Loading AI tools
gereja di Indonesia Dari Wikipedia, ensiklopedia bebas
Gereja Masehi Injili di Halmahera (Maluku Utara) (disingkat GMIH) adalah sebuah kelompok gereja Protestan di Indonesia yang berada di wilayah Pemerintahan Provinsi Maluku Utara yang terdiri dari 353 buah pulau. Dari pulau-pulau itu yang terbesar adalah pulau Halmahera, di mana gereja tersebut berpusat. Gereja ini tumbuh dari pekerjaan misionaris dari Gereja Reformasi Belanda Menjadi gereja otonom pada tahun 1949. Gereja ini diatur sesuai dengan model "Presbiterial Sinodal". Gereja ini juga terkait dengan "Seminari Theologi" di Makassar, Sulawesi Selatan.
GMIH berdiri sebagai buah misi Utrech Zendings Verenigeeng (UZV) dari Belanda, seperti Hendrijk van Dijken yang berkerja di Halmahera sejak tahun 1866. Persekutuan orang percaya ini kemudian mengorganisasi diri menjadi GMIH pada 6 Juni 1949 dalam Sidang Proto Sinode yang bertempat di Tobelo. Sejak 1968 GMIH beroperasi kuliah teologisnya sendiri. Itu dipindahkan dari Ternate ke Tobelo pada tahun 1989.[2]
Abad 16 sampai pertengahan abad 19
Pada abad ke-16 Xaverius, seorang utusan Injil Yesuit, datang di Halmahera dan bekerja di situ. Hasilnya banyak orang menjadi Kristen di pesisir Barat dari jazirah Utara, dan terutama di pesisir Timur yang disebut pantai Moro, tempat Galela dan Tobelo sekarang serta pulau Morotai. Tetapi kekristenan dibawa dalam persoalan politik antara Spanyol dan Portugis yang juga mengakibatkan teradu dombanya sultan Ternate dan sultan Tidore. Terjadilah perang dan dalam perang itu agama Kristen di Halmahera dibasmi.[2]
19 April 1866 De Bode dan Van Dijken tiba di Galela dan memulai pekerjaan Injilnya melalui semboyannya: penginjilan lewat pembangunan negeri. Sehingga tidak mengherankan bahwa Van Dijken selain seorang penginjil adalah seorang petani ulung. Ia menanam kopi, coklat, panili, pala dan segala tanaman palawija serta tembakau. Pertanian ini menarik simpati warga Galela yang masih belum mengenal system pertanian secara baik sehingga rumah Van Dijken menjadi tempat berkumpul banyak orang. Kesempatan ini dipakai Van Dijken untuk mengajar menulis dan membaca. Bahkan ketika wabah kolera menyerang, banyak orang yang disembuhkan Van Dijken. Jelaslah bahwa zending melayani warga Halmahera melalui aspek-aspek kehidupan manusiawi. Dari sanalah orang mulai menjadi Kristen. Namun orang Kristen pertama baru dibaptis pada 17 Juli 1874 atau lebih dari 2½ tahun orang menjadi Kristen. Yang dibaptiskan ialah 5 orang laki-laki dan 2 orang perempuan. Sementara di Tobelo banyak orang yang dibaptis oleh Hueting dalam baptisan massal. Hueting tiba di Tobelo awal tahun 1897 atau 23 tahun setelah Van Dijken ditahbiskan menjadi penginjil di Ternate. Hal ini lantas menjadi sebuah perbedaan pola pelayanan antara Van Dijken dengan Hueting yang selalu dicakapkan oleh peneliti sejarah GMIH. Bagi sebagian peneliti GMIH Van Dijken melakukan pola pelayanan dididik dahulu baru dibaptis, sementara Hueting dibaptis dahulu baru kemudian dididik. Namun hemat kami peneliti bahwa ada banyak faktor yang membuat Van Dijken menempuh jalan seperti itu. Di antarafaktor agama Islam yang dipeluk oleh kesultanan Ternate yang juga sebagian warga Galela yang beraada di bawah daerah kekuasaan kesultanan Ternate. Selain itu sebuah kesepakatan antara Belanda dan kesultanan yang berisi usaha Belanda yang tidak bermaksud mengkristenkan pribumi. Kesepakatan ini juga menghalangi usaha Van Dijken, serta identitas dan patuhnya Van Dijken terhadap aturan bahwa dia bukanlah seorang penginjil sehingga tidak berhak membaptiskan orang, karena baru tanggal 5 Januari 1873 ia ditahbiskan sebagai utusan Injil dan bukan lagi pembantu, oleh Ds. Höeker di Ternate. Tapi tak bisa disangkal juga bahwa faktor kesiapan orang menerima Injil ditekankan oleh Van Dijken yang tak sekadar memberikatakan Injil tetapi juga mempersiapkan dengan baik untuk menerima Injil melalui pendidikan, kesehatan, pertanian dan kehidupan sosial. Berbeda dengan keadaan Tobelo pada tahun kerja Hueting yang bergejolak menuntut keluar dari kekuasaan kesultanan Ternate sehingga kemungkinan besar mereka melihat bahwa alternatif terbaik adalah menjadi Kristen yang merupakan agama Belanda sehingga kelak mendapatkan perlindungan Belanda.[2]
