Remove ads
Nabi dan Rasul dalam Islam Dari Wikipedia, ensiklopedia bebas
Isma'il atau Ismail (bahasa Arab: إسماعيل, translit. Ismā‘īl) adalah tokoh dalam Al-Qur'an, Alkitab, dan Tanakh. Dalam Islam, dia dipandang sebagai nabi dan rasul.[1] Isma'il juga dikaitkan dengan Makkah dan pembangunan Ka'bah[2]. Isma'il merupakan anak pertama Ibrahim dan moyang Muhammad. Keturunannya disebut `Arab al-Musta`ribah ("Arab yang di-Arab-kan"), karena mereka bukan asli Arab dan mempelajari bahasa Arab dari penduduk asli setempat. Dalam agama Yahudi dan Kristen, tokoh ini disebut Ismael.
Dan ceritakanlah (Muhammad) kisah Ismail di dalam Kitab (Alquran). Dia benar-benar seorang yang benar janjinya, seorang rasul dan nabi. Dan dia menyuruh keluarganya untuk (melaksanakan) salat dan (menunaikan) zakat, dan dia seorang yang diridai di sisi Tuhannya.
"Tentang Ismael, Aku telah mendengarkan permintaanmu. Ia akan Kuberkati, Kubuat beranak cucu dan sangat banyak, ia akan memperanakkan dua belas raja, dan Aku akan membuatnya menjadi bangsa yang besar."
Isma'il berasal dari dua kata yakni "dengarlah!" (isma' ٱسْمَعْ) dan "Tuhan" (al/il إيل), yang artinya "Dengarlah (doa kami wahai) Tuhan." Doa nabi Ibrahim kepada Tuhan yang terdapat dalam Qur'an
رَبِّ هَبْ لِي مِنَ ٱلصّٰلِحِيْنَ , artinya "Wahai Tuhanku anugerahkanlah kepadaku (seorang anak laki-laki) yang termasuk golongan orang-orang yang salih"
Jawaban Tuhan,
فَبَشَّرْنٰهُ بِغُلٰمٍ حَلِيْمٍ ,artinya "Maka Kami beri kabar gembira kepadanya dengan (kelahiran) seorang anak yang sangat sabar (Ismail)." Qur'an surat As-Saffat ayat 100-101 [3]
Nama Isma'il disebutkan dua belas kali[a] dalam Al-Qur'an (kitab suci Islam) dan keterangan mengenainya disebutkan pada surah Al-Baqarah (02): 127, 136, 140; An-Nisa' (04): 163; Maryam (19): 54-55; dan Al-Anbiya' (21): 85-86; juga dalam Ash-Shaffat (37): 101-107 menurut pendapat sebagian ulama. Dalam Tanakh (kitab suci Yahudi) dan Alkitab (kitab suci Kristen), keterangan mengenai Isma'il terdapat dalam Kitab Kejadian pasal 16, 17, 21, dan 25.
Alkitab menyebutkan bahwa Ibrahim dan kafilah pengikutnya hijrah dari Iraq ke Syam. Namun Syam mengalami paceklik hebat sehingga mereka pergi ke Mesir. Dalam sebuah riwayat[4][5] disebutkan bahwa raja memerintahkan untuk membawa Sarah, istri Ibrahim, ke istananya saat mendengar laporan dari para punggawanya mengenai kecantikan Sarah. Saat utusan raja tiba dan menanyai mengenai Sarah, Ibrahim menjawab bahwa dia adalah saudarinya. Ibrahim juga berpesan kepada Sarah agar mengaku sebagai saudarinya, agar raja tersebut tidak membunuh Ibrahim.
