Para sultan Wangsa Utsmaniyah menguasai wilayah kekuasaan transkontinental yang sangat luas mulai dari tahun 1299 hingga 1922. Pada puncak kejayaannya, Kesultanan Utsmaniyah berkuasa mulai dari Hungaria hingga ke bagian utara Somalia di sebelah selatan, dan dari Aljazair di sebelah barat hingga Irak di sebelah timur. Ibu kotanya mula-mula adalah Bursa di Anatolia, kemudian dipindahkan ke Edirne pada tahun 1366 dan ke Konstantinopel atau Istanbul pada tahun 1453 setelah kejatuhan Konstantinopel yang merupakan ibu kota Kekaisaran Romawi Timur.[1] [2] Pada tahun 1617, hukum pergantian keturunan dalam kesultanan ini diubah dari "siapa yang kuat akan menang" menjadi suatu sistem yang didasarkan atas tingkat senioritas agnatik (ekberiyet), yaitu tahta akan diteruskan oleh laki-laki tertua dalam keluarga. Ini menyebabkan sejak abad ke-17 sultan yang meninggal jarang digantikan oleh putranya, tetapi biasanya oleh seorang paman atau saudara laki-laki.[3] Sistem "senioritas agnatik" (agnatic seniority) dipertahankan sampai pembubaran kesultanan, meskipun pada abad ke-19 ada usaha yang gagal untuk mengganti dengan sistem "primogeniture" (keturunan tertua).[4]
Sultan Utsmaniyah | |
---|---|
Bekas Kerajaan | |
Imperial | |
Lambang Kesultanan | |
Suleiman I (1520–1566) | |
Penguasa pertama | Osman Gazi |
Penguasa terakhir | {{{last_monarch}}} |
Gelar | Sapaan:
|
Kediaman resmi | Istana Topkapı (1460an–1853) Istana Dolmabahçe (1853–1889; 1909-1922) Istana Yıldız (1889–1909) |
Pendirian | 27 Juli 1299 |
Pembubaran | 1 November 1922 |
Status
Kesultanan Utsmaniyah adalah monarki mutlak pada hampir sepanjang sejarahnya. Pemimpin Utsmaniyah berada di puncak hierarki dan berperan sebagai pemimpin politik, militer, kehakiman, sosial, dan keagamaan, dan itu tercermin dalam berbagai gelar yang disandangnya. Secara teori, pemimpin Utsmaniyah hanya bertanggung jawab kepada Allah dan syariat-Nya yang mana dia adalah pelaksana dari syariat tersebut.
Meski pemimpin Utsmaniyah secara teori adalah pemimpin absolut, pada kenyataannya, pengaruhnya terbatas pada beberapa hal. Keputusannya sangat dipengaruhi oleh anggota penting dinasti, para pejabat, pihak militer, dan pemuka agama.[5] Mulai akhir abad keenam belas, sebagian besar kewenangan pemimpin Utsmaniyah dalam pemerintahan mulai dialihkan kepada wazir agung (setara perdana menteri). Para wanita dalam harem istana, biasanya ibu suri (valide sultan) atau permaisuri (haseki sultan) juga menjadi salah satu pihak paling berpengaruh dalam memandu kebijakan pemimpin Utsmaniyah. Pada masa yang disebut sebagai Kesultanan Wanita, para wanita harem bahkan memiliki pengaruh sangat besar dalam pemerintahan dan menjadi penguasa dari balik tirai.[6]
Gelar
Para pemimpin Utsmaniyah menyandang berbagai gelar yang tiap-tiap gelar memiliki makna tersendiri. Beberapa gelar tersebut antara lain 'sultan', 'khan', 'padişah', dan 'khalifah'.
Sebagai kepala negara
Meskipun daftar Sultan Utsmaniyah selalu dimulai dari Osman I yang merupakan bapak dari Wangsa Utsmaniyah, gelar sultan baru secara resmi digunakan pada masa Murad I, cucu Osman, yang berkuasa 1362 sampai 1389. Dua pemimpin Utsmaniyah sebelumnya, Osman dan Orhan, menggunakan gelar bey, gelar Turki yang dapat disejajarkan dengan adipati.
