Loading AI tools
desa di Kabupaten Kuningan, Jawa Barat Dari Wikipedia, ensiklopedia bebas
Karangtawang adalah salah satu desa di kecamatan Kuningan, Kuningan, Jawa Barat, Indonesia. Terletak di perbatasan antara kecamatan Kuningan dengan kecamatan Garawangi. Terdiri dari tiga kampung yaitu kampung Jatinunggal, Pasawahan dan Babakan.
Menurut asal usul kata (etimologi) nama Karangtawang berasal dari dua kata yaitu karang dan tawang, karang dalam bahasa Sunda berarti halaman depan rumah sedangkan tawang bukan merupakan kata dalam bahasa Sunda, kalau merujuk dari bahasa Jawa tawang berarti langit.
Menurut sumber lisan yang berkembang dari mulut ke mulut di masyarakat sejak dulu, bahwa asal nama Karangtawang diambil dari peristiwa meninggalnya seorang pengembara yang berasal dari daerah Tawang (sekarang nama sebuah kecamatan di daerah Tasikmalaya). Pengembara tersebut pada mulanya berniat untuk menimba ilmu ke pondok pesantren Lengkong yang dipimpin oleh seorang ulama kharismatik, Kyai Haji Hasan Maulani. Pada saat itu (sekitar abad XIX atau tahun 1800-an) pesantren Lengkong merupakan salah satu pondok pesantren yang sangat termashur dan disegani di wilayah Jawa Barat. Sampai akhirnya si pengembara yang akan masantren ke Lengkong tersebut berhasil menginjakan kakinya di tapal batas desa Lengkong atau pada waktu itu lebih dikenal dengan Lengkong tonggoh/barat. Namun sayang, sang pengembara dari Tawang tersebut rupanya kelelahan karena menempuh perjalanan jauh dari daerah Tasikmalaya ke Kuningan, hanya dengan berjalan kaki. Akhirnya pengembara tersebut menghembuskan nafasnya yang terakhir di halaman rumah milik salah seorang penduduk desa Lengkong tonggoh. Karena niat dan tujuan baik nan suci dari sang pengembara yang pergi jauh-jauh hanya untuk masantren, penduduk setempat mengabadikan daerah sekitar tempat meninggalnya sang pengembara dari Tawang dengan sebutan nama KARANGTAWANG, yang artinya halaman rumah tempat meninggalnya sang pengembara dari Tawang.
Dahulu desa Karangtawang dan desa Lengkong masih merupakan satu kesatuan, tapi karena ada suatu "peristiwa" kemudian dua desa itu dipisah, bagian Barat menjadi desa Karangtawang sedangkan bagian Timur menjadi desa Lengkong. Jalan desa yang membentang menjadi batas kedua desa tersebut yaitu jalan yang menuju Desa Sindangsari atau Ancaran sekarang. Asal mula terpecahnya desa Karangtawang dan desa Lengkong disebabkan adanya peristiwa perselisihan "parebut cai" (berebut air) guna keperluan mengairi areal sawah dan kolam ikan mereka. Sumber air yang diperebutkan berasal dari sungai "Surakatiga" yang membentang dari Selatan ke Utara yang terletak antara Desa Winduhaji dan Desa Lengkong saat itu. Penduduk Lengkong sebelah barat rupanya ketika sedang mengalirkan atau mengairi sawah dan kolam mereka dari "Hawangan Surakatiga" ini, anak cabangnya diantaranya ada "Hawangan Cikole" entah sengaja atau tidak disengaja aliran Hawangan Cikole ini sering "dipendet" atau ditutup. Akibatnya penduduk Lengkong sebelah Timur tidak kebagian air, dan ini akhirnya menimbulkan persengketaan antara penduduk Lengkong Barat (Tonggoh) dan Lengkong Timur (Landeuh). Akibat peristiwa ini Lengkong Barat dan Lengkong Timur akhirnya terpecah menjadi bagian barat menjadi Karangtawang dan bagin timur tetap menggunakan kata Lengkong. Masalah sengketa tadi akhirnya dapat diselesaikan diantaranya dengan sebuah kesepakatan berupa "tukar guling" tanah bengkok desa, yaitu "Hawangan Landeuh" yang mengalir sepanjang Sungai Cisanggarung yang merupakan milik Desa Karangtawang (tadinya Lengkong Barat) diberikan ke Desa Lengkong, dan tanah pekuburan (makam atau astana) yang berada di daerah Lengkong juga merupakan pemakaman milik penduduk Desa Karangtawang. Mengenai kebenaran ceritera ini masih perlu penelusuran lebih lanjut. Perlu sumber dan bahan pembanding lainnya yang kadang memang sulit didapatkan. Karena memang cerita di atas diambil dari sumber lisan yang sifatnya kadang dipengaruhi unsur subyektifitas yang tinggi.