Setelah Sarah dibawa ke istana, raja berusaha menyentuh Sarah, tetapi tangannya menjadi lumpuh mendadak. Raja memohon agar Sarah berdoa pada Allah untuk menyembuhkannya dan Sarah melakukannya. Setelah tangannya pulih, raja kembali mengulangi perbuatannya, tetapi dia mengalami kelumpuhan yang lebih berat dari sebelumnya. Raja kembali meminta Sarah mendoakannya dan berjanji tidak akan mengganggunya lagi. Setelahnya, raja memerintahkan agar Sarah dipulangkan kepada Ibrahim. Sarah juga diberi budak perempuan bernama Hajar sebagai hadiah.[6]
Sumber Alkitab juga menceritakan kejadian serupa. Ibrahim diberi banyak budak dan hewan ternak karena raja ingin menjadikan Sarah sebagai istrinya. Namun raja dan seisi istananya kemudian terkena tulah. Raja kemudian menyalahkan Ibrahim karena mengaku bahwa Sarah adalah saudarinya. Kemudian Sarah dikembalikan kepada Ibrahim.[7] Peristiwa Ibrahim dan Sarah di Mesir tidak tercantum dalam Al-Qur'an.
Ibrahim dan Sarah kembali ke Syam. Setelah sekian tahun tinggal di sana, mereka tidak juga memiliki keturunan. Ibnu Katsir dalam karyanya, mengutip Alkitab, menuliskan bahwa Sarah kemudian memberikan Hajar sebagai selir atau menjadi istri Ibrahim lantaran dia sudah yakin tidak akan memiliki anak. Namun setelah mengandung, Hajar menjadi merasa lebih mulia dari Sarah dan itu membuat marah Sarah sehingga dia memberi hukuman yang berat kepada Hajar. Hajar kemudian melarikan diri, tetapi dia didatangi malaikat yang menyuruhnya untuk kembali sembari menenangkannya bahwa Allah akan memperbanyak keturunannya sampai tak bisa dihitung, juga menyuruhnya untuk memberikan anaknya dengan nama Isma'il karena Allah mendengar penindasan atas Hajar. Disebutkan bahwa Isma'il lahir pada saat Ibrahim berusia 86 tahun.[8][9]
Sumber Muslim dan Alkitab berbeda pandangan mengenai waktu saat Hajar dan Isma'il diungsikan ke Arab. Meski Al-Qur'an sendiri tidak mengisahkan peristiwa ini, hadits dan tafsiran para ulama sepakat bahwa Hajar dan Isma'il diungsikan saat Isma'il masih kecil dan menyusu. Dalam sebuah riwayat hadits diterangkan bahwa Ibrahim mendapat perintah untuk mengungsikan Hajar dan Isma'il dari Syam dan menempatkan mereka di tengah padang pasir tak berpenghuni. Saat Ibrahim beranjak pergi, Hajar membuntutinya dan bertanya, "Wahai Ibrahim, engkau hendak ke mana? Apakah kamu akan meninggalkan kami di lembah yang tidak ada seorang manusia dan tidak ada suatu tanamanpun ini?" Namun Ibrahim tetap tidak menjawab meski Hajar bertanya berkali-kali. Setelahnya, Hajar mengganti pertanyaannya, "Apakah Allah yang memerintahkanmu melakukan semuanya ini?" Barulah Ibrahim memberi jawaban, "Iya." Hajar kemudian membalas, "Jika demikian, Allah tidak akan menelantarkan kami."[10][11]
Sumber Alkitab menjelaskan bahwa Isma'il diungsikan pada sekitar usia enam belas tahun. Disebutkan bahwa Isma'il lahir saat Ibrahim berusia 86 tahun[12] dan Ishaq lahir saat Ibrahim berusia 100 tahun[13] sehingga keduanya terpaut sekitar empat belas tahun. Saat pesta penyapihan Ishaq, Sarah melihat Isma'il bermain bersama Ishaq dan dia tidak menyukai hal tersebut. Sarah mengatakan pada Ibrahim, "Usirlah hamba perempuan itu beserta anaknya, sebab anak hamba ini tidak akan menjadi ahli waris bersama-sama dengan anakku Ishaq."[14] Meski Ibrahim kesal dengan perkataan Sarah, Allah memerintahkan Ibrahim mendengar perkataan Sarah.[15] Ibrahim kemudian meminta mereka pergi dan Hajar kemudian menggendong perbekalan berikut Isma'il di bahunya sampai padang gurun.[16] Sumber Alkitab menggambarkan bahwa Ibrahim tidak ikut serta mengantar Hajar dan Isma'il.