Di Indonesia dan Barat, pemimpin Utsmaniyah lebih dikenal dengan 'sultan'. Sultan adalah gelar pemimpin Islam yang berasal dari bahasa Arab yang bermakna "kewenangan" atau "kekuatan". Gelar ini mulai digunakan pada masa Kekhalifahan Abbasiyah dan perlahan digunakan untuk berbagai pemimpin Muslim berdaulat.Kedudukan gelar sultan lebih tinggi dari 'amir' dan tidak dapat dibandingkan dengan 'malik', gelar bahasa Arab untuk raja. Sejak abad keenam belas, gelar sultan tidak hanya digunakan oleh pemimpin Kesultanan Utsmaniyah, tetapi juga semua anggota Wangsa Utsmaniyah, juga permaisuri dan ibu suri, dengan laki-laki menggunakan gelar sultan di depan namanya, sedangkan wanita di belakang namanya. Misalnya, Şehzade Sultan Mehmed dan Mihrimah Sultan, putra dan putri Sultan Suleiman Al Qanuni. Penggunaan ini menegaskan konsep Utsmani terkait kekuasaan sebagai kewenangan keluarga.[7]
Bersama sultan, para pemimpin Utsmaniyah juga menggunakan gelar khan di belakang namanya (misal, Sultan Suleiman Khan). Khan adalah gelar bagi pemimpin bangsa Turki yang berasal dari Asia Tengah. Salah satu tokoh terkenal yang juga menggunakan gelar ini adalah Jengis Khan. Penggunaan gelar ini menunjukkan keterikatan Utsmaniyah dengan para pendahulu mereka yang berasal dari Asia Tengah.[7]
Gelar yang sering digunakan di kalangan masyarakat Utsmaniyah sendiri untuk merujuk pemimpin mereka adalah padişah (پادشاه, dibaca pa-di-syah)[8] yang berarti 'kaisar'. Hal ini sebagai pernyataan bahwa status Utsmaniyah berada di atas kerajaan sebagaimana status kaisar berada di atas raja. Gelar ini diadopsi dari bahasa Persia dan mulai digunakan pada masa Sultan Mehmed II.
Setelah penaklukan Konstantinopel pada 1453, Sultan Mehmed II juga menyandang gelar Kaysar-i-Rûm atau 'Kaisar Romawi'. Gelar ini menyatakan bahwa para pemimpin Utsmaniyah adalah pewaris dari Kekaisaran Romawi. Sultan Mehmed II juga menyatakan dirinya sebagai pelindung bagi Gereja Ortodoks.
Semua gelar kepala negara ini terus dipegang pemimpin Wangsa Utsmaniyah sampai dibubarkannya Kesultanan Utsmaniyah pada tahun 1922.
Sebagai pemimpin dunia Islam
Pemimpin Utsmaniyah juga menyandang gelar khalifah yang merupakan gelar bagi pemimpin dunia Islam. Gelar ini mulai diklaim oleh Murad I, meski pada saat itu Wangsa Abbasiyah yang berada dalam perlindungan Kesultanan Mamluk Mesir masih menyandang gelar khalifah secara resmi. Setelah penaklukan Kesultanan Mamluk oleh Utsmaniyah pada tahun 1517 di masa Sultan Selim I, Wangsa Abbasiyah menyerahkan gelar khalifah kepada pemimpin Utsmaniyah. Dengan ini, pemimpin Utsmaniyah secara simbolis berperan sebagai pemimpin dunia Islam, meski bukan pemimpin dalam artian kepala negara seluruh dunia Islam karena semua negara Islam memiliki pemimpin berdaulatnya sendiri.
