Loading AI tools
Dari Wikipedia, ensiklopedia bebas
Gerakan Hak-Hak Sipil Afrika-Amerika (1955-1968) mengacu pada gerakan-gerakan di Amerika Serikat yang ditujukan untuk melarang diskriminasi rasial terhadap orang Afrika-Amerika dan memulihkan hak-hak suara mereka. Artikel ini mencakup fase gerakan antara tahun 1955 dan 1968, khususnya di Selatan Amerika Serikat. Munculnya Gerakan Kekuatan Hitam yang berlangsung sekitar 1966-1975, memperluas tujuan Gerakan Hak-Hak Sipil untuk memasukkan martabat ras, swasembada ekonomi dan politik, serta kebebasan dari penindasan orang Amerika berkulit putih.
Gerakan ini ditandai oleh kampanye-kampanye besar perlawanan sipil. Antara 1955 dan 1968, aksi-aksi protes antikekerasan dan pembangkangan sipil mengakibatkan terjadinya situasi krisis antara pihak aktivis dan pemerintah. Pemerintah federal dan negara bagian, pemerintah lokal, pemilik bisnis, dan masyarakat sering harus segera tanggap terhadap berbagai peristiwa yang menyoroti ketidakadilan yang dihadapi orang Afrika-Amerika. Bentuk-bentuk protes dan/atau pembangkangan sipil di antaranya: pemboikotan-pemboikotan seperti Boikot Bus Montgomery (1955-1956) yang sukses di Alabama; "aksi-aksi duduk" seperti aksi duduk di Greensboro yang berpengaruh di Carolina Utara (1960), pawai-pawai, seperti Pawai dari Selma ke Montgomery (1965) di Alabama, dan berbagai aktivitas antikekerasan lainnya.
Pencapaian legislatif terpenting selama fase Gerakan Hak Sipil termasuk bagian dari: Undang-Undang Hak-Hak Sipil tahun 1964 [1] yang melarang diskriminasi berdasarkan "ras, warna, agama, atau asal usul bangsa" dalam praktik-praktik ketenagakerjaan dan akomodasi publik; Undang-Undang Hak Pilih 1965 yang memulihkan dan melindungi hak suara; Undang-Undang Layanan Imigrasi dan Kewarganegaraan 1965 yang secara dramatis membuka pintu masuk ke Amerika Serikat untuk imigran-imigran bangsa lain yang bukan dari dari kelompok-kelompok tradisional Eropa, dan Undang-Undang Perumahan Adil 1968 yang melarang diskriminasi dalam penjualan atau sewa perumahan. Afrika-Amerika memasuki kembali dunia politik di Selatan, dan generasi muda di seluruh negeri terinspirasi untuk ikut berpartisipasi.
Setelah pemilihan tahun 1876 yang disengketakan dan berakibat pada berakhirnya Rekonstruksi, orang kulit putih di Selatan menguasai kembali kontrol politik di wilayah tersebut, setelah melakukan intimidasi dan kekerasan dalam pemilu-pemilu. Pencabutan hak pilih orang Afrika-Amerika berlangsung secara sistematis di negara-negara Selatan dari 1890 hingga 1908 dan baru berakhir hingga disahkannya undang-undang hak-hak sipil nasional pada pertengahan 1960-an. Selama lebih dari 60 tahun, misalnya, orang kulit hitam di Selatan tidak dapat memilih siapa pun untuk mewakili kepentingan mereka di Kongres AS atau pemerintah daerah.[2]
Selama periode tersebut, Partai Demokrat yang didominasi kulit putih memperoleh kendali politik di negara-negara bagian Selatan. Partai Republik atau dikenal sebagai "partainya Lincoln" yang sebagian besar orang kulit hitam bergabung sebagai anggota, menciut menjadi tidak berarti setelah terjadinya penekanan pada pendaftaran pemilih hitam. Pada awal abad ke-20, hampir semua pejabat terpilih di Selatan berasal dari Partai Demokrat. [butuh rujukan]
Pada saat yang bersamaan dengan pencabutan hak pilih orang Afrika-Amerika, para Demokrat berkulit putih memaksakan segregasi rasial secara hukum. Kekerasan terhadap orang kulit hitam meningkat. Sistem diskriminasi ras yang disahkan negara bagian diberlakukan secara nyata, dan penindasan yang terjadi pada era pasca-Rekonstruksi Selatan nantinya dikenal sebagai sistem "Jim Crow". Sistem tersebut hampir-hampir tidak tergoyahkan hingga awal tahun 1950-an. Dengan demikian, awal abad ke-20 adalah periode yang sering disebut sebagai "titik nadir hubungan ras di Amerika". Sementara pelanggaran hak-hak sipil dan masalah-masalahnya berlangsung secara hebat di Selatan, ketegangan-ketegangan sosial juga memengaruhi orang Afrika-Amerika di daerah-daerah lain.[3]
Karakteristik periode pasca-Rekonstruksi:
Orang Afrika-Amerika dan ras minoritas lainnya menolak perlakuan tersebut. Mereka menolaknya dengan berbagai cara dan mencari kesempatan yang lebih baik melalui tuntutan hukum, organisasi-organisasi baru, ganti rugi politik, dan pengorganisasian buruh (lihat Gerakan Hak-Hak Sipil Afrika-Amerika (1896-1954)). Asosiasi Nasional untuk Kemajuan Orang Kulit Berwarna (NAACP) didirikan pada tahun 1909. NAACP berjuang untuk mengakhiri diskriminasi ras melalui upaya-upaya litigasi, pendidikan, dan lobi. Puncak pencapaian NAACP adalah kemenangan hukum dalam putusan Mahkamah Agung Brown v. Board of Education (1954) yang menolak sistem terpisah sekolah kulit putih dan kulit berwarna, dan berimplikasi pada pembatalan doktrin "terpisah tetapi sederajat" yang terbentuk setelah kasus Plessy v. Ferguson.
Situasi orang kulit hitam di luar negara-negara Selatan agak lebih baik (di sejumlah besar negara bagian mereka masih mempunyai hak pilih dan menyekolahkan anak-anak, meskipun masih menghadapi diskriminasi di bidang perumahan dan pekerjaan). Dari tahun 1910 sampai 1970, orang Afrika-Amerika mencari kehidupan yang lebih baik dengan bermigrasi ke Amerika Serikat bagian utara dan barat. Sebanyak hampir 7 juta orang kulit hitam meninggalkan negara-negara bagian Selatan dalam perpindahan secara besar-besaran yang dikenal sebagai Migrasi Besar.
Disemangatkan kembali oleh kemenangan kasus Brown v. Board of Education, dan frustrasi akibat kurangnya dampak praktis langsung, warga masyarakat makin menolak pendekatan legalistik dan gradualis sebagai sarana utama untuk mewujudkan desegregasi. Mereka harus berhadapan dengan "perlawanan besar-besaran" di Selatan oleh para pendukung segregasi rasial dan penindasan pemilih. Sebagai bentuk perlawanan, kalangan Afrika-Amerika mengadopsi strategi gabungan dari aksi langsung dan perlawanan tanpa kekerasan yang dikenal sebagai pembangkangan sipil, dan akhirnya melahirkan Gerakan Hak-Hak Sipil Amerika-Afrika 1955-1968.