Disebutkan dalam sebuah riwayat[10] bahwa di tengah gurun tersebut, Hajar menyusui Isma'il dan Hajar sendiri makan dan minum dari perbekalan yang dia bawa. Namun setelah bekalnya habis, Hajar merasa kehausan dan begitu pula Isma'il sehingga dia menangis. Di tengah kebingungan, Hajar kemudian berlari ke puncak bukit Shafa, berharap melihat manusia yang dapat memberikan bantuan. Tidak melihat seorangpun, Hajar menuruni bukit Shafa dan, sembari berlari-lari kecil, menaiki bukit Marwah, tetapi juga tak melihat manusia. Hajar menuruni Marwah dan kembali ke Shafa dan bolak-balik ke kedua bukit tersebut sampai tujuh kali. Saat Hajar berada di puncak Marwah untuk yang ketujuh kalinya, dia mendengar sebuah suara. Hajar bergumam pada dirinya sendiri, "Diamlah," kemudian melanjutkan, "Engkau telah memperdengarkan suaramu. (Tampakkanlah wujudmu) jika engkau bermaksud memberikan pertolongan."
Ternyata suara tersebut adalah dari seorang malaikat yang mengais tanah menggunakan tumitnya, atau ada yang mengatakan sayapnya, hingga air memancar dari tempat tersebut. Hajar kemudian membuat tampungan air menggunakan tangannya, kemudian menciduknya dan memasukkannya ke dalam wadah. Mata air inilah yang kemudian disebut Zamzam.[17] Upaya Hajar saat bolak-balik antara Shafa dan Marwah diabadikan dalam ibadah haji yang disebut sa'i.
Dalam Alkitab disebutkan bahwa setelah perbekalan habis, Hajar melempar Isma'il ke semak-semak dan duduk agak menjauh darinya sambil menangis karena tidak tahan melihat putranya yang kehausan tersebut mati. Lalu malaikat berkata, "Apakah yang engkau susahkan, Hagar (Hajar)? Janganlah takut, sebab Allah telah mendengar suara anak itu dari tempat ia terbaring. Bangunlah, angkatlah anak itu, dan bimbinglah dia, sebab Aku akan membuat dia menjadi bangsa yang besar." Allah kemudian membukakan mata Hajar sehingga dia melihat sebuah sumur. Hajar kemudian bergegas memenuhi wadahnya dengan air dan memberi minum Isma'il.[18] Disebutkan bahwa mereka tinggal di gurun Paran ("Faran" dalam ejaan Arab).[19]
Hajar dan Isma'il tetap hidup berdua di sana sampai sekelompok suku Arab Jurhum melewati daerah tersebut. Saat melihat burung berputar-putar di suatu tempat dekat posisi mereka, salah seorang mereka berkata, "Burung ini berputar-putar di tempat itu, pasti karena ada genangan air. Padahal kita mengetahui secara pasti bahwa di lembah ini tidak ada air sama sekali." Akhirnya mereka mengutus orang untuk melihat tempat burung-burung tersebut, yang ternyata adalah tempat Hajar dan Isma'il berdiam di dekat mata air zamzam. Utusan tersebut kemudian mengabarkan hal tersebut pada anggota sukunya yang lain dan mereka semua pindah ke tempat tersebut bersama Hajar dan Isma'il. Mereka juga mengirim utusan kepada keluarga mereka agar tinggal bersama-sama di tempat tersebut. Setelah beranjak belia, Isma'il belajar bahasa Arab dari orang-orang tersebut.[20] Tempat tersebut di kemudian hari menjadi Makkah. Disebutkan bahwa Ibrahim beberapa kali mengunjungi Isma'il yang tinggal di Makkah. Sebagian pendapat bahwa Ibrahim menunggang buraq saat hendak mengunjungi putranya tersebut.[21]
Alkitab menyebutkan bahwa Allah memberikan perintah pada Ibrahim dan pengikutnya yang laki-laki untuk bersunat/khitan pada saat Ibrahim berusia 99 tahun. Isma'il yang saat itu berusia tiga belas tahun juga disunat bersama semua laki-laki dalam rumah tangga Ibrahim. Pelaksanaan sunat ini dilangsungkan sebelum Isma'il diungsikan dari Palestina. Sebagai catatan, Alkitab menyebutkan bahwa Isma'il diungsikan pada saat usia sekitar enam belas tahun, berbeda dengan sumber-sumber Muslim yang berpendapat bahwa Isma'il dibawa ke gurun saat masih menyusu.[22] Al-Qur'an tidak memberikan keterangan mengenai waktu dan tempat saat Isma'il bersunat.
