkan imajinasi, menggerakkan perasaan, dan mempengaruhi kemauan".[44] Tokoh lainya yang memngembangkan retorika adalah Richard Whately mengembangkan retorika yang dirintis Campbell. Ia mendasarkan teori retorikanya juga pada psikologi fakultas. Hanya saja ia menekankan argumentasi sebagai fokus retorika. Retorika harus mengajarkan bagaimana mencari argumentasi yang tepat dan mengorganisasikannya secara baik. Baik Whately maupun Campbell menekankan pentingnya menelaah proses berpikir khalayak. Karena itu, retorika yang berorientasi pada khalayak (audience-centered) berutang budi pada kaum epistemologis - aliran pertama retorika modern.
Abad modern kedua, retorika dikenal dengan nama Belles Lettrers (dalam bahasa Perancis berarti "tulisan yang indah").[45] Aliran retorika pada abad ini, salah satunya bernama Hugh Blair.
Aliran retorika modern kedua yang dikenal sebagai gerakan belles lettres. Retorika belletris merupakan retorika yang mengutamakan keindahan bahasa, segi-segi estetis pesan, terakdang juga mengabaikan segi informatifnya. Hugh Blair (1718-1800) sebagai seorang menteri agama, penulis, dan ahli retorika Skotlandia, ia dianggap sebagai salah satu ahli teori wacana tertulis pertama. Ia menulis Lectures on Rhetoric and Belles Lettres. Menganai hubungan antara retorika, sastra, dan kritik. Ia memperkenalkan citarasa (taste), yang diartikan sebagai kemampuan untuk memperoleh kepuasan dari suatu pertemuan dengan apa pun yang indah.[46]
Aliran ketiga disebut gerakan elokusionis, aliran yang menekankan teknik penyampaian pidato.[47] Gilbert Austin, misalnya memberikan petunjuk praktis penyampaian pidato, "Pembicara tidak boleh melihat melantur. Ia harus mengarahkan matanya langsung kepada pendengar, dan menjaga ketenangannya.[47] Pada abad kedua puluh, retorika mengambil manfaat dari perkembangan ilmu pengetahuan modern - khususnya ilmu-ilmu perilaku seperti psikologi dan sosiologi. Istilah retorika pun mulai digeser oleh speech, speech communication, atau oral communication, atau public speaking. Di bawah ini diperkenalkan sebagian dari tokoh-tokoh retorika mutakhir:
James A Winans dalam terbitan bukunya yang berjudul "Public Spaking" pada tahun 1917 yang membahas tentang teori psikologi dan cara penyampaian pidato. Ia menyatakan bahwa tindakan itu dipengaruhi perhatian, di mana persuasi diartikan sebagai suatu proses yang memunculkan perhatian yang memadai dan tidak dipengaruhi oleh proposisi.[48]
Retorika oleh Charles Henry Woolbert, retorika yang dikemukanya berkaitan dengan ilmu tingkah laku. Pandanganya tentang setorika tidak hanya berhubungan dengan teori ilmiah atau kajian ilmiah di mana pembicara mempengaruhi pendengar dengan pengetahuan ilmiah mnggunakan seni dalam berbicara.[49] Dalam karya bukunya berjudul "The Fundamental of Speech", ia membahas mengenai persiapan dalam berpidato yang didasarkan pada tahapan yakni 1) teliti tujuan, 2) khalayak dan situasi, 3) kecocokan proposisi, serta 4) kalimat secara logis.[50]
Retorika oleh Monroe sebagai pemikir dalam retorika, ia menghubungkan retorika kedalam cara pengorganisasian pesan atau pesan yang tersusun didasarkan pada proses berpikir manusia. Hal ini yang disebut urutan bermotif. Adapun urutan itu mencakup yakni 1) perhatian, 2) kebutuhan, 3 pemuasan, gambaran visual, serta tindakan.[51]
