Loading AI tools
Informasi tidak benar yang sengaja dibuat seolah-olah benar Dari Wikipedia, ensiklopedia bebas
Berita bohong atau hoaks (bahasa Inggris: hoax) adalah informasi yang sesungguhnya tidak benar, tetapi dibuat seolah-olah benar adanya.[1] Hal ini tidak sama dengan rumor, ilmu semu, atau berita palsu, maupun April Mop.[2] Tujuan dari berita bohong adalah membuat masyarakat merasa tidak aman, tidak nyaman, dan kebingungan. Dalam kebingungan, masyarakat akan mengambil keputusan yang lemah, tidak meyakinkan, dan bahkan salah.[3]
Artikel ini mungkin mengandung riset asli. |
Artikel ini membutuhkan rujukan tambahan agar kualitasnya dapat dipastikan. (Oktober 2018) |
Menurut KBBI, Hoaks mengandung makna informasi atau berita bohong, berita tidak bersumber.[4][5][6] Menurut Silverman (2015), hoaks merupakan sebagai rangkaian informasi yang memang sengaja disesatkan, tetapi “dijual” sebagai kebenaran.[7] Hoaks bukan sekadar misleading alias menyesatkan, informasi dalam fake news juga tidak memiliki landasan faktual, tetapi disajikan seolah-olah sebagai serangkaian fakta [8]
Meski baru mengambil peran utama dalam panggung diskusi publik Indonesia di beberapa dekade terakhir ini, hoaks sebetulnya punya akar sejarah yang panjang.[9]
Terdapat 2 versi terkait dengan sejarah hoaks. Pertama yang dicatat pada 1661. Kasus tersebut adalah soal Drummer of Tedworth, yang berkisah soal John Mompesson -seorang tuan tanah- yang dihantui oleh suara-suara drum setiap malam di rumahnya.[10] Ia mendapat nasib tersebut setelah ia menuntut William Drury - seorang drummer band gipsy- dan berhasil memenangkan perkara. Mompesson menuduh Drury melakukan guna-guna terhadap rumahnya karena dendam akibat kekalahannya di pengadilan. Singkat cerita, seorang penulis bernama Glanvill mendengar kisah tersebut. Ia mendatangi rumah tersebut dan mengaku mendengar suara-suara yang sama. Ia kemudian menceritakannya ke dalam tiga buku cerita yang diakunya berasal dari kisah nyata. Kehebohan dan keseraman local horror story tersebut berhasil menaikkan penjualan buku Glancill. Namun, pada buku ketiga Glanvill mengakui bahwa suara-suara tersebut hanyalah trik dan apa yang ceritakan adalah bohong belaka.[11]
Ada juga kisah soal Benjamin Franklin yang pada tahun 1745 lewat harian Pennsylvania Gazette mengungkap adanya sebuah benda bernama “Batu China” yang dapat mengobati rabies, kanker, dan penyakit-penyakit lainnya.[12] Sayangnya, nama Benjamin Franklin saat itu membuat standar verifikasi kedokteran tidak dilakukan sebagaimana standar semestinya.Meski begitu, ternyata batu yang dimaksud hanyalah terbuat dari tanduk rusa biasa yang tak memiliki fungsi medis apapun. Hal tersebut diketahui oleh salah seorang pembaca harian Pennsylvania Gazette yang membuktikan tulisan Benjamin Franklin tersebut. Hoaks-hoaks senada beberapa kali terjadi sampai adanya Badan Makanan dan Obat-obatan Amerika Serikat pada awal abad 20.[11]
Meskipun demikian, kata hoaks sendiri baru mulai digunakan sekitar tahun 1808. Kata tersebut dipercaya datang dari hocus yang berarti untuk mengelabui. Kata-kata hocus sendiri merupakan penyingkatan dari hocus pocus, semacam mantra yang kerap digunakan dalam pertunjukan sulap saat akan terjadi sebuah punch line dalam pertunjukan mereka di panggung.[11]