Dalam surah Ash-Shaffat disebutkan bahwa dalam mimpi, Ibrahim melihat dirinya menyembelih putranya dan hal ini ditafsirkan sebagai wahyu. Ibrahim bertanya pada anaknya, "Wahai anakku, sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah pendapatmu." Anaknya menjawab, "Wahai bapakku, kerjakanlah yang diperintahkan kepadamu, insya Allah engkau mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar." Maka keduanya kemudian melaksanakan mimpi tersebut. Saat Ibrahim membaringkan putranya tersebut dan siap menyembelihnya, ada sebuah suara menyeru, "Hai Ibrahim, sesungguhnya kamu telah membenarkan mimpi itu." Kemudian putranya tersebut diganti dengan hewan sembelihan yang besar.[23]
Al-Qur'an tidak menyebutkan mengenai nama anak yang disembelih dan para ulama berbeda pendapat terkait masalah tersebut. Sebagian ulama berpendapat bahwa anak tersebut adalah Isma'il dan ini juga menjadi keyakinan umat Muslim pada umumnya, sedangkan sebagian ulama lain berpendapat bahwa Ishaq adalah anak yang dimaksud dalam Al-Qur'an.
Ibnu Katsir berpendapat bahwa anak tersebut adalah Isma'il berdasarkan redaksi Al-Qur'an bahwa setelah mengisahkan mengenai penyembelihan, baru disebutkan bahwa Allah kemudian memberi kabar gembira dengan kelahiran Ishaq. Pendapat ini sebagaimana yang dikatakan oleh Mujahid, Said, Asy-Sya'bi, Yusuf bin Mihran, Atha', dan ulama lain yang meriwayatkan dari Ibnu 'Abbas.
Sedangkan ulama yang berpandangan bahwa anak yang dimaksud adalah Ishaq di antaranya adalah As-Suhaili, Ibnu Qutaibah, dan Ath-Thabari. As-Suhaili berpendapat bahwa dalam Al-Qur'an disebutkan "maka tatkala anak itu sampai (pada umur) sanggup berusaha bersama-sama Ibrahim," padahal Isma'il sudah diungsikan ke gurun sejak kecil bersama Hajar sehingga tidak mungkin dia hidup berdampingan dan berusaha bersama-sama Ibrahim.[24][25]
Sumber Yahudi dan Kristen pada umumnya sepakat bahwa Ishaq adalah putra yang hendak disembelih Ibrahim. Disebutkan dalam Alkitab bahwa Allah berfirman kepada Ibrahim, "Ambillah anakmu yang tunggal itu, yang engkau kasihi, yakni Ishaq, pergilah ke tanah Moria dan persembahkanlah dia di sana sebagai korban bakaran pada salah satu gunung yang akan Kukatakan kepadamu." Namun saat hendak disembelih, malaikat menyerunya dan Allah berfirman, "Jangan bunuh anak itu dan jangan kauapa-apakan dia, sebab telah Kuketahui sekarang, bahwa engkau takut akan Allah dan engkau tidak segan-segan untuk menyerahkan anakmu yang tunggal kepada-Ku." Lalu Allah memberikan seekor domba jantan sebagai kurban.[26]