Strategi pendidikan publik, lobi legislatif, dan litigasi di sistem pengadilan yang menjadi ciri khas Gerakan Hak-Hak Sipil sepanjang paruh pertama abad ke-20 diperluas setelah kemenangan Brown v. Board of Education menjadi sebuah strategi yang menekankan "tindakan langsung"—terutama dalam bentuk boikot, aksi duduk, Kebebasan Naik Bus (Freedom Rides), pawai-pawai dan taktik-taktik serupa yang mengandalkan mobilisasi massa, perlawanan tanpa kekerasan, dan pembangkangan sipil. Pendekatan aksi massa seperti ini menandai Gerakan Hak-Hak Sipil Afrika-Amerika dari 1960-1968.
Gereja-gereja, pusat-pusat komunitas, organisasi akar-rumput setempat, perkumpulan fraternitas, dan bisnis-bisnis yang dimiliki orang kulit hitam memobilisasi sukarelawan untuk berpartisipasi dalam tindakan berbasis luas. Upaya-upaya tersebut ternyata lebih bersifat langsung dan berpotensi lebih cepat dalam menciptakan perubahan dibandingkan dengan pendekatan tradisional berupa tuntutan-tuntutan di pengadilan.
Pada tahun 1952, Dewan Regional Kepemimpinan Negro (Regional Council of Negro Leadership, disingkat RCNL) pimpinan T.R.M. Howard, seorang ahli bedah kulit hitam sekaligus pengusaha dan pemilik perkebunan, mengadakan boikot pompa bensin yang sukses di Mississippi. SPBU yang menjadi sasaran boikot adalah SPBU yang menolak untuk menyediakan toilet untuk kulit hitam. Melalui RCNL, Howard memimpin kampanye untuk mengekspos kekejaman oleh patroli jalan raya negara bagian Mississippi dan mendorong orang kulit hitam untuk membuka deposito di Tri-State Bank di Nashville yang dimiliki orang kulit hitam. Bank tersebut kemudian memberikan pinjaman kepada aktivis hak-hak sipil yang telah menjadi korban dari "kelangkaan kredit" yang dibuat oleh Dewan Warga Putih (White Citizen's Councils).[5]
Asosiasi Perbaikan Montgomery yang didirikan untuk memimpin aksi Boikot Bus Montgomery berhasil mengadakan aksi boikot secara terus menerus sampai lebih dari satu tahun hingga akhirnya dikeluarkan perintah pengadilan federal tentang desegregasi bus di Montgomery. Kesuksesan di Montgomery mengangkat nama pemimpinnya, Dr. Martin Luther King, Jr sebagai seorang tokoh yang dikenal secara nasional. Aksi tersebut juga menjadi inspirasi untuk aksi-aksi boikot bus lainnya, seperti aksi boikot bus di Tallahassee, Florida (1956-1957) yang sangat sukses.
Pada tahun 1957, pemimpin Asosiasi Perbaikan Montgomery, Dr. King dan Pdt. John Duffy, bergabung dengan para pemimpin gereja lainnya yang telah memimpin upaya-upaya boikot yang mirip, seperti: Pendeta C.K. Steele dari Tallahassee dan Pdt. T.J. Jemison dari Baton Rouge, dan aktivis lainnya, seperti: Pendeta Fred Shuttlesworth, Ella Baker, A. Philip Randolph, Bayard Rustin, dan Stanley Levison untuk membentuk Konferensi Kepemimpinan Kristen Selatan (Southern Christian Leadership Conference, disingkat SCLC). Dari markas besarnya di Atlanta, Georgia, SCLC tidak berusaha untuk mendirikan jaringan kantor cabang seperti halnya dilakukan oleh NAACP. Sebagai gantinya, SCLC menyediakan pelatihan dan bantuan kepemimpinan untuk upaya-upaya lokal melawan segregasi. Di markas besarnya, SCLC menggalang dana, sebagian besar dari sumber-sumber di negara bagian Utara untuk mendukung kampanye-kampanye mereka. SCLC menjadikan antikekerasan sebagai prinsip utama sekaligus metode utama mereka dalam menghadapi rasisme.
Pada tahun 1959, Septima Clarke, Bernice Robinson, dan Esau Jenkins dibantu Highlander Folk School di Tennessee mulai membuka Sekolah Kewarganegaraan (Citizenship School) pertama di Kepulauan Laut, Carolina Selatan. Sekolah tersebut mengajarkan membaca kepada orang kulit hitam agar melek huruf sehingga dapat lulus tes untuk mendapat hak memilih dalam pemilu. Program Sekolah Kewarganegaraan sukses besar berhasil memperbanyak jumlah pemilih hitam di Johns Island hingga tiga kali lipat. SCLC mengambil alih program tersebut dan mengadakan program-program serupa yang sukses di tempat lain.
Pada musim semi 1951, keresahan terjadi di kalangan siswa kulit hitam menyangkut sistem pendidikan negara bagian Virginia. Pada waktu itu, para siswa Sekolah Menengah Atas Moton di Prince Edward County yang menerapkan sistem sekolah segregasi, memutuskan untuk menyelesaikan masalah dengan tangan sendiri dalam memerangi dua hal: terlalu banyaknya siswa dibandingkan luas pekarangan sekolah dan kondisi-kondisi yang tidak memuaskan di sekolah mereka. Tindakan para siswa hitam di Selatan waktu itu benar-benar tidak terduga sebelumnya, dan dianggap tidak pantas oleh kulit putih yang masih mengharapkan perilaku subordinasi dari kulit hitam. Selain itu, beberapa pemimpin lokal NAACP telah mencoba membujuk para siswa untuk membatalkan niat mereka memprotes hukum Jim Crow tentang segregasi sekolah. Setelah tuntutan NAACP tidak diterima oleh siswa, NAACP langsung memihak para siswa yang menentang segregasi sekolah. Peristiwa tersebut menjadi salah satu dari lima kasus pengadilan yang kini disebut Brown v. Board of Education. [6]
Pada 17 Mei 1954, Mahkamah Agung Amerika Serikat menjatuhkan putusan mengenai kasus Brown v. Board of Education of Topeka, Kansas . Dalam kasus tersebut, penggugat menuduh bahwa pendidikan anak-anak kulit hitam di sekolah umum yang terpisah dari rekan-rekan siswa kulit putih sebagai inkonstitusional. Pendapat Mahkamah Agung menyatakan bahwa segregasi "anak kulit putih dan anak kulit berwarna di sekolah umum memiliki efek merugikan pada anak-anak berwarna. Dampaknya lebih besar bila pemisahan tersebut memiliki sanksi hukum, karena kebijakan memisahkan ras biasanya ditafsirkan sebagai pernyataan inferioritas kelompok Negro".