Periode baru zending di Halmahera dimulai oleh zendeling Anton Hueting, yang tiba di Galela pada tgl 7 Agustus 1896, lalu membuka posnya di Gamsoengi di Tobelo. Hueting dipengaruhi pendekatan-pendekatan baru dalam pekabaran Injil, yang tidak mengutamakan pertobatan pribadi, melainkan pertobatan massal. Tujuan misi adalah Kristenisasi seluruh masyarakat. Baptisan mendahului pembinaan-pembinaan untuk menjadi Kristen dewasa (sidi). Dalam hal ini kuantitas mendahului kualitas Kekristenan.[3]
Pada tahun 1940 diadakanlah konperensi di Kupa-Kupa, Tobelo yang sudah ada tanda-tanda bahwa Zending hendak menyerahkan usaha penginjilan untuk diteruskan pribumi karena Jepang hampir pasti menguasai Asia Tenggara –Halmahera dikuasai Jepang pada Mei 1942– dan Belanda dikuasai oleh Jerman pada 10 Mei 1940. Pada konperensi ini diputuskan mengumpulkan dana setempat guna menutupi defisit anggaran Zending yang disebabkan oleh pemutusan komunikasi dengan negeri Belanda.[4] Hasil konperensi antara lain membentuk founds Injil dan hasil dana dipergunakan untuk membiayai kebutuhan hidup para penginjil setempat serta cita-cita pengelolahan gereja Halmahera oleh pribumi. Kemudian Jepang mulai menghilangkan segala sesuatu yang berbau kebelandaan di Indonesia. Imbasnya banyak Zending –bahkan guru jemaat pun–yang ditawan oleh Jepang. Jemaat yang seperti inilah membuat reaksi datang dari pribumi sebagai upaya terus menghidupi gereja yang sudah berkembang di Halmahera. Beberapa pribumi menemui Mentsjibu Jepang—mirip resimen kolonial Belanda—di Ternate yang difasilitasi oleh Sultan Ternate, Iskandar Mohammed Djabir Sjah guna membicarakan kepentingan gereja Halmahera. Jepang kemudian menyuruh membentuk sebuah badan persiapan kemandirian gereja yang keanggotaannya berdasarkan persetujuan Jepang. Tak lama berdirilah Gereja Protestan Halmahera (GPH) walaupun unsurnya lebih banyak melibatkan daerah Halmahera Barat. Sementara di Tobelo dan Galela pada Mei 1942 telah mengadakan pertemuan di Pitu guna mengantisipasi “perginya” Zending. Inti hasil pertemuan yang adalah keinginan mandiri akhirnya disampaikan oleh delegasi Tobelo-Galela ke Sultan Ternate dan Mentsjibu. Mereka meminta agar Pdt. Kriekhoff yang adalah pendeta Gereja Protestan Maluku di Ternate melayani sakramen di Halmahera khususnya Tobelo dan Galela. Permintaan ini disetujui. Sebenarnya keinginan ini sangat beralasan karena kedekatan Tobelo dan Galela kepada orang Ambon (GPM) karena banyaknya penginjil dan guru-guru jemaat yang telah-bahkan selanjutnya- adalah orang Ambon sementara di Halmahera Barat cenderung berasal dari Sulawesi Utara. Walau demikian upaya menyatukan diri dalam gereja Halmahera selalu ada kendati cara Halmahera Barat dan Tobelo-Galela—Halmahera Utara — terlihat berbeda. Usaha kemandirian ini mengalami banyak tantangan di antara: Perang Dunia II ketika sekutu berhasil mematahkan kekuatan Jepang saat sekutu menjadikan Morotai sebagai basis kekuatan di Asia. Walau demikian runtuhnya Jepang juga menjadikan gereja di Halmahera kembali dilayani oleh para Zending. Akhirnya dengan fasilitas dan pengalaman zending diadakanlah pertemuan demi terciptanya gereja Halmahera yang mandiri dengan berdirinya Gereja Masehi Injili di Halmahera pada 6 Juni 1949.[2]
Pada tahun 1999-2000 dan sekali lagi pada tahun 2001, kekerasan massa meletus di Maluku Utara yang menyebabkan kematian dan kehancuran. Orang harus meninggalkan rumah mereka dan bersembunyi di semak-semak, dan banyak berakhir sebagai pengungsi di kamp-kamp, di Sulawesi Utara dan di tempat lain. Meskipun pada skala yang lebih rendah, ketegangan terus dan orang-orang hidup dalam ketakutan terus-menerus provokasi dan teror. Janda dan anak-anak menanggung beban konflik. Mereka harus berjuang untuk bertahan hidup dalam kondisi di mana terdapat akses yang sangat kecil untuk kebutuhan dasar. Gereja telah dipengaruhi oleh situasi. Keanggotaannya telah menurun lebih dari setengahnya. Hal ini berusaha untuk membantu orang dalam jemaat yang telah kehilangan segalanya. GMIH yakin bahwa asal usul konflik itu tidak religius, tetapi politik, dan bahwa hal itu disebabkan oleh kekuatan dari luar daerah. Halmahera telah menjadi bagian suatu provinsi sendiri, Provinsi Maluku Utara, dengan mayoritas Muslim. Sebuah kelompok kerja Muslim-Kristen telah dibentuk dan bekerja dengan orang-orang untuk memulihkan hubungan di masyarakat dan membawa kembali kondisi normal dari kehidupan sehari-hari dalam masyarakat. Pemindahan dan pemukiman kembali memiliki konsekuensi psikologis dan mental bagi masyarakat.
