Al-Ghazali
Ilmuwan Muslim di bidang agama, bahasa, fikih, filsafat, kosmologi, psikologi, tasawuf, dan teologi / From Wikipedia, the free encyclopedia
Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazali ath-Thusi asy-Syafi'i (bahasa Arab: ابو حامد محمد بن محمد الغزالي الطوسي الشافعي) (1058 (umur -54–-53)) adalah seorang filsuf dan teolog muslim Persia, yang dikenal sebagai Algazel di dunia Barat abad Pertengahan.[1][2][3]
Artikel ini membutuhkan rujukan tambahan agar kualitasnya dapat dipastikan. |
Artikel ini perlu diterjemahkan dari bahasa Melayu ke bahasa Indonesia. Artikel ini ditulis atau diterjemahkan secara buruk dari Wikipedia bahasa Melayu. Jika halaman ini ditujukan untuk komunitas bahasa Melayu, halaman itu harus dikontribusikan ke Wikipedia bahasa Melayu. Lihat daftar bahasa Wikipedia. Artikel yang tidak diterjemahkan dapat dihapus secara cepat sesuai kriteria A2. Jika Anda ingin memeriksa artikel ini, Anda boleh menggunakan mesin penerjemah. Namun ingat, mohon tidak menyalin hasil terjemahan tersebut ke artikel, karena umumnya merupakan terjemahan berkualitas rendah. |
Al-Ghazālī (الغزالي) Algazel | |
---|---|
Lahir | 1058 Tus, Iran, Kesultanan Seljuk Raya |
Meninggal | 1111 Thus, Khorasan Kesultanan Seljuk Raya |
Era | Zaman keemasan Islam |
Kawasan | Filosof Islam |
Aliran | Ahlus Sunnah, Asy'ariyah, Hujjatul islam, Syafi'i |
Minat utama | Teologi, Filsafat Islam, Fikih, Sufisme, Mistisisme, Psikologi, Logika, Kosmologi |
Gagasan penting | skeptisisme, okasionalisme |
Dipengaruhi | |
Memengaruhi
| |
Ia berkuniah Abu Hamid karena salah seorang anaknya bernama Hamid.[butuh rujukan] Gelar dia al-Ghazali ath-Thusi berkaitan dengan ayahnya yang bekerja sebagai pemintal bulu kambing dan tempat kelahirannya yaitu Ghazalah di Bandar Thus, Khurasan, Persia (kini Iran). Sedangkan gelar asy-Syafi'i menunjukkan bahwa dia bermazhab Syafi'i. Ia berasal dari keluarga yang miskin. Ayahnya mempunyai cita-cita yang tinggi yaitu ingin anaknya menjadi orang alim dan saleh. Imam Al-Ghazali adalah seorang ulama, ahli pikir, ahli filsafat Islam yang terkemuka yang banyak memberi sumbangan bagi perkembangan kemajuan manusia.[4][5][6] Ia pernah memegang jabatan sebagai Naib Kanselor di Madrasah Nizhamiyah, pusat pengajian tinggi di Baghdad. Imam Al-Ghazali meninggal dunia pada 14 Jumadil Akhir tahun 505 Hijriah bersamaan dengan tahun 1111 Masehi di Thus. Jenazahnya dikebumikan di tempat kelahirannya.
Ia dianggap sebagai Mujaddid abad ke-5, seorang pembaru iman; yang, menurut hadis kenabian, muncul setiap 100 tahun sekali untuk memulihkan iman Komunitas Islam. Karya-karyanya sangat diakui oleh orang-orang sezamannya sehingga al-Ghazali dianugerahi gelar kehormatan "Bukti Islam" (Hujjat al-Islam).[7][8]
Al-Ghazali percaya bahwa tradisi spiritual Islam telah hampir mati dan bahwa ilmu-ilmu spiritual yang diajarkan oleh generasi pertama umat Islam telah dilupakan. Keyakinan ini mendorongnya untuk menulis magnum opusnya yang berjudul Ihya Ulumuddin (translit. Kebangkitan Ilmu Pengetahuan Agama). Di antara karya-karyanya yang lain, Tahafut al-Falasifah (Incoherence of the Philosophers translit. Inkohorensi Para Filsuf) adalah tengara dalam sejarah filsafat, karena memajukan kritik terhadap sains Aristotelian yang dikembangkan kemudian di Eropa abad ke-14.[9]