Para pengacara dari NAACP harus mengumpulkan beberapa bukti yang masuk akal untuk memenangi kasus Brown vs Board of Education. Cara mereka menangani masalah segregasi sekolah adalah dengan menguraikan secara panjang lebar sejumlah argumen. Salah satu dari argumen adalah kesempatan terpaparnya anak pada kontak antar-ras di lingkungan sekolah. Dikatakan bahwa hal tersebut di kemudian hari dapat membantu mencegah anak-anak tumbuh di tengah tekanan-tekanan masyarakat yang berkaitan dengan ras. Oleh karena itu tercipta kesempatan yang lebih baik untuk hidup di alam demokrasi. Argumen lainnya mengacu pada penekanan tentang bagaimana "'pendidikan' memahami seluruh proses pengembangan dan pelatihan kekuatan mental, fisik dan moral, serta kemampuan manusia".[7] Dalam buku Goluboff, tujuan NAACP dinyatakan sebagai membuat Mahkamah Agung sadar akan adanya fakta anak-anak Afrika-Amerika yang menjadi korban legalisasi segregasi sekolah dan tidak memiliki jaminan masa depan yang cerah. yang Tidak adanya kesempatan untuk terpapar budaya lain dikhawatirkan menghalangi tumbuhnya kemampuan anak-anak kulit hitam untuk berfungsi di kemudian hari dalam kehidupan normal sebagai orang dewasa.
Mahkamah Agung memutuskan bahwa kedua putusan sebelumnya, Plessy v. Ferguson (1896) yang mendasari standar umum "terpisah tetapi sederajat" yang bersifat segregasionisme, dan Cumming v. Richmond County Board of Education (1899) yang menerapkan standar tersebut ke sekolah-sekolah sebagai inkonstitusional. Tahun berikutnya, pada kasus yang dikenal sebagai Brown v. Board of Education, Mahkamah Agung memerintahkan segregasi untuk secara bertahap dihapus, "dengan tanpa terburu-buru".[8] Brown v. Board of Education of Topeka, Kansas, Kansas (1954) tidak membatalkan Plessy v. Ferguson (1896). Plessy v. Ferguson adalah dasar segregasi dalam transportasi, sedangkan Brown v. Board of Education hanya menyangkut segregasi dalam pendidikan. Meskipun demikian, Brown v. Board of Education merupakan langkah pertama menuju masa depan yang membatalkan keputusan 'terpisah tetapi setara'.
Pada 18 Mei 1954 Greensboro menjadi kota pertama di Selatan yang secara terbuka mengumumkan akan dipatuhinya keputusan Mahkamah Agung AS Brown v. Board of Education yang menyatakan segregasi rasial di sekolah-sekolah umum Amerika Serikat sebagai inkonstitusional. "Benar-benar tak terpikirkan sebelumnya," komentar Penilik Dewan Sekolah Benjamin Smith, "bahwa kita akan mencoba untuk [membatalkan] hukum Amerika Serikat." Sejalan dengan sikap Smith, pemungutan suara di dewan sekolah berakhir dengan hasil mendukung putusan Mahkamah Agung, enam lawan satu. Penerimaan yang positif terhadap putusan kasus Brown, bersamaan dengan ditunjuknya warga Afrika-Amerika Dr. David Jones sebagai dewan sekolah pada tahun 1953, telah meyakinkan banyak warga kulit putih dan kulit hitam bahwa Greensboro sedang bergerak maju ke depan, dan kemungkinan akan muncul sebagai perintis integrasi sekolah. Integrasi di Greensboro berlangsung sedikit lebih damai dibandingkan negara-negara Selatan lainnya seperti Alabama, Arkansas, dan Virginia yang terjadi “perlawanan massal” .[9]
Pada 1 Desember 1955, Rosa Parks (nantinya dikenal sebagai "Ibu Gerakan Hak Sipil") menolak memberikan kursi yang didudukinya di bus umum untuk penumpang kulit putih. Ia waktu itu menjabat sekretaris cabang NAACP Montgomery, dan baru saja pulang dari rapat di Highlander Center, Tennessee membahas pembangkangan sipil tanpa kekerasan sebagai sebuah strategi. Parks ditangkap, diadili, dan dihukum karena perilaku tidak tertib dan melanggar peraturan setempat. Setelah berita tentang insiden Parks sampai di komunitas kulit hitam, 50 pemimpin Afrika-Amerika berkumpul dan mengadakan aksi Boikot Bus Montgomery untuk menuntut sistem transportasi bus yang lebih manusiawi. Namun, setelah banyak tuntutan reformasi ditolak, NAACP pimpinan E.D. Nixon akhirnya menuntut desegregasi bus umum secara penuh. Dengan dukungan dari sebagian besar 50.000 penduduk Afrika-Amerika di Montgomery, boikot bus berlangsung selama 381 hari hingga dihapusnya peraturan segregasi setempat yang memisahkan tempat duduk orang Afrika-Amerika dan orang kulit putih di bus umum. Sembilan puluh persen orang Afrika-Amerika di Montgomery ikut serta dalam boikot yang menyebabkan pendapatan bus berkurang hingga 80% sampai akhirnya pengadilan federal memerintahkan desegregasi bus di Montgomery pada November 1956.[10]
Seorang pendeta Baptis muda bernama Martin Luther King, Jr. adalah ketua dari organisasi bernama Montgomery Improvement Association yang mengatur boikot tersebut. Protes tersebut menjadikan King sebagai tokoh nasional. Pemahamannya yang fasih terhadap persaudaraan Kristen dan idealisme Amerika menciptakan kesan positif tidak hanya di antara orang-orang di Selatan, melainkan juga di negara-negara bagian lain.
Little Rock, Arkansas adalah kota di Selatan yang keadaannya relatif progresif. Namun sebuah krisis meletus ketika Gubernur Arkansas Orval Faubus memanggil Garda Nasional Amerika Serikat pada tanggal 4 September untuk menghalangi masuknya Sembilan siswa Afrika-Amerika yang menuntut hak menghadiri Sekolah Menengah Atas Little Rock Central yang telah menjadi sekolah terintegrasi.[11] Kesembilan siswa telah diterima di sekolah tersebut berkat catatan prestasi akademik mereka yang sangat baik. Pada hari pertama sekolah, hanya seorang siswa wanita dari sembilan siswa yang muncul. Itu pun karena dia tidak menerima telepon yang memperingatinya tentang bahaya pergi ke sekolah. Dia dilecehkan oleh demonstran putih di luar kompleks sekolah, dan polisi harus membawanya pergi dengan mobil patroli untuk melindunginya. Selanjutnya, kesembilan siswa Afrika-Amerika tersebut harus pergi-pulang naik mobil antar-jemput dan dikawal oleh personel militer yang berkendaraan jip.
Guburnur Faubus tidak pernah memproklamirkan dirinya sebagai segregasionis. Partai Demokrat Arkansas yang waktu itu mengendalikan politik negara bagian memberikan tekanan yang signifikan terhadap Faubus. Penyebabnya, Faubus menunjukkan indikasi akan menyelidiki kemungkinan Arkansas mematuhi keputusan kasus Brown. Faubus selanjutnya mengambil sikap menentang integrasi dan perintah pengadilan federal.