Retorika sebagai bagian politik tidak terlepas dari bahasa politik. Hal ini memengaruhi masyarakat terhadap penggunaan bahasa politik yang menjadi cerminan suatu realitas. Presiden Barack Obama bersama Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam konferensi pers menerapkan teori implikatur dan konsep atau teori-teori retorika bahasa sebagai pendekatan pragmatik.[52] Retorika oleh Obama dan Susilo Bambang semasa kepresidenennya sebagai aktor politik juga dalam penanggapan isu ISIS dalam United Nations General Assembly pada tanggal 24 September 2014. Penggunaan bahasa verbal dan nonverbal oleh Obama melalui retorikanya merupakan upaya dalam penyelesaian pertentangan dengan Islam terhadap Amerika Serikat negara yang anti Islam. Obama berusaha untuk mengatasi situasi dengan menawarkan beberapa solusi dan tindakan agar tidak ada teroris yang mengatasnamakan agama Islam. Sedangkan retorika yang dilakukan oleh Yudhoyono, disimpulkan bahwa ia memiliki keraguan dan kurang tegas dibandingkan dengan Obama dalam mengambil keputusan ataupun menawarkan solusi dalam menanggapi kasus ISIS. Karena Indonesia sebagai penganut muslim terbanyak di dunia sehingga Yudhoyono harus berhati-hati dengan hanya memberi himbauan agar tidak ada penyerangan lagi.[53]
Retorika forensik difokuskan pada keadaan seseorang, instansi maupun lembaga (seperti, yuridius) dengan mendorong terjadinya rasa bersalah atau tidak, pertanggungjawaban atau ganjaran. Retorika forensik sering kali dikenal dengan retorika yudisial atau pidato yudisial.[54] Retorika forensik dapat digambarkan sebagai keterlibatan banyak pembelaan, masing-masing berbeda di setiap tempat, audiens, strategi, dan proses peradilan.[55]
Retorika epideiktik digunakan promosi nilai-nilai kewarganegaraan melalui bahasa pujian dan celaan. Retorika epideiktik dalam demonstratif, dimaksudkan sebagai wacana baik memuji atau penistaan dengan tujuan menyalahkan seseorang atau lembaga.[56]
Retorika deliberatif merupakan retorika yang memfokuskan diri pada apa yang akan terjadi dikemudian bila diterapkan sebuah kebijakan saat sekarang. Fokus utama retorika deliberatif adalah pada audiens politik seperti majelis demokratis. Tujuannya untuk membuat seseorang atau audiens terbuka terhadap penilaian tertentu (seperti motivasi orang melalui media sosal).[57]
Dalam kegiatan berbicara tentu terdapat hal yang mendasari di dalamnya, terdapat beberapa prinsip pokok, anatara membutuhkan paling sedikit dua orang, menggunakan bahasa yang dipahami bersama, mengakui atau menerima daerah referensi umum, merupakakn proses tukar pikiran antarpartisipan, peyampaian gagasan dengan tujuan melaporkan, menghibur, dan meyakinkan seseorang.[58]
Retorika adalah kunci dari ilmu bahasa terkhusus ilmu bina bicara, sebagai bagian dari ilmu bicara diklasifikasikan menjadi 3 bentuk, yaitu monologika, dialogika, dan bina teknik berbicara.[59]
Monologika merupakan cabang ilmu yang membahas terkait seni berbicara secara monolog.[60] Berbicara monolog dimaksud adalah kecenderungan pada satu orang yang berbicara atau komunikasi satu arah. Contohnya, kata sambut kuliah umum, kata sambut ceramah, pidato, dan lain sebagainya.[61][62]
Dialogika merupakan cabang ilmu yang membahas terkait seni berbicara dialog.[63] Berbicara dialog dimaksud adalah kecenderungan pada 2 orang atau lebih yang mengambil bagian berbicara. Contohnya, tanya jawab forum, debat, diskusi, perundingan, percakapan biasa, dan lain sebagainya.[61][62]
Pembinaan teknik berbicara merupakan keefektifan dari teknik berbicara monolog dan dialog tergantung kemampuan dan keadaan dalam suatu proses pembicaraan yang memenuhi syarat retorika. Hal ini banyak dipelajari di bidang ilmu komunikasi.[64]