Pada keberjalanannya, gelar khalifah tidak digunakan oleh pemimpin Utsmaniyah hampir selama dua abad sampai Utsmaniyah kalah perang dengan Kekaisaran Rusia yang saat itu dipimpin oleh Maharani Yekaterina II. Dalam Perjanjian Küçük Kaynarca (1774) antara Utsmaniyah dengan Rusia, pemimpin Utsmaniyah kemudian menggunakan statusnya sebagai khalifah (bukan sebagai sultan) untuk menegaskan kepemimpinan relijiusnya atas umat Muslim di Rusia.[9] Ini adalah pertama kalinya di masa Utsmaniyah, gelar khalifah digunakan di luar batas Kesultanan Utsmaniyah dan diakui oleh pihak Eropa.[10] Gelar ini lebih sering digunakan dan lebih nyata pengaruhnya pada masa Sultan Abdul Hamid II yang berusaha menyatukan dunia Islam untuk melawan pengaruh Barat yang semakin menguat. Dengan statusnya sebagai khalifah, Abdul Hamid II meminta pihak Kesultanan Sulu untuk tunduk dengan kekuasaan Amerika demi menghindari konflik yang lebih besar antara Barat dan Islam.[11] Kerjasama yang tercipta antara angkatan bersenjata Amerika dan Kesultanan Sulu tidak lain adalah bujukan Khalifah Utsmaniyah kepada pihak Kesultanan Sulu.[12]
Setelah Kesultanan Utsmaniyah dibubarkan pada 1922, pemimpin Wangsa Utsmaniyah masih mempertahankan gelar khalifahnya selama dua tahun sampai kemudian lembaga kekhalifahan juga dibubarkan pada 1924. Dengan ini, Wangsa Utsmaniyah adalah keluarga besar terakhir yang menyandang gelar khalifah.
Daftar sultan
Tabel di bawah ini berisi informasi para sultan Utsmaniyah, juga kalifah Utsmaniyah, diurutkan berdasarkan kronologi. Tughra adalah lambang atau tanda kaligrafi yang digunakan oleh para sultan Utsmaniyah yang dituliskan pada semua dokumen resmi dan uang koin, dan lebih melambangkan sang sultan daripada portret sang sultan. Kolom "Catatan" berisi informasi mengenai orang tua dan nasib tiap sultan. Bila pemerintahan seorang sultan tidak berakhir dengan kematian wajar, alasannya ditandai dengan cetak tebal.
# | Nama Masa kekuasaan |
Gambar | Tughra | Orangtua | Catatan | |
---|---|---|---|---|---|---|
Masa Kebangkitan (27 Juli 1299 – 20 Juli 1402) | ||||||
1 | Osman I Ghazi (ksatria) sekitar 1299 – 1323/1324 |
— [c] |
Ertuğrul |
| ||
2 | Orhan I Ghazi (ksatria) 1323/1324 – Maret 1362 |
Berkuasa sampai wafat.[16] | ||||
3 | Murad I Hüdavendigâr (penguasa) Maret 1362 – 15 Juni 1389 |
|
| |||
4 | Bayezid I Yıldırım (petir) Juni 1389 – 20 Juli 1402 |
|
| |||
Perang Saudara[d] (20 Juli 1402 – 5 Juli 1413) | ||||||
— | İsa Çelebi (tuan) Sultan Anatolia Barat: 1403 – 1405/1406 |
— |
|
| ||
— | Süleyman Çelebi (tuan) Sultan Rumelia pertama: 20 Juli 1402 – 17 Februari 1411[19] |
— | Bayezid I |
| ||
— | Musa Çelebi (tuan) Sultan Rumelia kedua: 18 Februari 1411 – 5 Juli 1413[21] |
— |
Bayezid I |
|||
— | Mehmed Çelebi (tuan) Sultan Anatolia Timur: 1403–1406 Sultan Anatolia: 1406–1413 |
— |
|
| ||
Masa Kebangkitan (5 Juli 1413 – 29 Mei 1453) | ||||||
5 | Mehmed I Kirişci (putra tuan) 5 Juli 1413 – 26 Mei 1421 |
|
| |||
6 | Murad II Koca (Agung) 26 Mei 1421 – Agustus 1444 |
|
||||
7 | Mehmed II Agustus 1444 – September 1446 |
|
||||