Akan tetapi, para penafsir modern memandang identitas putra Ibrahim yang hendak disembelih ini tidak begitu penting bila dibandingkan pelajaran moral yang termuat dalam kisah tersebut.[27] Narasi Al-Qur'an terkait penyembelihan ini menjadikan putra Ibrahim yang bersangkutan sebagai percontohan bagi tindakan keikhlasan dan kepatuhan, karena sang anak sepenuhnya sadar akan upaya Ibrahim untuk mengorbankannya dan tetap menyetujuinya. Persetujuannya menjadi keteladanan terkait penyerahan diri pada kehendak Allah yang merupakan karakteristik penting dalam Islam.[28]
Dalam Al-Qur'an disebutkan bahwa bersama Isma'il, Ibrahim meninggikan pondasi Ka'bah.[29] As-Suddiy menyatakan bahwa tatkala diperintahkan Allah untuk membangun Ka'bah, Ibrahim dan Isma'il tidak mengetahui tempat yang cocok untuk tempat pembangunan tersebut, Allah mengutus angin yang menyapu segala hal yang ada di sekitar tempat yang akan dibangun Ka'bah. Saat Ka'bah sudah mulai tinggi, Ibrahim menggunakan batu pijakan agar dapat menggapai bagian atas Ka'bah. Batu pijakan tersebut kemudian disebut "Maqam Ibrahim" dan di sana terdapat bekas pijakan kaki Ibrahim. Pada masa 'Umar bin Khaththab, maqam Ibrahim yang awalnya menempel ke dinding Ka'bah kemudian digeser menjauh dari dinding agar tidak menghalangi orang yang sedang thawaf. Tatkala pondasinya telah sempurna, Ibrahim memerintahkan Isma'il untuk mencari batu untuk diletakkan di sudut Ka'bah. Namun sebelum Isma'il tiba, Malaikat Jibril membawakan batu tersebut. Batu tersebut adalah "hajar aswad."[30]
Setelah usai, Ibrahim kemudian diperintahkan menyeru manusia untuk melaksanakan ibadah haji[31] dan mengajarkan tata caranya.[32][33] Haji tetap terus dijalankan setelah Ibrahim dan Isma'il wafat. Menurut sejarawan Marshall Hodgson (1922–1968), umat Kristen Arab juga melaksanakan haji pada masa pra-Islam.[34]
Saat bangsa Arab perlahan mulai jatuh dalam kemusyrikan, ibadah haji masih bertahan,[35] tetapi tercampuri ritual pengagungan pada berhala-berhala dan di sekitar Ka'bah didirikan banyak berhala. Pada masa Nabi Muhammad, ibadah haji kemudian dikembalikan untuk pengagungan Allah semata sebagaimana pada masa Ibrahim dan berhala-berhala di sekitar Ka'bah dihancurkan.[36]
Disebutkan bahwa Isma'il kemudian menikah. Suatu hari Ibrahim mendatangi rumahnya, tetapi Isma'il sedang tidak ada di rumah. Ibrahim kemudian bertanya pada istri Isma'il perihal suaminya dan istrinya, tidak mengetahui bahwa itu adalah Ibrahim, berkata pada suaminya sedang bekerja. Saat Ibrahim menanyakan keadaannya, istri Isma'il mengeluh, "Kami banyak mengalami keburukan dan hidup kami penuh kesempatan ekonomi, serta penuh dengan penderitaan yang berat." Setelah mendengar hal tersebut, Ibrahim menitipkan salam dan pesan pada istri Isma'il agar suaminya mengganti gawang pintunya. Saat istri Isma'il menyampaikan pesan tersebut pada suaminya, Isma'il menjelaskan bahwa dia tadi adalah ayahnya dan maksud pesannya tadi adalah agar Isma'il menceraikan istrinya.