Pada Sidang Sinode GMIH XXV, 1-6 Juni 2002 di Tobelo, dibahas arah dasar hidup menggereja GMIH dalam lima tahun ke depannya.[5] Sidang Majelis Sinode GMIH ke-IV 2011 diadakan di Bukit Durian, Oba, Tidore Kepulauan. Rektor Universitas Halmahera, Dr. Julianus Mojau, pada tanggal 27 Februari 2011 hadir pada sidang tersebut untuk membawakan materi ceramah bertema "Mempererat Persekutuan dan Merawat Kemajemukan".[6] Gereja Masehi Injili di Halmahera pada tanggal 17 - 22 Juli 2007 melaksanakan Sidang Sinode XXVI. Sidang ini berlangsung di Jemaat Tiga Saudara, Wilayah Pelayanan Ibu Kabupaten Halmahera Barat, Provinsi Maluku Utara. Sidang tersebut memiliki arti penting karena dalam sidang ini diputuskan hal penting menyangkut Tata Dasar Gereja yang membawa perubahan mendasar bagi arah pengembangan kehidupan warga GMIH memasuki perubahan zaman dan kemajuan yang diakibatkannya. Dengan perubahan ini diharapkan GMIH akan menjadi sebuah komunitas hidup yang mengutamakan pelayanan kepada umat.[7] Sidang Sinode merupakan event 5 tahunan di mana yang berikutnya adalah Sidang Sinode GMIH XXVII di Dorume, Loloda Utara, yang dihadiri oleh hampir 1.000 orang utusan dari 426 jemaat yang bernaung di bawah sinode GMIH. Ketua Sinode GMIH yang ditetapkan dalam Sidang di Dorume tahun 2012, Pdt. Anton Piga, menyatakan bahwa "Permasalahan yang terjadi di tubuh GMIH sekarang ini adalah sebuah pergumulan internal yang terjadi di kehidupan geraja, yang memang perlu di sikapi secara bijaksana, tenang dan mencari langka-langka cerdas, sehingga tidak menimbulkan konflik-konflik di akar rumpat."[8]
1. Pdt. Dr. Demianus Ice, M.Th (Ketua Sinode)
2. Pdt. Sefnat Hontong, M.Th (Wakil Ketua I)
3. Pdt. Ferri Kabarey, M.Th (Wakil Ketua II)
4. Pnt. James Uang, S.Pd., M.M (Wakil Ketua III)
5. Pdt. Silwanus Banggai, M.Th (Wakil ketua IV)
6. Abner Nones, S.Pd (Wakil Ketua V)
7. Pdt. Joice Sahepaty, M.Th (Wakil Ketua VI)
8. Pdt Abram Ugu, M.Si (Sekretaris Umum)
9. Pdt Simson Pulo, S.Th (Wakil Sekekretaris Umum)
10. Pdt Siane Antoni, M.Th (Bendahara Umum)
11. Pdt Meidy Mawengkang, S.Th, B.Sc (Wakil Bendahara Umum)
BP3G GMIH
1. Pdt Isak Tou, M.Th
2. Pdt Julice F. Laura, S.Th., MM
3. Ir. Amessius Bassay
4. Pnt. Martinus Djawa, S.Ip., S.Pd., M.Si
5. Pnt. John Gareja
Seamless Wikipedia browsing. On steroids.
Every time you click a link to Wikipedia, Wiktionary or Wikiquote in your browser's search results, it will show the modern Wikiwand interface.
Wikiwand extension is a five stars, simple, with minimum permission required to keep your browsing private, safe and transparent.