Kedua, catatan historis "Great Moon Hoax ”tahun 1835, di mana New York Sun menerbitkan serangkaian artikel tentang penemuan kehidupan di bulan. Contoh yang lebih baru adalah 2006 “Flemish Secession Hoax", di mana stasiun televisi publik Belgia melaporkan bahwa Parlemen Flemish telah mendeklarasikan kemerdekaan dari Belgia, sebuah laporan bahwa yang membuat sejumlah besar penonton menjadi salah paham.[8]
Hingga kini, eksistensi hoaks terus meningkat. Dari kabar palsu seperti entitas raksasa seperti Loch Ness, tembok China yang terlihat dari luar angkasa, hingga ribuan hoaks yang bertebaran di pemilihan umum presiden Amerika Serikat pada tahun 2016. Semua hoaks tersebut punya tujuan masing-masing, dari sesederhana publisitas diri hingga tujuan yang amat genting seperti politik praktis sebuah negara adidaya.[11]
Kemunculan internet semakin memperparah sirkulasi hoaks di dunia. Sama seperti meme, keberadaannya sangat mudah menyebar lewat media-media sosial. Apalagi biasanya konten hoaks memiliki isu yang tengah ramai di masyarakat dan menghebohkan, yang membuatnya sangat mudah memancing orang membagikannya.[11]
Menteri Komunikasi dan Informatika pernah mengungkapkan bahwa hoaks dan media sosial seperti vicious circle, atau lingkaran setan. Dari situ langkah pencegahan mulai gencar dilakukan. Termasuk oleh Facebook dan Twitter sebagai pemilik platform yang membuat tim khusus untuk meminimalisasi keberadaannya. Ditambah lagi dengan kemunculan media abal-abal yang sama sekali tak menerapkan standar jurnalisme. Peran media profesional yang seharusnya membawa kecerahan dalam sebuah persoalan yang simpang siur di masyarakat semakin lama semakin tergerus.[11]
Satir atau parodi, dibuat dengan tidak berniat untuk merugikan, tetapi berpotensi untuk mengelabui. Satir tidak termasuk konten yang membahayakan. Akan tetapi, sebagian masyarakat masih banyak yang menanggapi informasi dalam konten tersebut sebagai sesuatu yang serius dan menganggapnya sebagai kebenaran.[13]
Konten yang menyesatkan atau misleading content, di dalamnya biasanya ada penggunaan informasi yang sesat untuk membingkai sebuah isu atau individu. Misleading content dibentuk dengan cara memanfaatkan informasi asli, seperti gambar, pernyataan resmi, atau statistik, akan tetapi diedit sedemikian rupa sehingga tidak memiliki hubungan dengan konteks aslinya.[13]
Konten tiruan atau Imposter content adalah ketika sebuah sumber asli ditiru atau diubah untuk mengaburkan fakta sebenarnya. Konten palsu ini juga bisa berbentuk konten tiruan dengan cara mendompleng ketenaran suatu pihak atau lembaga.[13]
Konten palsu berupa konten baru yang 100% salah dan secara sengaja dibuat, didesain untuk menipu serta merugikan.[13]
Keterkaitan yang Salah, atau False connection Ini adalah ketika judul, gambar, atau keterangan tidak mendukung konten atau tidak terikat antara satu dengan yang lainnya. Ciri paling gamblang dalam mengamati konten jenis ini adalah ditemukannya judul yang berbeda dengan isi berita. Konten jenis ini biasanya diunggah demi memperoleh keuntungan berupa profit atau publikasi berlebih dari konten sensasional.[13]
Konten yang Salah atau False context, ketika konten yang asli dipadankan atau dikait-kaitkan dengan konteks informasi yang salah.[13]
Konten yang Dimanipulasi atau Manipulated content ketika informasi atau gambar yang asli sengaja dimanipulasi untuk menipu.[14] Secara sederhana, konten jenis ini dibentuk dengan cara mengedit konten yang sudah ada dengan tujuan untuk mengecoh publik.