Karangtawang dilihat dari statusnya sebagai sebuah desa maka dipimpin oleh seorang kepala desa atau lebih dikenal dengan sebutan Kuwu. Letak bale desa berada di kampung Pasawahan. Kuwu dipilih secara langsung oleh rakyat selama lima tahun sekali. Kuwu dibantu oleh sekretaris desa (sekdes), kepala dusun atau rurah, para pamong desa (kesra, raksabumi dan lain-lain) serta Hansip. Kuwu beserta pamong desa lainnya bukanlah pegawai negeri sipil (kecuali sekdes), mereka di gaji dengan sawah bengkok yang luasnya tergantung pada tinggi rendahnya jabatan yang diembannya. Anehnya yang menjabat sebagai Kuwu di desa Karangtawang hanya orang-orang yang berasal dari kampung Jatinunggal dan Pasawahan saja, belum pernah ada Kuwu yang berasal dari kampung Babakan.
Berikut daftar Kuwu desa Karangtawang:
Batas wilayah desa Karangtawang
Karangtawang terletak di kaki gunung Ciremai,diapit oleh dua sungai besar yaitu sungai Sungai Cigede di sebelah selatan dan sungai Surakatiga/Tangkis di sebelah utara. Selain sebagai batas alami dengan desa lain, hal ini juga menyebabkan tanah di Karangtawang subur dan cocok untuk beberapa jenis tanaman. Kontur wilayahnya sedikit berbukit di sebelah selatan meliputi wilayah kampung Babakan sampai ke perbatasan dengan Salahonje dan juga rata sedikit berkontur di daerah Pasawahan dan Jatinunggal.
Keadaan iklim desa Karangtawang dipengaruhi oleh iklim tropis dan angin muson, dengan temperatur bulanan berkisar antara 18 °C - 32 °C serta curah hujan berkisar antara 2.000 mm - 2.500 mm per tahun. Pergantian musim terjadi antara bulan November - Mei adalah musim hujan dan antara bulan Juni - Oktober adalah musim kemarau.
Karangtawang dikenal dengan industri rumah tangganya yaitu emping melinjo, karena hampir di tiap RT ibu rumah tangga membuat keripik emping melinjo terutama pusatnya di kampung Babakan. Kemasannya telah dibuat semenarik mungkin dan dengan pilihan beraneka ragam rasa agar nilai jualnya bertambah. Emping tangkil atau emping melinjo, oleh Pemkab Kuningan dianggap sebagai komoditas unggulan. Pasalnya telah mengharumkan nama Kuningan dalam sektor ekonomi karena penjualan emping tangkil tidak hanya di pasar lokal namun merambah juga ke pasar luar daerah seperti Jakarta, Bandung, Semarang dan Surabaya. Ada pula yang diekspor ke Malaysia serta Singapura. Penjualannya pun tidak hanya di pasar tradisional, tetapi sudah merambah ke supermarket, toko serba ada (Toserba), warung serba ada (Waserba) ataupun di Mall.