Sikap Faubus mendapat perhatian dari Presiden Dwight D. Eisenhower yang bertekad menegakkan perintah pengadilan federal. Kritikus sebagai menuduh Eisenhower hanya suam-suam kuku dalam soal desegregasi sekolah umum. Eisenhower memfederalisasi Garda Nasional dan memerintahkan mereka kembali ke barak. Ia kemudian menggelar unsur-unsur dari Divisi Lintas Udara 101 ke Little Rock untuk melindungi siswa.
Kesembilan siswa memang akhirnya bisa pergi ke sekolah. Namun mereka harus melewati serombongan siswa kulit putih yang menyambut dengan meludahi mereka serta sorak-sorai cemooh. Mereka nantinya harus tabah menerima pelecehan dari sesama siswa hingga tahun ajaran berakhir. Meskipun dikawal tentara federal, para siswa ketika harus berpindah dari satu kelas ke kelas lainnya masih saja digoda dan bahkan diserang siswa kulit putih kalau mereka sedang tidak dijaga tentara. Salah seorang dari Sembilan Siswa Little Rock bernama Minnijean Brown diskors karena membalas dengan menumpahkan semangkuk chili di atas kepala seorang siswa kulit putih yang mengganggunya di antrean makan siang sekolah. Dia akhirnya dikeluarkan dari sekolah karena menyerang secara verbal seorang siswa kulit putih.[12]
Hanya seorang dari Sembilan Siswa Litle Rock, Ernest Green, yang akhirnya berkesempatan lulus. Setelah tahun ajaran 1957-1958 selesai, administrator sekolah di Little Rock memutuskan untuk menutup semua sekolah umum daripada harus melanjutkan proses integrasi untuk kemenangan orang kulit hitam. Administrator sekolah-sekolah lainnya di Selatan kemudian mengikuti keputusan Little Rock.
Gerakan Hak-Hak Sipil menerima tambahan energi baru dengan dilakukannya aksi duduk mahasiswa di kedai Woolworth di Greensboro, Carolina Utara.[13] Pada 1 Februari 1960, empat mahasiswa perguruan tinggi khusus kulit hitam North Carolina Agricultural & Technical College, bernama Ezell A. Blair, Jr. (sekarang bernama Jibreel Khazan), David Richmond, Yoseph McNeil, dan Franklin McCain duduk di konter makan siang khusus kulit putih sebagai bentuk protes kebijakan Woolworth yang menganaktirikan orang Afrika-Amerika.[14] Keempat siswa tersebut sebelumnya membelanjakan uangnya membeli barang-barang kecil di bagian lain toko tersebut dan menyimpan kuitansinya. Selanjutnya, mereka duduk di konter makan siang dan meminta dilayani. Seperti telah diduga sebelumnya, mereka tidak dilayani. Sebagai pembelaan, mereka mengeluarkan kuitansi bukti pembelian barang yang sebelumnya mereka terima. Mereka bertanya mengapa uang mereka laku diterima di gera-gerai lain toko yang sama, tetapi tidak laku di konter makan siang.[15] Keempat mahasiswa itu berpakaian pantas seperti telah disarankan kepada mereka sebelumnya, dan tetap duduk dengan tenang. Mereka duduk berselang-seling, membiarkan satu kursi kosong di antara tempat duduk. Maksudnya agar simpatisan kulit putih yang berminat dapat bergabung. Aksi duduk di Greensboro segera diikuti aksi-aski duduk lainnya di Richmond, Virginia .[16] Nashville, Tennessee, dan Atlanta, Georgia..[17][18]
Sementara para mahasiswa Selatan mengadakan aksi duduk di konter-konter makan siang setempat, tokoh-tokoh berwenang setempat kadang-kadang menggunakan taktik brutal untuk mengusir mereka secara fisik dari kedai-kedai makan siang.
Strategi "aksi duduk" sebetulnya bukan hal baru. Pada tahun 1939, Samuel Wilbert Tucker, seorang pengacara Afrika-Amerika, melakukan aksi duduk di perpustakaan Alexandria, Virginia yang waktu itu menerapkan sistem segregasi.[19] Pada tahun 1960, strategi aksi duduk berhasil menarik perhatian seluruh negeri tentang adanya Gerakan Hak-Hak Sipil.[20] Kesuksesan aksi duduk di Greensboro menyulut aksi-aksi mahasiswa lain di seluruh negara bagian di Selatan. Aksi mahasiswa yang kemungkinan paling terorganisir baik, paling disiplin, dan paling segera membuahkan hasil adalah aksi di Nashville, Tennessee.[21]
Pada 9 Maret 1960, sekelompok mahasiswa dari Pusat Universitas Atlanta menerbitkan manifesto berjudul Sebuah Seruan untuk Hak Asasi Manusia (An Appeal for Human Rights) [22] dalam iklan satu halaman penuh di beberapa surat kabar, termasuk Atlanta Constitutions, Atlanta Journal, dan Atlanta Daily World. [23] Kelompok mahasiswa tersebut menamakan diri mereka Komite Banding Hak Asasi Manusia (Committee on the Appeal for Human Rights, disingkat COAHR) memprakarsai Gerakan Mahasiswa Atlanta [24] dan mulai mengorganisir aksi-aksi duduk di Atlanta[25] yang dimulai 15 Maret 1960.[18]
Pada akhir 1960, aksi-aksi duduk telah menyebar ke setiap negara bagian di Selatan dan negara-negara bagian lain yang berbatasan, bahkan hingga ke Nevada, Illinois, dan Ohio.
Para demonstran tidak hanya memusatkan aksi-aksi mereka di konter makan siang, melainkan juga di taman umum, pantai, perpustakaan, teater, museum, dan fasilitas publik lainnya. Setelah ditangkap, mahasiswa demonstran memohon agar mereka "dipenjara tanpa pembebasan dengan uang jaminan". Maksud mereka untuk menarik perhatian masyarakat terhadap masalah yang sedang mereka hadapi, sekaligus membebani akibat protes mereka pada masyarakat. Setelah mahasiswa kulit hitam berbondong-bondong dipenjara, pihak yang memenjarakan harus menanggung beban keuangan, terutama soal ketersediaan ruang penjara dan biaya makanan.