Berita yang bermuatan unsur 'dugaan' termasuk dalam jenis rumor yang tidak berdsar bukti konkrit, namun lebih pada penilaian atau opini subjektif yang diduga sebagai fakta. Umumnya konten ini bermuatan gosip, tuduhan hingga fitnah kepada seseorang atau kelompok tertentu. Konten dugaan juga memiliki ciri berakhiran tanda tanya, (semisal Tokoh X adalah seorang Y?) bertujuan memberi informasi yang tidak pasti dan tanpa validitas sehingga justru menyebabkan publik bertanya-tanya.
Berbagai cara telah dilakukan, baik oleh pemerintah maupun masyarakat yang peduli dengan maraknya hoaks di kehidupan masyarakat. Pemerintah misalnya telah membuat pagar hukum dengan menyetujui lahirnya Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektonik, memblokir situs-situs yang menyebarkan hoaks, menangkap sindikat penyebar hoaks hingga membentuk lembaga siberkreasi yang berfokus dalam menangani hoaks. Tidak hanya itu, masyarakat juga turut serta dalam menekan peredaran hoaks dengan memberikan klarifikasi terhadap hoaks. Diantaranya adalah Mafindo (Masyarakat Anti Fitnah Indonesia) yang secara aktif dan peduli memberikan klarifikasi akan hoaks hingga melakukan literasi media, baik dikalangan masyarakat hingga jurnalis.[17] Lantas muncul pertanyaan, sebenarya faktor apa saja yang mempengaruhi hoaks masih terus ada dan berkembang. Berikut beberapa alasan hoaks tetap ada.
Semua orang berpotensi sebagai pembuat hoaks. Hoaks terkait dengan apa saja yang tidak benar adanya, tetapi dijual sebagai sebuah kebenaran dengan tujuan tertentu. Namun, ada beberapa kasus yang menujukkan bahwa hoaks diproduksi oleh beberapa kalangan seperti Saracen dan Muslim Cyber Army dengan motif tertentu. Saracen dan Muslim Cyber Army merupakan organisasi-organisasi penyebar hoaks, ujaran kebencian atau hate speech dan SARA melalui media sosial. Berdasarkan temuan polisi, anggota sindikat ini telah memiliki beragam konten ujaran kebencian sesuai isu yang tengah berkembang. Mereka kemudian menawarkan produk itu dalam sebuah proposal. Dalam satu proposal yang ditemukan, kurang lebih setiap proposal nilainya puluhan juta rupiah.[22]
Diketahui, Sindikat Saracen diketahui memiliki ribuan akun. Mereka juga berbagi tugas untuk mengunggah konten pro dan kontra terhadap suatu isu. "Misalnya kurang lebih 2.000 akun itu dia membuat meme menjelek-jelekkan Islam, ribuan lagi kurang lebih hampir 2.000 juga menjelek-jelekkan Kristen. Itu yang kemudian tergantung pemesanan.[23]
Terkait masalah pemesanan itu, polisi menemukan ada salah satu proposal yang menawarkan senilai Rp 75 juta sampai Rp 100 juta. Meskipun demikian, polisi masih belum bisa memastikan harga pasti per proposal. Apalagi polisi masih terus menggali siapa saja yang pernah membeli jasa Saracen untuk menebar kebencian dan SARA.[24]
Dari pengungkapan tersebut, kita dapat menyimpulkan bahwa hoaks dipesan oleh sekelompok orang dengan beragam kepentingan di dalamnya. Hoaks diproduksi oleh orang-orang yang tidak bermoral dan beretikat buruk terhadap sesama.
Menurut dr. Gina Inindyajati, SP.Kj setidaknya ada tiga faktor yang menyebabkan orang mudah mempercayai berita hoax:[25]
Seamless Wikipedia browsing. On steroids.
Every time you click a link to Wikipedia, Wiktionary or Wikiquote in your browser's search results, it will show the modern Wikiwand interface.
Wikiwand extension is a five stars, simple, with minimum permission required to keep your browsing private, safe and transparent.