— | Murad II Koca (Agung) September 1446 – 3 Februari 1451 |
|||||
Masa Keemasan (29 Mei 1453 – 11/12 September 1683) | ||||||
— | Mehmed II Fatih (sang penakluk) Qayser-i Rûm (Kaisar Romawi) 3 Februari 1451 – 3 Mei 1481) |
| ||||
8 | Bayezid II Veli (wali) 22 Mei 1481 – 24 April 1512) |
|
||||
9 | Selim I Yavuz (tegas) 24 April 1512 – 22 September 1520) |
|
| |||
10 | Suleiman I Al Qanuni (pemberi hukum) Muhteşem (yang luar biasa/yang agung) 30 September 1520 – 6 September 1566 |
|
| |||
11 | Selim II Sari (pirang) 29 September 1566 – 21 Desember 1574 |
|
| |||
12 | Murad III 22 Desember 1574 – 16 Januari 1595 |
|
| |||
13 | Mehmed III Adli (adil) 27 Januari 1595 – 20 atau 21 Desember 1603 |
|
| |||
14 | Ahmed I Bakhti (Keberuntungan) 21 Desember 1603 – 22 November 1617 |
|
| |||
15 | Mustafa I Deli (gila) 22 November 1617 – 26 Februari 1618 |
|
||||
16 | Osman II Genç (yang muda) 26 Februari 1618 – 19 Mei 1622 |
|
||||
— | Mustafa I Deli (gila) 19 Mei 1622 - 10 September 1623 |
| ||||
17 | Murad IV Ghazi (ksatria) 10 September 1623 - Februari 1640 |
|
| |||
18 | Ibrahim I Deli (gila) 9 Februari 1640 - 8 Agustus 1648 |
|
||||
19 | Mehmed IV Avci (pemburu) 8 Agustus 1648 - 8 November 1687 |
|
||||
Masa Stagnasi dan Reformasi (11/12 September 1683 – 20 Oktober 1827) | ||||||
20 | Suleiman II 8 November 1687 - 22 Juni 1691 |
|
| |||
21 | Ahmed II Khan Ghazi (khan ksatria) 22 Juni 1691 - 6 Februari 1695 |
|
| |||
22 | Mustafa II Ghazi (ksatria) 6 Februari 1695 – 22 Agustus 1703 |
|
||||
23 | Ahmed III 22 Agustus 1703 – 1/2 Oktober 1730 |
|
||||
24 | Mahmud I Ghazi (ksatria) Kambur (bungkuk) 2 Oktober 1730 – 13 Desember 1754 |
|
| |||
25 | Osman III Sofu (saleh) 13 Desember 1754 – 29/30 Oktober 1757 |
|
| |||
26 | Mustafa III Yenilikçi (inovatif pertama) 30 Oktober 1757 – 21 Januari 1774 |
|
| |||
27 | Abd-ul-Hamid I 21 Januari 1774 – 6/7 April 1789 |
|
| |||
28 | Selim III Bestekar (komposer) 7 April 1789 – 29 Mei 1807 |
|
| |||
29 | Mustafa IV 29 Mei 1807 – 28 Juli 1808 |
|
||||
Masa Modernisasi (1827 – 24 Juli 1908) | ||||||
30 | Mahmud II Islahatçı (reformator) 28 Juli 1808 – 1 Juli 1839 |
|
||||
31 | Abd-ul-Mejid I Tanzimatçı (reformis kuat) 1 Juli 1839 – 25 Juni 1861 |
|
| |||
32 | Abd-ul-Aziz I 25 Juni 1861 – 30 Mei 1876 |
|
| |||
33 | Murad V 30 Mei 1876 – 31 Agustus 1876 |
|
| |||
34 | Abd-ul-Hamid II Ulu Han (khan yang luhur) 31 Agustus 1876 – 27 April 1909 |
|
| |||
35 | Mehmed V Reşad (pengikut jalan kebenaran) 27 April 1909 – 3 Juli 1918 |
|
| |||
36 | Mehmed VI Vahideddin (pemersatu agama (Islam)) 4 Juli 1918 – 1 November 1922 |
|
| |||
Kekhalifahan Republik (18 November 1922 – 3 Maret 1924) | ||||||
— | Abd-ul-Mejid II 18 November 1922 - 3 Maret 1924 |
— [c] |
|
Lihat pula
Rujukan
Bacaan lanjutan
Pranala luar
Wikiwand in your browser!
Seamless Wikipedia browsing. On steroids.
Every time you click a link to Wikipedia, Wiktionary or Wikiquote in your browser's search results, it will show the modern Wikiwand interface.
Wikiwand extension is a five stars, simple, with minimum permission required to keep your browsing private, safe and transparent.