Pada April 1960, para aktivis yang memimpin aksi duduk mengadakan konferensi di Universitas Shaw, Raleigh, Carolina Utara. Konferensi sepakat untuk membentuk Komite Koordinasi Mahasiswa Antikekerasan (Student Nonviolent Coordinating Committee, disingkat SNCC).[26] SNCC meneruskan aksi-aksi konfrontasi tanpa kekerasan lebih jauh lagi hingga melakukan aksi Freedom Rides.[27]
Kebebasan Naik Bus (Freedom Rides) adalah aksi-aksi yang dilakukan para aktivis Hak-Hak Sipil di bus-bus antarnegara bagian Selatan yang tersegregasi. Aksi ini bertujuan menguji keputusan Mahkamah Agung Amerika Serikat Boynton v. Virginia (1960) 364 U.S. yang menghapus segregasi untuk penumpang bus antarnegara bagian. Penyelenggara aksi naik bus tersebut adalah Kongres Ekualitas Ras (Congress of Racial Equality, disingkat CORE). Peserta aksi Freedom Rides gelombang pertama berangkat dari Washington D.C. pada 4 Mei 1961, dan dijadwalkan tiba di New Orleans pada 17 Mei.[28]
Selama melakukan aksi pertama mereka dan berikutnya, para aktivis naik bus antarkota menyusuri Pedalaman Selatan untuk mencoba integrasi sistem pemisahan tempat duduk dan memeriksa kemajuan desegregasi terminal bus, termasuk toilet dan pancuran air minum. Misi mereka terbukti sebagai misi berbahaya. Di Anniston, Alabama sebuah bus dibakar dengan bom api, hingga penumpang terpaksa berlarian menyelamatkan nyawa. Di Birmingham, Alabama, seorang informan FBI melapor soal Komisaris Keselamatan Publik bernama Eugene "Bull" Connor. Menurut informan, Connor memberi waktu 15 menit kepada para anggota Ku Klux Klan untuk menyerang kelompok Freedom Rides sebelum tiba "perlindungan" dari polisi yang sengaja datang terlambat di tempat kejadian. Para aktivis Freedom Rides dipukuli hingga babak-belur "sampai mereka kelihatan seperti seperti habis diserang anjing bulldog". James Peck, seorang aktivis putih, dipukuli begitu parahnya hingga perlu lima puluh jahitan di kepala. [butuh rujukan]
Kekerasan massa di Anniston dan Birmingham untuk sementara menghentikan aksi Kebebasan Naik Bus, tetapi aktivis-aktivis SNCC dari Nashville mendatangkan peserta baru Freedom Rides untuk melanjutkan perjalanan dari Birmingham. Di Stasiun Bus Greyhound, Montgomery, Alabama, gerombolan massa menyerang bus yang dinaiki aktivis, menokok John Lewis dengan sebuah peti kayu hingga pingsan, dan menghantam wajah fotografer majalah Life Don Urbrock dengan kamera yang dibawanya. Selusin orang mengepung seorang mahasiswa kulit putih bernama Jim Zwerg dari Universitas Fisk, dan memukuli wajahnya dengan koper hingga giginya copot. [butuh rujukan]
Pada 24 Mei 1961, aktivis Freedom Rides melanjutkan perjalanan mereka ke Jackson, Mississippi. Di kota tersebut mereka ditahan dengan tuduhan "melanggar perdamaian" karena menggunakan fasilitas "khusus putih". Aksi-aksi baru kebebasan naik bus diorganisir oleh berbagai organisasi berbeda. Setelah para aktivis tiba di Jackson, mereka ditangkap. Hingga akhir musim panas 1961, lebih dari 300 aktivis dipenjara di Mississippi.[29]
Sewaktu dipenjara, para aktivis yang diperlakukan kasar. Mereka dijejalkan ke dalam sel yang sempit, kotor, dan dipukuli secara sporadis. Di Jackson, Mississippi sejumlah tahanan pria dipaksa melakukan kerja paksa di bawah suhu 38 derajat Celsius. Aktivis lainnya dipindahkan ke Penjara Negara Bagian Mississippi di Parchman. Di sana, mereka mendapat makanan yang sengaja diberi garam banyak-banyak dan kasur mereka diambil. Kadang-kadang para aktivis digantung di dinding dengan alat penyiksa yang disebut "pemutus pergelangan tangan". Biasanya, jendela sel mereka ditutup rapat-rapat ketika hari panas-panasnya, sehingga sulit bagi mereka untuk bernapas.
Simpati publik dan dukungan bagi aktivis Freedom Rides akhirnya membuat Pemerintahan Kennedy meminta Interstate Commerce Commission (ICC) agar mengeluarkan perintah desegregasi yang baru. Ketika aturan baru ICC mulai diberlakukan pada 1 November 1961, para penumpang bus diizinkan untuk duduk di mana mereka suka; plang-plang di terminal yang menandai tempat khusus "putih" dan "berwarna" dibongkar; pancuran air minum, toilet, dan ruang tunggu dijadikan satu, dan konter makan siang mulai melayani orang tanpa membedakan warna kulit.
Gerakan mahasiswa melibatkan begitu banyak tokoh terkenal seperti John Lewis, James Lawson, "guru" teori dan taktik antikekerasan, Diane Nash, pejuang keadilan yang berani; Bob Moses, pelopor pendaftaran pemilih di Mississippi, dan James Bevel, seorang pengkhotbah berapi-api, organisator, serta fasilitator yang berwibawa. Di antara aktivis mahasiswa lainnya terdapat nama-nama seperti Charles McDew, Bernard Lafayette, Charles Jones, Lonnie King, Julian Bond, Hosea Williams, dan Stokely Carmichael.
Setelah aksi Freedom Rides, para pemimpin lokal kulit hitam di Mississippi seperti Amzie Moore, Aaron Henry, Medgar Evers, dan lain-lain meminta SNCC untuk membantu pendaftaran pemilih kulit hitam dan membangun organisasi masyarakat yang bisa memenangi sebagian kekuatan politik negara bagian. Setelah Mississippi meratifikasi konstitusi pada tahun 1890, dengan ketentuan seperti pajak pemilu, persyaratan tempat tinggal, dan tes melek huruf, pendaftaran pemilih menjadi lebih rumit sehingga pemilih kulit hitam harus menanggalkan hak pilih mereka. Sejak jauh sebelumnya, niat menjauhkan pemilih kulit hitam dari kotak suara merupakan bagian dari budaya supremasi putih. Pada musim gugur 1961, organisator SNCC bernama Robert Moses memulai proyek pendaftaran pemilih yang pertama di McComb dan county-county sekitarnya di sudut barat daya Mississippi. Upaya mereka dihadapi dengan represi kekerasan dari pihak berwenang lokal dan negara bagian, termasuk Dewan Warga Putih dan Ku Klux Klan yang berakhir dengan aksi-aksi pemukulan, ditangkapnya ratusan orang, dan pembunuhan aktivis pemungutan suara Herbert Lee.[30]
Oposisi putih terhadap pendaftaran pemilih hitam begitu kuat di Mississippi sehingga para aktivis Gerakan Kebebasan menyimpulkan bahwa semua organisasi hak-hak sipil harus bersatu dalam upaya terkoordinasi agar memiliki kesempatan untuk sukses. Pada Februari 1962, perwakilan-perwakilan dari SNCC, INTI, dan NAACP membentuk Council of Federated Organizations (COFO). Pada pertemuan berikutnya, Agustus 1962, SCLC menjadi bagian dari COFO.[31]
Pada musim semi 1962, dengan dana dari Proyek Pendidikan Pemilih, SNCC/COFO mulai mengorganisir pendaftaran pemilih di kawasan Delta Mississippi sekitar Greenwood, dan daerah-daerah yang mengelilingi Hattiesburg, Laurel, and Holly Springs. Seperti halnya kesulitan yang dihadapi McComb, upaya-upaya mereka harus menghadapi perlawanan sengit, penangkapan, pemukulan, penembakan, pembakaran, dan pembunuhan. Petugas pendaftaran pemilih menggunakan tes melek huruf untuk menjauhkan orang kulit hitam dari daftar pemilih. Petugas bahkan membuat standar-standar kelulusan sendiri yang bahkan sulit ditembus oleh orang berpendidikan tinggi. Selain itu, para majikan memecat para pekerja kulit hitam yang mencoba untuk mendaftar sebagai pemilih, dan tuan-tuan tanah mengusir mereka dari rumah-rumah mereka.[32] Selama tahun-tahun berikutnya, kampanye pendaftaran pemilih hitam meluas ke seluruh negara bagian.