Kegiatan berbicara dapat terjadi dalam siituasi, kondisi,suasana,dan lingkungan tertentu.[65] Situasi yang dimaksud adalah berbicara secara formal (resmi) atau informal (tidak resmi).[65]
Tujuan dari penyampaian gagasan atau ide dalam keterampilan berbicara adalah untuk memperoleh respon atau tanggapan dari lawan bicara.[65] Tujuan dari peyampaian gagasan adalah melaporkan, menghibur, dan meyakinkan seseorang.[65]
Terdapat empat cara atau metode penyampaian yang dapat dilakukan seseorang pada waktu berbicara, yaitu penyampaian berdasarkan naskah atau manuskrip penyampaian berdasarkan catatan kecil atau ekstemporer, penyampaian gagasan berdasarkan hafalan memoriter, penyampaian gagasan secara mendadak dan serta merta atau impromtu.[65]
Pembicara yang baik tentu akan bersifat komunikatif terhadap lawan bicara.[65] Dalam penyampaian gagasan atau ide pembicara harus memperhatikan siapa penyimak dari pembicaraan tersebut, supaya materi yang disampaikan dapat diterima secara berimbang.[65]
Bahasa dapat dikatakan sebagai unsur pendukung utama retorika. Tidak ada retorika apabila tidak ada bahasa, karena penggunaan bahasa memiliki hubungan dalam penyajian pesan, hal ini merupakan wujud fisik dari retorika. Pada penggunaan bahasa inilah dilakukan pemilihan kemungkinan unsur bahasa yang dipandang paling persuasif oleh komunikator. Pemilihan unsur-unsur bahasa itu bisa dalam bentuk istilah, kata, ungkapan, gaya bahasa, kalimat, dan lain-lain.[66][67]
Etika dan nilai moral sebagai bagian terpenting. Adanya etika dan nilai moral dalam retorika menjadikan aktifitas komunikasi yang dilakukan bertanggung jawab. Etika dan nilai moral inilah menjadi tumpuan bahwa orang yang menguasai retorika harus bertanggung jawab dalam aktifitas komunikasinya. Dalam mengkomunikasikan informasi, komunikator perlu memperhatikan tiga syarat yang berkaitan dengan etika yakni 1) bertanggung jawab memilih unsur persuasif dan menyadari kemungkinan melakukan kesalahan, 2) berusaha memahami dan memperlakukan secara jujur kerugian yang diakibatkan oleh penipuan diri sendiri, 3) Menoleransi pendengar yang tidak setuju dengan isi yang disampaikan.[67]
Penyampaian informasi dalam komunikasi harus didukung dengan penalaran yang benar agar informasi yang disampaikan memiliki kekuatan atau landasan. Dengan penalaran yang benar, pembawa pesan juga harus menggunakan argumen logis untuk meyakinkan pendengarnya. Untuk mendukung penalaran yang benar, pengguna (penerima pesan) atau retorika yang diterima dapat mengikuti kaidah penalaran seperti hukum berpikir, silogisme, probabilitas induksi, dan kesalahan penalaran.[68] Oleh karena itu, dalam retorika ada dua hal yang perlu diperhatikan yaitu akal dan karakter komunikator sehingga dapat dijadikan dasar persuasi dimana kepribadian digunakan sebagai tanda psikologis apakah pengirim pesan berbohong atau jujur.[69]
Apabila tidak disertai dengan pengetahuan yang memadai, maka penyampai pesan dapat menjadi orang sekedar menghasut dengan omong kosongnya. Komunikator harus benar-benar memahami apa yang ingin mereka sampaikan. Mengenai materi dan strategi penyampaian dapat dipahami sebagai:
Belajar retorika sebagai ilmu dalam komunikasi khususnya berbicara memiliki banyak manfaat. Adapun 5 manfaat yang sangat membantu jika mampu menguasai ilmu retorika, yaitu: 1) Mampu merangkai kata ketika berbicara di depan khalayak umum, 2) Mampu memahami intonasi sebagai hal penting dalam berbicara dengan seseorang, 3) Ide yang tersampaikan mudah dicerna atau mudah dipahami, 4) Mampu menjadi pembicara yang pandai jika mempelajari retorika, dan 5) Mampu menghargai orang lain yang berbicara yang ada didepan, seperti dalam pertemuan dan sebagainya.[71]
Retorika sebagai lambang pidato untuk mengidentifikasikan pembicara dengan pendengar. Ketika berpidato, retorika sebagai simbolisme merupakan konsep sangat penting karena dengan berpidato didepan khalayak secara terbuka akan berkembang wacana publik dan berlangsung proses persuasi. Pidato memiliki keterkaitan dengan retorika politik dengan tujuan agar tercipta masyarakat dengan negosiasi (konflik dan konsensus) yang terus berlangsung.[72] Contohnya, dalam kampanye politik melalui komunikasi politik. Penerapan lainnya, dalam debat calon gubernur DKI Jakarta 2017 oleh pasangan calon gubernur DKI Jakarta yakni Basuki Tjahaja Purnama dan Djarot Saiful Hidayat, dalam retorikanya terkait politik, ia memperlihatkan kecakapan retorika untuk meningkatkan keberhasilan terpilih dengan merebut hati khalayak umum atau masyarakat pemilih. Ia, membangun retorika politik yang berfokus pada propaganda kebenaran ide, gagasannya.[73]
Retorika membutuhkan pemahaman dan penguasaan bahasa dan pengetahuan budaya meliputi situasi retorika yang meliputi tujuan, audiens, topik, penulis, dan konteks, dan aspek lainnya untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan.[74] Dalam bidang akademik seorang guru atau tenaga pendidik berkomunikasi dan menyampaikan percakapan informasi kepada pendengar secara tertulis atau lisan. Hal inilah yang dikenal retorika komunikasi verbal sebagai bagian penting bagi calon guru.[75]
Sarana yang dapat dipergunakan dalam keterampilan berbicara untuk efektivitas komunikasi retoris adalah sebagai berikut.[76]
Mendengarkan adalah sikap yang penting dalam proses dialog dan diskusi.[76] Setiap peserta dalam diskusi selalu berganti peranan antara berbicara dan mendengar.[76]
Dalam uraian berikut ini akan dijelaskan sejumlah taktik yang dapat membantu untuk mencapai sasaran dan tujuan secara efektif dalam proses komunikasi retoris.[76]
Retorika juga merupakan salah satu jenis majas dalam Bahasa Indonesia. Majas retorika atau retorik berbentuk kalimat, berbeda dengan majas lain selain majas alegori dan majas parabel yang berbentuk narasi, karenanya ada yang menyebut kalimat retorik. Retoris adalah majas yang berupa pertanyaan yang sebenarnya tidak perlu dijawab. Karena jawaban atau maksud si penanya sudah terkandung dalam pertanyaan tersebut. Contoh:
Kalimat retorik tidak memerlukan jawaban atas pertanyaan yang diajukan secara gamblang (essay), tetapi dapat diselesaikan dengan pilihan jawaban iya atau tidak. Kalimat retorik menyajikan suatu sindiran atau bahan introspeksi karenanya dipakai dalam pidato, khutbah, orasi, diskusi, debat dan cerita pendek seperti cerita anekdot.. Selain itu kalimat retorik digunakan dalam bertujuan untuk memberi semangat, menggugah hati, memotivasi, memberi kesadaran, dan sebagainya terhadap audiens atau pendengar.
Seamless Wikipedia browsing. On steroids.
Every time you click a link to Wikipedia, Wiktionary or Wikiquote in your browser's search results, it will show the modern Wikiwand interface.
Wikiwand extension is a five stars, simple, with minimum permission required to keep your browsing private, safe and transparent.