Beberapa waktu kemudian, Isma'il menikah dengan perempuan lain. Ibrahim kembali berkunjung saat Isma'il sedang tidak berada di rumah. Saat Ibrahim menanyakan mengenai keadaan istri Isma'il yang saat itu ada di rumah, istri Isma'il menjawab, "Kami senantiasa dalam kebaikan dan cukup," sembari memuji berbagai nikmat Allah yang dikaruniakan pada mereka. Kemudian Ibrahim menitipkan pesan pada Isma'il melalui istrinya untuk memperkokoh gawang pintunya. Saat kemudian istri Isma'il menyampaikan pesan tersebut pada suaminya, Isma'il menjelaskan bahwa dia tadi adalah ayahnya dan maksud pesannya tadi adalah agar Isma'il mempertahankan istrinya.[37]
Ada beberapa pendapat terkait identitas istri-istri Isma'il. Ibnu Katsir menyebutkan bahwa istri pertama Isma'il berasal dari Bani Amaliq dan bernama Ammarah binti Sa'ad bin Usamah bin Akil, sedangkan istri kedua Isma'il adalah As-Sayyidah binti Mudhadh bin Amru Al-Jurhumi. Ada yang berpendapat bahwa As-Sayyidah adalah istri ketiga Isma'il.[38]
Alkitab tidak menyebutkan kisah tentang dua istri Isma'il dan hanya menyebutkan bahwa Hajar menikahkan Isma'il dengan seorang perempuan dari Mesir.[19] Legenda Bangsa Yahudi menyebutkan bahwa Isma'il menikah dengan perempuan Mesir dan mereka memiliki empat putra dan satu putri. Saat Isma'il pergi, Ibrahim mengunjungi tenda kediamannya. Saat Ibrahim meminta air pada istri Isma'il yang ada di tenda, istri Isma'il mengatakan bahwa dia tidak memiliki air maupun roti. Dia tetap duduk di tenda dan tidak menyambut Ibrahim, juga tidak menanyakan identitas tamunya tersebut. Istri Isma'il juga sibuk memukul anaknya, juga mencela anaknya dan Isma'il. Ibrahim tidak senang dengan pemandangan tersebut dan menitipkan pesan untuk istri Isma'il agar suaminya mengganti pasak tendanya. Saat pesan tersebut disampaikan pada Isma'il, Isma'il menjelaskan pada istrinya bahwa itu adalah ayahnya dan dia meminta Isma'il menceraikan istrinya.
Setelahnya, Isma'il menikah dengan perempuan dari Syam. Saat Isma'il pergi, Ibrahim kembali mengunjungi tenda kediaman putranya. Istri Isma'il keluar tenda dan menyambutnya, juga mempersilakannya masuk. Ibrahim menolak karena akan melanjutkan perjalanan, tapi dia meminta air. Istrinya kemudian bergegas memberikan air dan roti pada Ibrahim. Kemudian Ibrahim menitipkan pesan pada Isma'il melalui istrinya bahwa pasak tendanya bagus sehingga jangan membuangnya. Saat kemudian istri Isma'il menyampaikan pesan tersebut pada suaminya, Isma'il menjelaskan bahwa dia tadi adalah ayahnya dan maksud pesannya tadi adalah agar Isma'il mempertahankan istrinya. Kemudian Isma'il bersama keluarganya berkunjung ke kediaman Ibrahim di Palestina selama beberapa hari.[39] Ada yang berpendapat bahwa nama istri pertama Isma'il adalah Meriba, sedangkan yang kedua bernama Malchut.