Kampanye pendaftaran pemilih yang serupa juga dimulai oleh SNCC, CORE, dan SCLC di Louisiana, Alabama, barat daya Georgia, dan Carolina Selatan. Kampanye tersebut juga mendapat perlawanan serupa dari kalangan kulit putih. Pada 1963, kampanye pendaftaran pemilih di Selatan dijadikan sebagai bagian integral dari Gerakan Kebebasan seperti halnya upaya desegregasi. Setelah disahkannya Undang-Undang Hak-Hak Sipil 1964[1] agenda utama gerakan hak-hak sipil dipusatkan pada upaya melindungi dan memberikan fasilitas pendaftaran pemilih meskipun mendapat hambatan dari negara bagian. Upaya tersebut berakhir dengan disahkannya Undang-Undang Hak Pilih 1965.
Dengan maksud memanfaatkan kesempatan yang disediakan GI Bill, seorang veteran Perang Korea berkulit hitam bernama Clyde Kennard pada tahun 1956 mencoba mendaftar di Mississippi Southern College (sekarang Universitas Mississippi Selatan) di Hattiesburg. Rektor universitas, Dr. William David McCain berusaha mencegah masuknya Kennard dengan meminta pertimbangan para pemimpin kulit hitam setempat dan institusi politik negara bagian yang mendukung segregasi. McCain menggunakan pengaruh sebuah badan negara bagian bernama Komisi Kedaulatan Negara Bagian Mississippi yang dirinya tercatat sebagai anggota. Komisi tersebut didanai oleh negara bagian, dan bertujuan melawan gerakan hak-hak sipil dengan cara menggambarkan kebijakan segregasi secara positif. Komisi bahkan bertindak lebih jauh lagi dengan mengumpulkan data-data para aktivis, melecehkan mereka secara hukum, dan menggunakan boikot ekonomi terhadap mereka dengan cara mengancam kelangsungan pekerjaan (atau menyebabkan mereka kehilangan pekerjaan). Semuanya dilakukan dalam usaha menekan aktivis kulit hitam.
Kennard dua kali ditangkap berdasarkan tuduhan-tuduhan palsu, dan akhirnya dinyatakan bersalah dan dihukum tujuh tahun di penjara negara bagian.[33] Setelah menjalani tiga tahun kerja paksa, Kennard akhirnya dibebaskan oleh Gubernur Mississippi Ross Barnett. Para wartawan menyelidiki kasus Kennard dan mempublikasikan perlakuan tidak layak dari negara bagian sehubungan kanker usus besar yang dideritanya.[33]
Peran McCain dalam penangkapan hingga dihukumnya Kennard tidak diketahui.[34][35][36][37] Ketika berusaha mencegah pendaftaran Kennard, McCain berpidato di Chicago dalam perjalanan dinas yang disponsori oleh Komisi Kedaulatan Negara Bagian Mississippi. Ia menggambarkan orang kulit hitam yang berusaha mewujudkan desegregasi sekolah di Selatan sebagai orang "impor" dari Utara. (Kennard adalah kelahiran dan penduduk asli Hattiesburg.)
"Kami bersikeras bahwa secara sosial dan kependidikan, kita menjaga masyarakat terpisah. ... Setelah menimbang dengan saksama, saya mengakui bahwa kita tidak ingin menggalakkan pemilih Negro. Para Negro lebih suka kalau kendali pemerintahan tetap berada di tangan orang kulit putih." [34][36][37]
Catatan: Mississippi telah meloloskan sebuah konstitusi baru pada tahun 1890 yang secara efektif mencabut hak pilih sebagian besar orang kulit hitam dengan mengubah persyaratan elektoral dan persyaratan pendaftaran pemilih. Meskipun mencabut hak-hak konstitusional kulit hitam yang sebelumnya sudah dijamin oleh amendemen-amendemen pasca-Perang Saudara, konstitusi baru Mississippi ternyata dapat bertahan dari gugatan Mahkamah Agung AS. Baru setelah disahkannya Undang-Undang Hak Pilih 1965, sebagian besar orang kulit hitam di Mississippi dan negara-negara bagian di selatan lainnya memperoleh perlindungan federal dalam melaksanakan hak pilih mereka.
Pada September 1962, James Meredith memenangi gugatan yang memastikan dirinya diterima di Universitas Mississippi yang sebelumnya adalah universitas tersegregasi. Ia mencoba masuk kampus dalam 3 kali kesempatan, 20 September, 25 September, dan sekali lagi pada 26 September. Dia diblokir oleh Gubernur Mississippi Ross Barnett, yang berkata, "Tidak akan ada sekolah di Mississippi yang diintegrasikan sementara saya masih Gubernur Anda." Pengadilan Banding Sirkuit Kelima Amerika Serikat menyatakan Barnett dan Wakil Gubernur Paul B. Johnson, Jr. melecehkan peradilan dan didenda lebih dari AS$10.000 untuk setiap hari Meredith ditolak masuk kampus.
Jaksa Agung Robert Kennedy mengirim perwira-perwira Marsekal Amerika Serikat. Pada 30 September 1962, Meredith memasuki kampus di bawah pengawalan mereka. Mahasiswa kulit putih dan pendukung mereka membuat kerusuhan pada malam itu, melempari batu lalu menembaki Marsekal yang menjaga Meredith di Aula Lyceum. Dua orang, termasuk seorang wartawan Prancis tewas; 28 orang Marsekal menderita luka tembak, dan 160 orang lainnya terluka. Setelah Patroli Jalan Raya Mississippi ditarik mundur dari kampus, Presiden John F. Kennedy mengirim pasukan reguler Angkatan Darat Amerika Serikat ke kampus untuk meredakan kerusuhan. Meredith mulai kuliah sehari setelah pasukan tiba.[38]
Kennard dan para aktivis lainnya terus mengusahakan terwujudnya desegregasi universitas umum. Pada tahun 1965, Raylawni Branch dan Gwendolyn Elaine Armstrong berhasil menjadi orang Afrika-Amerika pertama yang kuliah di Universitas Mississippi Selatan. Pada saat itu, McCain membantu memastikan mereka dapat memasuki kampus secara damai.[39] Pada tahun 2006, Hakim Robert Helfrich memutuskan Kennard bersih dari segala tuduhan yang membuatnya dihukum pada tahun 1950-an.[33]
Setelah dikritik oleh sebagian aktivis mahasiswa karena gagal berperan sepenuhnya dalam kampanye Kebebasan Naik Bus, SCLC mencurahkan upaya dan sumber daya untuk kampanye desegregasi di Albany, Georgia pada November 1961. Martin Luther King juga dikritik secara pribadi oleh beberapa aktivis SNCC karena selalu berada di atas (hingga mendapat julukan "De Lawd") dan tidak mau turun ke bawah berhadapan dengan bahaya seperti halnya para organisator lokal. King akhirnya mau ikut campur secara pribadi membantu kampanye yang dipimpin oleh organisator SNCC dan pemimpin setempat.