Wilayah Karangtawang cocok untuk pengembangan agrobisnis, terutama padi dan palawija. Tanahnya yang subur, dan akses air yang melimpah menjadi keunggulan yang bisa dimanfaatkan. Untuk perikanan juga cocok, karena air mengalir sepanjang musim baik musim hujan maupun musim kemarau. Makanya tidak salah jika di kampung Jatinunggal didirikan pusat pembenihan ikan atau lebih dikenal dengan BBI (Balai Benih Ikan). Peternakan ayam buras juga berkembang dengan baik terutama di kampung Jatinunggal dan kampung Pasawahan, letaknya di pinggiran kampung sehingga tidak mengganggu pemukiman penduduk. Selain itu Peternakan kambing juga mulai bergeliat, terutama untuk memenuhi permintaan menjelang hari Raya Kurban (Idul Adha), tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan masyarakat desa Karangtawang tetapi juga di jual ke daerah lain.
Perkebunan kurang mendapat perhatian yang serius dari masyarakat. Kebun-kebun terletak jauh dari perkampungan, ada pun kebun yang di dalam kampung jumlahnya tinggal sedikit, tergusur oleh pembangunan perumahan warga yang semakin tinggi. Sehingga porsentase kebun dari seluruh wilayah desa diperkirakan telah menyusut sampai 10%. Hasil perkebunan yang biasanya dibudidayakan kebanyakan dari jenis buah-buahan seperti:pisang, mangga, pepaya, rambutan, nangka, jambu, kelapa dan juga melinjo.
Desa Karangtawang dikenal sebagai desa santri karena banyak terdapat pondok pesantren dan penduduknya dikenal sangat religius. Penduduk desa Karangtawang berjumlah 4.214 orang, terdiri dari:
Hampir 100% warga Karangtawang adalah suku Sunda, dan menggunakan bahasa Sunda dalam berkomunikasi sehari-hari. Agama yang dianut adalah Islam. Pengaruh NU (Nahdatul Ulama) sangat terasa karena ulama-ulama (kiyai) yang ada di Karangtawang merupakan pentolan NU. Terdapat sebuah masjid jami yaitu masjid Nurul Islam dan 18 buah langgar/musholla(tajug). Di masjid Nurul Islam terdapat sebuah bedug yang berusia lebih dari 300 tahun, mengingat bedug tersebut sudah kuno sebuah museum di Bandung pernah mengemukakan niatnya untuk memiliki bedug tersebut, namun ditolak oleh masyarakar Karangtawang. Bedug tersebut terbuat dari satu gelondongan pohon utuh dan sudah ada sejak abad ke 17.
Kebanyakan penduduk Karangtawang bekerja sebagai petani sekitar 70%, lainnya bekerja di sektor jasa seperti PNS, Pedagang, TNI, dokter, wiraswasta dan sebagainya. Penduduk desa Karangtawang banyak juga yang berurbanisasi ke kota-kota besar seperti Jakarta, Bandung dan Yogyakarta. Kebanyakan mereka bekerja sebagai buruh pabrik dan pedagang. Daganganya pun hampir sama yaitu buah dingin, bubur kacang hijau, atau rokok. Ada pula yang pergi ke kota untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang Perguruan Tinggi seperti UI, UNPAD,UNSOED, UPI, STAN, UGM dan sebagainya. Banyak pula penduduk desa Karangtawang yang bekerja ke luar negeri seperti ke Arab Saudi, Malaysia, Korea Selatan dan Jepang. Kebanyakan mereka bekerja di sektor informal seperti pembantu rumah tangga dan sopir, namun ada pula yang bekerja sebagi buruh pabrik.
Seamless Wikipedia browsing. On steroids.
Every time you click a link to Wikipedia, Wiktionary or Wikiquote in your browser's search results, it will show the modern Wikiwand interface.
Wikiwand extension is a five stars, simple, with minimum permission required to keep your browsing private, safe and transparent.