Alkitab menyebutkan bahwa Isma'il turut memakamkan Ibrahim di Gua Makhpela bersama Ishaq.[40] Isma'il sendiri disebutkan wafat pada usia 137 tahun.[41]
Ibnu Katsir dan beberapa tradisi Islam menyebutkan bahwa Isma'il dimakamkan di Al-Hijr Isma'il di samping makam Hajar.[38] Namun sebagian pendapat menolak keyakinan tersebut karena tidak ada keterangan pasti dari Nabi Muhammad.[42] Pendapat lain menyatakan bahwa Hijr Isma'il sebenarnya adalah bekas kamar Isma'il dan Hajar.[43]
Isma'il dipandang sebagai nabi dan rasul.[1] Ibnu Katsir menyebutkan bahwa Isma'il diutus untuk berdakwah pada penduduk Makkah dan sekitarnya, seperti kabilah Jurhum, Amaliq, dan penduduk Yaman.[38]
Penyebutan Isma'il dalam Al-Qur'an seringnya tidak terkait kisahnya. Kisah Isma'il yang terdapat dalam Al-Qur'an sendiri adalah sepintas tentang haji dan pembangunan Ka'bah[44] serta, menurut sebagian ulama, penyembelihannya. Bagian kisah Isma'il yang lain diambil dari sumber non-Qur'an, seperti riwayat hadits, tafsiran ulama, dan sumber-sumber Yahudi dan Kristen. Dalam Al-Quran, nama Isma'il hampir selalu dirangkaikan dengan para nabi yang lain. Disebutkan bahwa Isma'il (dan beberapa nabi yang lain) dilebihkan derajatnya di atas umat yang lain, sosok pilihan Allah, dan dianugerahi petunjuk ke jalan yang lurus.[45] Dia juga disebut sebagai sosok yang benar janjinya dan seorang yang diridhai Allah.[46] Isma'il juga disifati sebagai orang yang sabar[47] dan termasuk orang-orang yang terbaik.[48]
Isma'il juga erat kaitannya dengan Ka'bah yang menjadi kiblat umat Islam. Meski beberapa tradisi mencatat Ka'bah sudah dibangun sebelumnya (sebagian pendapat menyatakan pendirinya adalah Adam, sebagian menyatakan para malaikat), Ibrahim dan Isma'il berperan sebagai pembangun ulang. Keduanya juga mengajarkan syariat haji dan rukun Islam kelima ini menjadi ibadah yang sarat kenangan dan keteladanan akan sosok Ibrahim, begitu juga dalam hari raya Idul Adha.[49]
Kedudukan Isma'il sebagai "penemu bangsa Arab" pertama kali dinyatakan oleh Flavius Yosefus.[50] Saat Islam terbentuk, sosoknya dan keturunannya kerap dikaitkan, bahkan disamakan, dengan istilah "Arab" pada literatur Yahudi dan Kristen awal.[51]
Isma'il dicitrakan dalam beberapa cara dalam sumber Yahudi dan Kristen. Namun setelah masa Muhammad, Isma'il cenderung digambarkan dengan buruk dan menjadi lambang bagi "orang lain" dalam kedua agama tersebut.[52] Saat umat Islam menjadi lebih kuat, midras Yahudi tentang Isma'il diubah sehingga penggambarannya lebih buruk untuk menantang sudut pandang umat Islam terkait Isma'il.[52] Perkembangan Islam menciptakan tekanan bagi Muslim untuk melakukan pembedaan dari Yahudi dan Kristen, dan karenanya, garis keturunan Isma'il kepada orang Arab lebih ditekankan.[52]
Dalam sejumlah tafsiran, Isma'il melambangkan tradisi Yahudi lama yang ditinggalkan, sedangkan Ishaq melambangkan tradisi Kristen baru yang harus dianut.[53] Rasul Paulus tidak mempersoalkan status Isma'il atau Ishaq secara harafiah, melainkan dalam konteks dua jenis kepercayaan dalam ajaran Kristen, yaitu terus mengikuti ajaran Taurat atau dibebaskan dari hukum Taurat di dalam hukum kasih Yesus Kristus,[54] seperti yang ditulisnya dalam Surat Galatia.[55]
Pada masa modern, sebagian umat Kristen percaya bahwa Allah memenuhi janjinya atas Isma'il dengan memberkati negara-negara Arab dengan minyak[56] dan kekuatan politik.[57]
Ayah — Ibrahim
Ibu — Hajar
Beberapa sumber menyatakan bahwa Nabi Muhammad keturunan Nebayot, sebagian lain berpendapat keturunan Kedar. Keturunan Isma'il biasanya disebut `Arab al-Musta`ribah ("Arab yang di-Arab-kan"), karena mereka bukan asli Arab dan mempelajari bahasa Arab dari penduduk asli setempat.[58][59]
Seamless Wikipedia browsing. On steroids.
Every time you click a link to Wikipedia, Wiktionary or Wikiquote in your browser's search results, it will show the modern Wikiwand interface.
Wikiwand extension is a five stars, simple, with minimum permission required to keep your browsing private, safe and transparent.