Kampanye desegregasi di Albany gagal karena taktik licik dari Laurie Pritchett, kepala polisi setempat, dan perpecahan di tengah masyarakat kulit hitam. Tujuan Gerakan Albany sendiri mungkin belum cukup spesifik. Pritchett berhasil membungkam para peserta pawai tanpa serangan kekerasan terhadap demonstran hingga membuat marah publik di seluruh negeri. Ia juga mengatur supaya demonstran yang tertangkap dibawa ke penjara di daerah-daerah sekitarnya, sehingga polisi tidak kekurangan ruang penjara. Prichett jauh-jauh hari juga sudah memperhitungkan kehadiran King sebagai bahaya. Ia terpaksa membebaskan King untuk menghindari pengerahan massa dari komunitas kulit hitam. Pada tahun 1962, King lepas tangan dari Albany tanpa berhasil mencapai kemenangan dramatis. Meskipun demikian, gerakan lokal tetap melanjutkan perjuangan, dan memperoleh kemenangan signifikan beberapa tahun kemudian.[40]
SCLC mendapat pelajaran berharga dari kegagalan Gerakan Albany. Oleh karena itu, ketika SCLC memulai Kampanye Birmingham pada tahun 1963, Direktur Eksekutif Wyatt Tee Walker merencanakan sendiri strategi dan taktik kampanye secara cermat. Kampanye dipusatkan pada satu tujuan, desegregasi toko-toko milik pedagang di pusat kota Birmingham, dan tidak mengharapkan desegregasi total seperti di Albany. Upaya-upaya desegregasi di Albany terbantu oleh respon brutal dari pejabat lokal, khususnya Eugene "Bull" Connor yang menjabat Komisaris Keamanan Publik. Sebagai Komisaris Keamanan Publik, Connor telah lama berkuasa secara politik, namun tidak terpilih ketika mencalonkan dirinya menjadi wali kota. Ia kalah dari kandidat yang juga seorang segregasionis, tetapi tidak begitu fanatik. Sebagai bentuk penolakan terhadap kekuasaan wali kota yang baru, Connor berniat untuk terus menduduki jabatannya.
Kampanye di Birmingham menggunakan berbagai metode konfrontasi tanpa kekerasan, termasuk aksi duduk, aksi berlutut di gereja-gereja setempat, dan berpawai ke gedung county untuk menandai dimulainya tuntutan untuk mendaftar para pemilih. Namun pemerintah kota berhasil memperoleh perintah pengadilan yang melarang semua protes. Organisator kampanye yakin bahwa putusan tersebut inkonstitusional hingga kampanye tetap diteruskan, tetapi mereka bersiap-siap untuk menghadapi penangkapan massal para aktivis. King termasuk salah seorang yang ditangkap pada 12 April 1963.[41]
Sewaktu di penjara, King menulis "Surat dari Penjara Birmingham" yang terkenal itu.[42] Naskah ditulisnya di pinggiran yang kosong pada halaman surat kabar karena sama sekali tidak diizinkan mendapat kertas untuk menulis sewaktu ditahan di sel isolasi.[43] Para pendukung meminta bantuan Pemerintah Kennedy yang campur tangan untuk mendapatkan perintah pembebasan King. setelah para pendukung meminta bantuan. Sebelum dibebaskan pada pagi 19 April 1963, King diizinkan untuk menelepon istrinya yang sedang beristirahat memulihkan kesehatan di rumah setelah melahirkan anak keempat mereka.
Setelah banyak demonstran yang ditangkap, Kampanye Birmingham goyah karena kehabisan demonstran yang bersedia mengambil risiko ditangkap. James Bevel, Direktur Aksi Kangsung dan Pendidikan Antikekerasan SCLC, menemukan cara alternatif yang berani sekaligus kontroversial dengan cara melatih murid sekolah menengah atas untuk turut serta dalam demonstrasi. Akibatnya, lebih dari seribu murid bolos sekolah pada 2 Mei 1963 untuk berkumpul di Gereja Baptis 16th Street. Mereka bergabung dengan demonstrasi yang kemudian dikenal sebagai Perang Salib Anak-Anak. Akibatnya, lebih dari enam ratus siswa berakhir di penjara. Penangkapan jadi berita, meskipun awalnya polisi bertindak sambil menahan diri. Namun pada hari berikutnya, seribu siswa lainnya datang berkumpul di gereja. Ketika mereka mulai berpawai, Bull Connor melepaskan anjing polisi ke arah mereka, lalu menyiram anak-anak dengan selang air pemadam kebakaran. Pemirsa di seluruh penjuru negeri menyaksikan televisi yang menyiarkan gambar anak-anak sekolah yang ditumbangkan siraman air selang pemadam kebakaran dan anjing-anjing polisi yang menyerang demonstran satu demi satu.
Kemarahan publik meluas hingga pemerintah Kennedy harus campur tangan lebih jauh dalam negosiasi antara komunitas bisnis kulit putih dan SCLC. Pada 10 Mei 1963, para pihak mengumumkan sebuah perjanjian yang isinya menyepakati desegregasi konter makan siang dan fasilitas publik di pusat kota, pendirian sebuah komite untuk menghapus praktik-praktik perekrutan yang diskriminatif, pembebasan demonstran yang dipenjarakan, dan penyediaan sarana komunikasi reguler antara pemimpin kulit hitam dan kulit putih.
Tidak semua orang di komunitas kulit hitam menyetujui persetujuan tersebut, terutama Pdt. Fred Shuttlesworth yang sangat kritis. Berdasarkan pengalamannya dalam berhubungan dengan struktur kekuasaan di Birmingham, dirinya skeptis dengan niat baik mereka. Unsur-unsur masyarakat kulit putih bereaksi keras. Mereka mengebom Motel Gaston yang dijadikan markas tidak resmi SCLC, rumah Pdt. A.D. King, kakak Martin Luther King.
Kennedy bersiap-siap menurunkan Garda Nasional Alabama bila keadaan memerlukan. Empat bulan kemudian, pada 15 September, sebuah konspirasi anggota Ku Klux Klan mengebom Gereja Baptis Sixteenth Street di Birmingham, menewaskan empat gadis muda.
Sementara itu pada musim panas 1963, Gubernur Alabama George Wallace berusaha menghentikan [44] berjalannya integrasi Universitas Alabama. Presiden John F. Kennedy menggunakan pengaruhnya sehingga Gubernur Wallace minggir, dan dua siswa kulit hitam diizinkan kuliah. Malam itu, Presiden Kennedy menyampaikan pidato hak-hak sipil yang bersejarah. Pidato tersebut disiarkan secara nasional oleh televisi dan radio.[45] Keesokan harinya, Medgar Evers dibunuh di Mississippi.[46][47] Seperti yang telah dijanjikan, minggu berikutnya pada 19 Juni 1963, Presiden Kennedy menyampaikan RUU Hak-Hak Sipil kepada Kongres.[48]
A. Philip Randolph sebelumnya pernah merencanakan pawai di Washington, D.C. pada tahun 1941 untuk mendukung tuntutan dihapusnya diskriminasi dalam pekerjaan di industri pertahanan. Pawai dibatalkan ketika pemerintah Roosevelt memenuhi permintaannya dengan mengeluarkan Executive Order 8802 yang melarang diskriminasi ras dan mendirikan sebuah badan yang mengawasi kepatuhan perintah presiden tersebut.
Randolph dan Bayard Rustin adalah kepala perencana pawai kedua yang mereka usulkan pada tahun 1962. Pemerintahan Kennedy memberi tekanan keras pada Randolph dan King untuk membatalkan rencana pawai tetapi tidak berhasil. Pawai di Washington akhirnya dilangsungkan pada 28 Agustus 1963.
Berbeda dari pawai tahun 1941 yang dalam perencanaannya hanya menyertakan organisasi yang dipimpin kulit hitam, pawai tahun 1963 merupakan upaya kolaborasi dari semua organisasi utama hak-hak sipil, sayap yang lebih progresif dari gerakan buruh, dan organisasi liberal lainnya. Pawai di Washington memiliki enam tujuan resmi:
Dari butir-butir tersebut, fokus utama pawai adalah bagian hukum hak-hak sipil seperti yang telah diusulkan pemerintahan Kennedy setelah terjadinya pergolakan di Birmingham.
Liputan media nasional juga sangat membantu tereksposnya pawai secara nasional. Dalam bab berjudul "Pawai di Washington dan Berita Televisi,"[49] William Thomas menulis: "Lebih dari lima ratus juru kamera, teknisi, dan koresponden dari jaringan-jaringan berita utama bersiap untuk meliput peristiwa itu. Jumlah kamera yang disiapkan jauh lebih banyak dari jumlah kamera yang dipakai untuk memfilmkan pelantikan presiden yang terakhir. Salah satu kamera diposisikan di tempat yang tinggi, di atas Monumen Washington, untuk memberikan pemandangan dramatis dari para demonstran ". Dengan menyiarkan pidato-pidato pada organisator dan menyiarkan komentar mengenainya, stasiun-stasiun televisi secara harfiah telah membingkai cara pemirsa lokal melihat dan memahami peristiwa tersebut.[49] Pawai berakhir dengan sukses, meskipun tidak tanpa kontroversi. Diperkirakan sejumlah 200.000 hingga 300.000 demonstran berkumpul di depan Lincoln Memorial, tempat Martin Luther King menyampaikan pidato terkenal "I Have a Dream". Sementara banyak pembicara yang memuji pemerintahan Kennedy karena upaya-upaya yang dilakukan pemerintah menuju terwujudnya undang-undang hak-hak sipil baru yang lebih efektif, melindungi hak untuk memilih, dan melarang segregasi, John Lewis dari SNCC justru mengritik pemerintah yang menurutnya tidak cukup berbuat melindungi pekerja hak-hak sipil dan orang-orang kulit hitam di Selatan yang menjadi korban serangan di Pedalaman Selatan.
Setelah Pawai di Washington, King dan pemimpin hak-hak sipil lainnya bertemu dengan Presiden Kennedy di Gedung Putih. Sementara pemerintahan Kennedy terlihat tulus berkomitmen untuk meloloskan RUU Hak-Hak Sipil, nasib RUU tersebut masih tidak jelas karena bergantung pada cukupnya jumlah suara di Kongres. Namun ketika Presiden Kennedy dibunuh pada 22 November 1963 oleh Lee Harvey Oswald tetapi Oswald dibunuh oleh pemilik klub malam Jack Ruby dua hari kemudian,[48] Presiden Lyndon Johnson yang baru diangkat memutuskan untuk menggunakan pengaruhnya di Kongres untuk meloloskan banyak agenda legislatif Kennedy.
Pada 17 Desember 1951, Kongres Hak-Hak Sipil yang berafiliasi dengan Partai Komunis menyampaikan petisi kepada PBB yang berjudul Kami Menuntut Soal Genosida: Kejahatan Pemerintah Terhadap Orang Negro. Petisi itu populer sebagai We Charge Genoside, mempersoalkan pemerintah federal Amerika Serikat, yang gagal bertindak terhadap hukuman mati tanpa pengadilan di Amerika Serikat. Permerintah Amerika Serikat dinyatakan bersalah karena telah melakukan genosida berdasarkan Pasal II Konvensi Genosida PBB.[50] Petisi disampaikan kepada Perserikatan Bangsa-Bangsa dalam dua kesempatan terpisah. Penyanyi konser sekaligus aktivis Paul Robeson menyampaikannya kepada seorang pejabat PBB di New York City, sementara Direktur Eksekutif CRC, William L. Patterson, menyampaikan salinan draf petisi kepada delegasi PBB di Paris. Patterson yang menjadi redaktur petisi tersebut adalah pemimpin Partai Komunis Amerika Serikat sekaligus Kepala Pembelaan Buruh Internasional, sebuah kelompok yang menyediakan pembelaan hukum untuk komunis, serikat buruh, dan Afrika-Amerika dalam kasus-kasus yang melibatkan isu-isu penganiayaan ras atau politik. Tokoh-tokoh awal Hak-hak Sipil seperti Robeson, Dubois dan Patterson kehilangan dukungan dari arus utama Amerika Hitam dam NAACP setelah mereka makin radikal secara politik, sekaligus menjadikan mereka sasaran gerakan Perang Dingin antikomunisme yang dilancarkan Pemerintah Amerika Serikat. Dalam usaha untuk mendapatkan tempat dalam arus utama dan memperoleh basis luas, generasi baru aktivis hak-hak sipil berjuang mati-matian untuk secara terbuka menjauhkan diri dari apa pun dan siapa pun yang terlibat komunis. Meskipun telah mengambil jarak, sebagian dari pemimpin hak-hak sipil dan organisasi-organisasinya masih saja diselidiki oleh FBI di bawah pimpinan J. Edgar Hoover, dan dicap "komunis" atau "subversif." Pada awal 1960-an, praktik menjaga jarak yang dilakukan Gerakan Hak-Hak Sipil dari "Kalangan Merah" ditentang oleh Komite Koordinasi Mahasiswa Antikekerasan (SNCC) yang mengambil kebijakan menerima bantuan dan partisipasi oleh siapa saja, tanpa memandang afiliasi politik asalkan mendukung program SNCC dan bersedia untuk "mengambil risiko" mendukung SNCC. Keterbukaan politik SNCC sering kali membuat mereka harus berselisih dengan NAACP.[51]
Seamless Wikipedia browsing. On steroids.
Every time you click a link to Wikipedia, Wiktionary or Wikiquote in your browser's search results, it will show the modern Wikiwand interface.
Wikiwand extension is a five stars, simple, with minimum permission required to keep your browsing private, safe and transparent.